Ibrahim; Sebagai Nabi dan Manusia Biasa

Dok. garuda 05

“Seorang lelaki tua dengan mata pasrah dan hati yang berkecamuk, mengalungkan sebuah pedang di leher anaknya sendiri”

 

Seorang lelaki tua dengan mata pasrah dan hati yang berkecamuk musti mengalungkan sebuah pedang di leher anaknya sendiri, di Mina. Ya, lelaki yang sudah berusia satu abad lebih itu tak lain adalah Nabi Ibrahim.

Menjadi seorang utusan di era Raja Namruj merajalela, tampaknya membuat hidup Ibrahim selalu diliputi dengan perjuangan, jihad dan memerangi kejahilan dari kaumnya dengan fanatisme menyembah berhala yang sepertinya sudah mengurat-syaraf.

Saat Ibrahim muda, ia dikenal sebagai pembangkang dengan intelegensi yang cakap. Ia tinggal di rumah Azar, seorang penyembah cum pembuat berhala yang fanatik. Dan Sarah, istrinya yang mandul itu, merupakan seorang ningrat yang fanatik.

Sebagai nabi yang terus menyuarakan ajaran tauhid, Ibrahim mengemban tugas yang sangat berat, tentu. Selama berpuluh-puluh tahun ia terus menyerukan tauhid dalam masyarakat yang jahil dan opresif.

Akhirnya, setelah seabad lamanya menanggungkan segala macam siksaan dan ujian di zaman kala bendu itu, ia berhasil menyuntikkan  cahaya kesadaran dan menebar benih cinta serta juga kemerdekaan hampir ke tiap-tiap ruas diri kaumnya yang telah terbiasa dengan opresivitas terhadapa diri mereka sendiri.

Di usianya yang sudah seratus tahun lebih, ia masih mengharap seorang putra yang sekiranya bisa mewarisi dia kelak. Ya, meski Ibrahim sudah berada di puncak kenabian, tak bisa kita tampik, jika ia juga adalah seorang manusia sebagaimana lazimnya. Namun sayang, Sarah, istri pertamanya, mandul.

Baca Juga:  SJS #2 Hadirkan Ahmad Taufiq, Diskusi tentang Komunikasi Massa dan Masyarakat Digital

Ibrahim yang menjadi perantara menyampaikan risalah ketauhidan-Nya, sudah memegang teguh, jika ia hanya bisa mendamba pada satu dzat, yakni Allah. Ia tak henti-hentinya mendamba dan pasrah bongkok’an kepada Allah.

Lewat perantara budaknya, Hajar, Ibrahim dikaruniai seorang anak. Bernama Ismail.

Betapa bahagianya, karena akhirnya, Ibrahim yang kian renta digerogoti usia itu, bisa menjadi seorag ayah. Hadirnya Ismail pun bukan sekedar anak. Ia lebih dari itu. Ismail barangkali menjadi anugerah terindah. Dan bisa pula dikatakan sebagai hadiah dari Allah, karena Ibrahim yang sudah menanggungkan segala macam penderitan, melahap onak dan duri sepanjang usianya. Ismail adalah yang paling dicintai oleh ayahnya.

Kini, kedua bola mata yang ditutupi dengan alis panjang yang sudah memutih itu tampak terlihat makin lebar dari sebelum lahirnya sang putra, Ismail. Matanya berbinar. Bagi Ibrahim, Ismail bak satu-satunya pohon harapan yang tumbuh di tengah gersang dan tandusnya tanah milik seorang pekebun tua. Setiap saat menjelang hari kematian yang kian dekat, ia ingin menikmati hasil kebun itu. Saat-saat itu, kenikmatan ‘itu’ benar-benar terasa dengan kehadiran Ismail.

Ismail berbeda dengan anak-anak lainnya. Karena, kelahirannya didamba sedemikian rupa dan sedemikian lama oleh ayahnya yang usianya sudah senja dan juga karena kehalirannya yang tidak dinyana-nyana. Tidak diduga-duga.

Hadirnya Ismail benar-benar membuat tiap lembaran yang dilalui Ibrahim dari hari ke hari makin berwana. Makin bahagia. Ia adalah harapan, ia adalah cinta, ia adalah anak putra seorang ayah.

Baca Juga:  Keunikan Dakwah Sunan Kalijaga (Bunga-Bunga dan Kemenyan)  

Dan akhirnya, kabar ‘buruk’ itu datang. Kepala Ibrahim seperti tersambar petir saat mendapat ‘musibah’ yang datang itu. “Wahai Ibrahim! Rebahkanlah pisau ke leher putramu dan dengan tanganmu sendiri, sembelihlah!”.

Kita tak akan bisa membayangkan bagaimana guncangan yang dirasakan oleh Ibrahim kala itu. Betapa dahsyat wahyu ilahi itu menghempas dan meluluhlantakkan batinnya. Ia tak hanya berkecamuk, ia syok. Ia, seolah tak percaya.

Begitu menerima wahyu yang datang dari mimpi itu, Ibrahim, hamba yang begitu berani, gagah dan paling patuh serta dikenal sebagai hamba yang begitu gigih membangkang pada rezim, gemetar dan goyah sekan hendak roboh dan tersungkur. Seakan, tokoh yang masyhur tak pernah kalah itu sedang berada di babak terakhir kehancurannya.

Tetapi, wahyu adalah perintah Allah. Wajib dilaksanakan! Mutlak!

Kurbankanlah Ismail-mu, namun, siapa atau apakah Ismail-mu itu? Pangkatkah? Jabatankah? Istrikah? Kekayaanmukah? Ketenaranmukah? Atau ketampanan dan kecantikanmu?

Tak pelak lagi, setiap dari kita sudah barang tentu mempunyai Ismail-kita masing-masing, sesuatu yang amat sangat kita cintai–melebihi segela-galanya, dan barangkali juga berbeda-beda wujud dan rupanya.

Ismail-kita/mu itu, kata Ali Syari’ati, dalam bukunya Al-Hajj, menulis:

 “…Ismail-mu itu adalah segala ihwal yang memperlemah imanmu. Segala ihwal yang menghalangi ‘safarmu’. Segala ihwal yang membuatmu enggan menerima tanggung jawab, segala ihwal yang membuatmu asyik dengan dirimu sendiri, segala ihwal yang membuatmu lari dari realitas, segala ihwal yang membutatulikan mata dan telingamu”.

Baca Juga:  Mahasiswa Sambil Kerja, Tak Cuma Problem Membagi Waktu

Ya, sejak hadirnya Ismail, Ibrahim seolah terlena, kecintaanya kepada Allah, sempat ‘terhalangi’ dengan cintannya kepada Ismail. Dan ‘digodalah’ Ibrahim oleh Allah dengan memberinya sebuah wahyu untuk menyembelih Ismail/penghalang kecintaannya kepada Allah. Kata Emha; Tuhan pun, Maha Pencemburu.

Dalam buku yang memaparkan tentang panduan memahami filosofi dan makna sosial di balik ritual-ritual haji itu, sosiolog asal Iran ini juga mengutip sebuah ayat, “Dan Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan…” (Q.S. Al – Anfal [8]: 28).

Lebih lanjut, sebenarnya, uraian Ali Syari’ati tentang bab ini sangatlah menarik dan rinci, tak hanya membahas tentang kurban saja, ia juga membahas bagaimana awal mula Ibrahim membangkang dengan perintah untuk menyembelih ismail, dialognya dengan ismail saat mengabarkan datangnya wahyu itu, baik stasunya sebagai nabi maupun perbincangan antara ayah dan anak sebagaimana lazimnya, prosesi penyembelihan. Penulis menganggap, semua penjelasan disampaikan dengan bahasa yang indah dan relatif mudah dimengerti.

Tapi sayang, penulis hanya bisa sedikit bercerita tentang sekelebat dari apa yang disebut makna filosofi dan sosial di balik ritual-ritual Haji atau dalam hal ini setidaknya apa yang kiranya masih berkorelasi dengan bulan Idul Qurban ini. Selanjutnya, teman-teman, tentunya bisa membaca sendiri di buku yang sudah diterbitkan oleh penerbit Mujadalah, Jalasutra dan juga Pustaka Bandung ini. Salam!

Petang, 12 Juli 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *