Kotak amal berjalan ‘menyambangi’ para jamaah sholat jumat saat khatib memberi khutbah. Sebelum adzan, salah satu pengurus masjid juga membacakan hasil infaq jamaah di masjid, biasanya disertai dengan pengeluaran untuk operasional masjid. Ini jamak kita amati di sejumlah masjid.
Dan fenomena (bukan baru) yang juga bisa kita amati adalah pembangunan atau renovasi masjid. Terkadang, tiang masjid yang kota balok diganti bentuk bulat, plafon diganti dengan kerlap-kerlip lampu. Tak cuma renovasi, pembangunan masjid baru juga kian semarak. Sekedar ilustrasi, data di Kementerian Agama tahun 2013 jumlah masjid di Jawa Timur mencapai 39.405, dan tahun 2018 bertambah cukup banyak menjadi 42.687 masjid. Demikian juga dengan musholla dari 109.290 pada tahun 2013 bertambah menjadi 279.093 musholla.
Fakta ini tentu menggembirakan, karena bisa menjadi salah satu indikator bahwa kebutuhan umat Islam akan ‘tempat sujud’ semakin meningkat. Namun, tentu saja, hal ini menjadi diskusi berkepanjangan terkait pentingnya membangun masjid baru atau memanfaatkan masjid yang sudah ada.
Akan tetapi, tulisan ini bukan hendak ikut pada perdebatan itu, melainkan sekedar hendak berbagi cerita tentang sejarah masjid, terutama di Jawa.
Masjid secara harfiah adalah tempat bersujud. Akan tetapi, fungsi masjid tak hanya itu. Semasa Rasulullah, masjid menjadi pusat peradaban. Mengutip Dr H Abdul Halim, M.Ag dan Dr Prihanoto M.Ag., dkk. (2021), sejarah masjid bermula saat Rasulullah hijrah ke Yastrib. Langkah pertama adalah membangun masjid. Wilayah didirikannya masjid itu kemudian dikenal dengan nama Madinah yang secara harfiah berarti tempat peradaban.
Masjid kala itu menjadi sentra kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya umat. Setiap hari umat Islam berjumpa Rasulullah di masjid dan mendengar arahan-arahan beliau tentang berbagai aspek dan permasalahan kehidupan. (hal: 43).
Dalam buku yang berjudul ‘Mazhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel’ ini juga dijelaskan bagaimana Raden Rahmat atau Sunan Ampel meneladani Rasulullah. Dikisahkan, Raden Rahmat bertemu dengan Raja Majapahit dan istrinya Putri Champa. Sang raja meminta Raden Rahmat menetap di Jawa saja. Raden Rahmat kemudian diberi tanah yang kemudian dikenal dengan Ampel Denta. Di Ampel, beliau membangun perkampungan baru dan membangun langgar. Waktu itu belum masjid.
Kenapa dinamakan langgar? Dikisahkan, saat itu masyarakat menganut Kapitayan yang memiliki ritual menyembah sanghyang taya di sebuah tempat bernama sanggar. Dan untuk mendekatkan istilah ke masyarakat, tempat sholat itu diberi nama langgar yang dekat dengan sanggar. Sedang sholat diberi nama sembahyang.
Masjid-masjid kuno juga punya arsitektur yang menyatu dengan masyarakat sekitar. Masjid di Jawa kebanyakan berbahan kayu jati dengan atap limas bertingkat tiga. Diantaranya masjid Demak. Konon tingkat tiga itu simbol dari Iman, Islam dan Ihsan.
Namun, apapun desain arsitektur masjid, substansi dari masjid adalah ‘tempat bersujud’. Akan tetapi sudah sejak masa Rasulullah, masjid tidak hanya dijadikan tempat sujud an sich, akan tetapi juga berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Masih dari buku yang sama, izinkan saya mengutip fungsi masjid di masa Rasulullah. Yakni tempat ibadah, menuntut ilmu, memberi fatwa, menyambut tamu atau utusan, melangsungkan pernikahan, layanan sosial, latihan perang, dan layanan medis. (hal: 58-61).
Kini, seiiring dinamika masyarakat Islam, fungsi masjid sudah banyak berubah. Akan tetapi yang makin kelihatan adalah pembangunan maju pesat, jamaah juga ‘maju’ pesat alias shaf makin maju. Di kampung-kampung, masjid dan langgar cukup megah, akan tetapi jamaah juga makin sedikit.
Lalu, apakah masjid harus diramaikan? Bisa ya bisa tidak. Karena, memakmurkan masjid bukan seperti gerakan meramaikan pasar. Lalu? Mari berdiksusi.