Maut adalah keniscayaan bagi setiap yang hidup. Siapapun kamu, selama kamu masih manusia, maut adalah titik labuh akhir dari tiap perjalanan hidupmu. Datang secara tiba-tiba, bahkan ia bisa datang saat kamu sedang melakoni sesuatu yang kamu suka—sesuatu yang membuatmu ingin hidup lebih lama: bermain, misalnya.
Bermain bola, yang bagi masa kecil kita adalah mainan paling asyik sedunia, juga tidak lepas dari kecelakaan berbuntut maut. Meski konon,sepakbola dibedakan menjadi dua, professional dan amatir. Ada batas tegas yang membedakan dua jenis kategori sepakbola tersebut. Profesional berbeda dengan sepakbola amatir (tarkam). Selain kejelasan gaji, perbedaannya ada pada aturan dan pengawasan yang jelas.
Namun anehnya, selama ini saya justru lebih sering melihat pemain bola wafat di tengah lapangan pada kompetisi profesional. Padahal, seperti yang kita semua ketahui, tarkam lebih berbahaya karena tidak ada aturan dan pengawasan secara tegas. Namun, sepakbola profesional yang dihadiri orang-orang penting—hingga official PSSI, justru kerap menghadirkan kematian.
Memang manusia tidak bisa meng-inden kematian. Tidak ada yang tahu seperti apa datangnya maut pada diri seseorang. Kematian legenda Persela, Choirul Huda, beberapa pekan lalu misalnya, sangat mengejutkan publik. Jika kita jeli, laga putaran Liga 1 antara Persela vs Semen Padang tentu lebih terlihat kondusif daripada laga play-off Grup H Liga 2 2017 antara PSBK Blitar melawan Perseawngi Banyuwangi beberapa hari sebelumnya.
Laga PSBK vs Persewangi yang sejak sebelum kickoff hingga laga berakhir terus-terusan dipenuhi drama pencak silat, justru tidak ada korban meninggal, meski secara visual menunjukkan betapa kekerasan di lapangan sangat tidak menghibur penonton. Namun, laga Persela vs Semen Padang yang berjalan sangat kondusif justru merenggut nyawa satu pemain. Barangkali, di situlah, kemisteriusan maut benar-benar bekerja.
Selain kiper legendaris Persela Lamongan, Choirul Huda, ada sejumlah kasus kematian pemain bola pada level profesional yang pernah tercatat sejarah pesepakbolaan Indonesia. Anehnya, sejumlah kasus itu terjadi berada di ranah sepakbola profesional. Setidaknya, bukan laga perebutan juara antar kampung. Ada sejumlah pemain bola profesional yang gugur dalam bertugas, diantaranya:
Eri Irianto. Eri Irianto meninggal dunia setelah insiden dalam laga Persebaya kontra PSIM Yogyakarta di Stadion Gelora 10 November, 3 April 2000.
Akli Fairuz. Pemain Persiraja, Akli Fairuz (tengah), beraksi dalam pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia kontra PSAP Sigli di Banda Aceh, 10 Mei 2014.
Jumadi Abdi. Tanggal 7 Maret 2009 menjadi momen duka buat PKT Bontang. Gelandang mereka, Jumadi Abdi, meninggal dunia akibat terkena kaki dari pemain Persela, Denny Tarkas.
Melihat banyaknya kasus kematian pada kompetisi sepakbola profesional, saya sempat berfikir, betapa tingginya tekanan para pemain untuk memenangkan laga. Sehingga, bermain bola hampir kehilangan unsur “bermainnya”. Yang ada, berperang bola. Bukan bermain, tapi berperang. Bukan pemain bola, tapi petarung bola.
Entah kenapa, sampai saat ini, saya memaknai sepakbola sebagai mainan anak-anak. Sebuah permainan yang jika saya mainkan, saya bisa langsung kembali pada masa kanak-kanak. Sebab, saya tak pernah ingin mengurangi kemurnian “main-main” di dalamnya. Apalagi, mengganti istilah bermain dengan berperang.