Tidak perlu ‘kemrungsung’ atau ‘bentoyong’ dalam hal apapun.
***
Beberapa waktu lalu, viral seorang penjual pentol bakso keliling yang selalu meneriakkan kata ‘wayahe-wayahe’. Sederhana memang. Tapi buktinya, ucapan itu sempat membius natizen yang kemudian menirukannya saat di sela-sela obrolan atau sekedar menyapa teman.
Wayahe-wayahe punya arti sederhana: waktunya-waktunya. Namun, kata itu bisa dimaknai lebih jauh, tak sekedar ‘kata-kata viral’ belaka. Misal wayahe itu lebih pas dimaknai pada waktu yang tepat, atau pada waktu sesuai waktunya. Dan urusan waktu, memang pada dasarnya sesuatu yang (disadari atau tidak) menyertai kehidupan manusia.
‘Wayahe-wayahe’ setidaknya mengingatkan kita akan dua hal, pertama, segala sesuatu ada ‘wayahe’ atau waktunya sendiri. Misal, sekeras apapun seseorang bekerja dan menumpuk harta, jika belum waktunya kaya tetap saja ‘wayahe’ dia adalah belum kaya. Demikian ‘unèn-unèn’ orangtua kita dahulu.
Tentu ungkapan di atas tidak bermaksud mengendorkan semangat bekerja, mengajak untuk bermalas-malasan dan berpangku tangan sambil menunggu takdir kaya hadir. Tidak demikian. Ungkapan itu juga tidak mengajak untuk menjadi jabariyah ekstrem yang selalu memasrahkan semuanya kemudian bermalas-malasan atau qodariyah fatalistik yang kemudian melupakan peran Tuhan dalam segala hal dan keadaan.
Ungkapan di atas sekedar mengingatkan bahwa semuanya ada ‘wayahe’, sehingga dalam hal apapun, tidak perlu ‘kemrungsung’ atau ‘bentoyong’ dalam hal apapun termasuk dalam beragama.
Kedua, fenomena wayahe-wayahe juga mengingatkan kita pada satu ayat yang kurang lebih artinya, apakah belum saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka untuk mengingat Tuhan?!
Ayat ini turun ketika banyak dari orang Yahudi saat disuruh beriman ngêndè-ngêndè atau selalu beralasan. Sebenarnya alasan mereka menunda beriman karena gengsi, mereka merasa lebih paham isi kitab. Tapi saat Nabi datang mereka menolak saat disuruh taat dan tunduk kepada Nabi Muhammad sang utusan Tuhan. Kecongkaan merekalah yang menjadikan hati mereka membatu.
Kesombongan/kecongkakan memang selalu menutup celah ketaatan, oleh karenanya, sombong itu didefinisikan dengan ‘bathorul haq’ menutup kebenaran. Jangan-jangan kita saat ini berada pada kondisi itu? Kita sering sombong? kita sering lalai? Semoga saja tidak. Na’udzu billah min dzalik.
Bukankah saat ini wayahe untuk bertaubat dan kembali mengingat eksistensi kita sebagai hamba? Hanya hamba.
Ayo wayahe wayahe..
Selamat berjumat ria kawan!