“Alih-alih ingin mendapatkan informasi atau berita. Nyatanya, kita lebih suka bergembira dalam mengumpat dan ketawa, ketimbang berpikir dan mencerna”
Masa transisi dari media cetak ke media digital seakan tak pernah betul kita rasakan kapan itu terjadi, tahu-tahu – ya — kita sudah eksis dalam dunia yang serba digital ini. Betapa gagapnya kita untuk bisa menyikapi berbagai macam informasi yang terus diproduksi oleh berbagai agen dan produsen informasi. Pondasi literasi khalayak yang belum benar-benar mapan, terus tergoyah dan bergoyang-goyang hendak tumbang karena gerojokan informasi yang tiada henti.
Meski satu sisi kita terlihat begitu gagap menyikapi bandang informasi ini, di lain sisi kita menjadi begitu percaya diri untuk tiba-tiba memosisikan diri sebagai agen informasi dan pembuat informasi.
Lihat saja. Saat ini, hampir tiap kepala sudah bisa dipastikan mempunyai piranti-pirantinya. Semua orang dengan peranti-peranti itu merasa cukup dan mahir dan merasa mempunyai otoritas untuk menyebarkan informasi apapun.
Bagaimana dengan standar-satandar penyampaian informasi? Ah-barangkali lupa. Barangkali belum tahu. Kenapa? Itu soal lain.
Tapi salah satunya mungkin, saking banyaknya jenis mahzab dalam standar penyampaian informasi/berita. Ya, boleh dikata tak menentu.
Khalayak rasanya belum usai dalam dunia literasi cetak, namun mak bedunduk internet datang menerjang tanpa permisi atau salam. Selera membaca kurang, sedangkan para agen informasi terus memproduksi berjibun aneka cita rasa informasi dan berita.
Hasilnya, seperti kita saksikan dan rasakan bersama hari ini. Produsen berita/informasi digital kian merebak, mereka berlomba dalam mencari selera publik. Dan kemudian megikutiya. Menurutinya. Tak jarang pada akhirnya, (lumayan) banyak informasi-informasi degan cita rasa yang menggoda a la junk food; Menggoda, lezat tapi kurang bergizi.
Satu sisi, publik jadi tak percaya pada kualitas media, di sisi lainnya selera dan definisi publik atas informasi juga turut terbentuk beraneka rupa. Dari kebanyakan definisi informasi atau berita yang ‘bagus’ menurut publik ialah; alakadarnya, sekilas, memancing penasaran dan beraroma click bait serta hangat dengan kepulan asap bernama viral.
Dalam kondisi publik yang tak percaya pada media sekaligus publik merasa memiliki kualifikasi setara dengan produsen berita/informasi, akhirnya tak sedikit dari mereka menjadi termotivasi untuk menciptakan beraneka macam informasi serta berita. Apalagi mereka pernah dengar sekelebatan tentang istilah jurnalisme warga (citizen journalism) dan demokratisasi informasi. Mantap dah!
Sependek pengamatan penulis, gemuruh informasi yang terus bergulung-gulung menerjang kita sampai detik ini rupanya turut memengaruhi kebahagiaan dan kesadaran kita.
Alih-alih ingin mendapatkan informasi atau berita. Nyatanya, kita lebih suka bergembira dalam mengumpat dan ketawa, ketimbang berpikir dan mencerna. Yo pora? Hahaha…
Mentari sepenggalah, 21/8/22