Gus Yahya Cholil Staquf terpilih menjadi Ketua Umum PBNU periode 2022 – 2027. Gus Yahya terpilih melalui event Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 di Lampung pada 23 – 25 Desember 2021.
Selain bahagia dan ikut bangga lantaran memang saya adalah santri ‘Terong Gosong’, saya juga tertarik dengan statemen awal Beliau saat sambutan pertama pasca terpilih menjadi Ketum PB NU. “Saya melamar kerja dan alhamdulillah lamaran kerja saya diterima”. Begitu kira-kira kata Beliau.
Penggunaan diksi ‘kerja’ inilah yang akan coba dibahas pada tulisan pendek ini. Akhir-akhir ini meski mayoritas dari kita mengetahui bahkan yakin tidak semua pekerjaan itu menghasilkan uang/gaji, tidak berarti yang punya pekerjaan lantas punya uang kemudian dia bisa membeli apa saja kemudian bahagia. Namun tetap saja seringkali kita tertipu dengan pola pikir bahwa pekerjaan itu rezeki, uang itu rezeki, dan selain keduanya (sering) tidak dipahami sebagai sebuah rezeki.
Walhasil, yang tidak punya pekerjaan tidak punya gaji kemudian tidak punya uang, akhirnya memaknai tidak punya rezeki, lalu merasa idak bisa bahagia.
Kembali ke pernyataan Gus Yahya tentang ‘kerja’. Kita tahu, menjadi ketua umum ormas terbesar itu tidak ada gajinya, apalagi tunjangannya, sehingga jika boleh memaknai maksud Gus Yahya, Beliau ingin menunjukkan bahwa pekerjaan ini orientasinya bukan kepada gaji namun kerja dan tanggung jawab. Beliau bekerja pada jam’iyyah, pada ummat, dan tentu dalam rangka mengabdi pada agama Tuhan.
Paradigma kerja tak melulu soal gaji ini sebenarnya sudah mengakar di kalangan pesantren dan sering dilakukan oleh para santri. Para santri yang menjadi abdi ndalem (khadim) kyai tidak pernah memikirkan imbalan. Yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana kyai senang dan tidak kecewa dengan apa yang mereka kerjakan. Selain itu mereka mengharapkan keberkahan (tambahnya kebaikan) pada diri mereka lantaran mengabdi pada kyai.
Santri yang memegang erat paradigma ini, biasanya, setelah keluar dari pesantren pun mereka masih menerapkan pola ‘kerja’ yang orientasinya tidak melulu upah atau gaji atau semacamnya, diantaranya ketika menerima sebuah amanat atau menerima jabatan publik.
Gus Dur juga pernah mencontohkan. Dalam sambutannya, Beliau menyampaikan ‘jabatan presiden itu apa sih tingginya?!’ Pasca dilengserkan paksa dari kursi presiden, Gus Dur juga sangat tidak merasa kehilangan bahkan menghibur semuanya (kawan-lawan) dengan tampil mengenakan kaos plus celana pendek di depan istana.
Di benak para santri, sudah tertanam dawuh seorang sufi, bahwa “kerjo iku perintah, dan rezeki itu jatah”. Artinya kerja itu tidak mempengaruhi rezeki, karena sebenarnya jatah rezeki seseorang sudah tertulis sejak ia masih dalam kandungan.
Wallahu a’lam