“Kemeriahan dan keriuahan dunia baca-tulis di era digital ini diramaikan dan diikuti oleh banyak manusia yang berasal dari manapun dan oleh siapa pun”
Masyarakat kita dewasa ini, kerap menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Semangat masyarakat dalam mengonsumsi informasi dan menuliskan gagasan atau apapun saja yang berdesir memang melonjak drastis. Dari membaca informasi di group WA, facebook, telegram dan tak sedikit yang berkutat dengan beberapa artikel dan tulisan lain di web-web yang kian beranak pinak dan terus berlipat ganda jumlahnya itu.
Tak melulu apa yang disebut ‘membaca’ adalah harus berhubungan dengan buku kan?—baik elektronik maupun cetak. Ya, era kita saat ini adalah era digital. Era di mana hampir segala jenis informasi yang kadang tanpa kita minta dan butuhkan, tiba-tiba secara ajaib menggenangi layar gawai kita.
Setuju atau tidak, genangan informasi itu rupanya sangat memengaruhi dan mampu menggerakkan kita. Membentuk persepsi kita, menggembalakan imajinasi-imajinasi liar kita. Semua itu membuat kita menjadi pribadi baru yang kadang cukup brutal dalam menyikapi peristiwa demi peristiwa dan tak sedikit yang menjadi ganas nan buas saat melihat fenomena demi fenomena. Iya, meski tak menutup kemungkinan, ada beberap gelintir orang yang makin bijak dan cerdas dari hari ke hari di tengah pusaran informasi ini.
Antusiasme Homo Digitalis
Kemeriahan dan keriuahan dunia baca tulis di era digital ini diramaikan dan diikuti oleh banyak manusia yang berasal dari manapun dan oleh siapa pun. Dan, di zaman di mana manusia layak disebut sebagai homo digitalis, setiap tulisan yang ada, juga bisa dibaca oleh siapa saja.
Apalagi di meda sosial. Media sosial tampaknya menjadi salah satu dunia yang harus dilalaui oleh manusia masa kini – selain bumi — kaum millenial utamanya. Alih-alih tak mau ketinggalan zaman dan informasi, media sosial juga menjelma semacam suaka yang begitu bebas dan merdeka.
Media sosial adalah tempat parade kebebasan bersuara ala demokrasi super-liberal. Ya, dalam layar kotak kecil seukuran genggaman itu, segala macam kebebasan mengejawantah.
Sekali lagi, semua orang bisa menjadi penulis dan semua tulisan bisa terbaca oleh semuanya. Oleh siapa saja dengan begitu antusias.
Penulis dan Pembaca “Liar“
Tapi, sebentar. Jika kita amati dan perhatikan dengan sedikit seksama, mayoritas yang menjadi penulis di media sosial tadi adalah orang yang tak punya pertanggungjawaban ilmiah apapun. Kebanyakan mereka adalah para “penulis liar” yang iseng-iseng menulis, atau kuli tinta lepas yang kadang juga tak punya latar keilmuan yang mumpuni dengan tulisan yang ia hasilkan.
Jadinya, ya, kebanyakan tulisan yang dihasilkan tadi menjadi penambah debit banjir bandang dengan arus yang kuat dan sangat mungkin berpotensi menghanyutkan manusia dari manapun yang berada dalam lintasan arus media sosial. Maka jangan ditanya seberapa mencerahkan atau seberapa mengilhami tulisan-tulisan yang berseliweran tadi (termasuk tulisan ini) Wkwkwwk
Dalam menyikapi berseliwerannya dan gemuruh informasi di media sosial yang tak terkontrol ini, barangkali kita bisa me-dudukperkarakan-nya, layaknya berbagai jenis makanan yang dijajakan di pinggir jalan raya yang bisa kita beli-konsumsi. Selain kita punya selera masing-masing. Ada beberapa makanan yang idealnya–dengan taraf aman standar kesehatan–bisa dikonsumsi oleh orang tertentu. Sebuat saja makanan pedas dengan berbagai level sambal lengkap dengan minuman berkarbonasi itu, sangat tidak aman bagi ibu hamil dan lansia. Sate kambing yang lezat dan bikin hidung kita mlekrok berseri-seri itu juga sangat beresiko bagi orang dengan tensi tinggi. Dan seterusnya–dan seterusnya.
Sialnya, di belantara media sosial itu, para penulis dan pembaca liar tadi kebanyakan juga kekurangan tentang literasi media. Di satau sisi, para penulis dan pembaca liar Itu sudah sangat keren, mereka semua mau menulis – meski menulis status—dan juga membaca status. Ya, meski status. Toh, status di media sosial, Facebook salah satunya, saat ini tulisan di akun FB tak bisa disebut status biasa atau terkesan dalam format pendek dan acakadut karena pembatasan jumlah karakter penulisannya.
Debat Sengit Goenawan Mohamad dan A.S Laksana di Facebook
Mungkin kamu masih ingat perdebatan sengit dan gayeng antara Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana alias Sulak 2 tahun lalu. Saat itu, dua penulis kondang ini memperdebatkan ‘polemik sains’ hingga berkepanjangan sampai durasi berhari-hari. Perdebatan keduanya benar-benar tak bisa dianggap remeh. Sangat bermutu dan berbobot tentunya, keduanya juga mengutip referensi dari berbagai sumber. Penulis sendiri juga mengikuti perdebatan elegan di facebook kala itu. Tulisannya pun sudah layaknya macam Caping (Catatan Pinggir) GM yang terbit tiap minggu yang kemudian dibukukukan yang kini sudah lebih dari selusin jilid itu.
Dan tak heran, dari perdebatan itu banyak warganet yang merasa tercerahkan dan mengapreasi dengan penuh antusias lalu meng-share tulisan keduanya. Bahkan penulis beken lain macam Ulil Abshar Abdalla dan F. Budi Hardiman juga ikut meramaikan perdebatan ini. Tak sampai situ, penulis lainnya juga ikut memberikan tanggapan dalam bentuk tulisan yang tak kalah ciamik.
Bagi yang tidak sempat mengikuti debat ‘polemik sains’ kala itu, bisa disimak di link berikut. Ya, Erwin Setia telah merangkum tulisan-tulisan debat itu di mojok.co https://www.google.co.id/amp/s/mojok.co/terminal/sebuah-debat-panjang-polemik-sains-sedang-terjadi-di-facebook/amp/
Yang jadi pertanyaan adalah, orang-orang macam GM, Sulak, F. Budi Hardiman & Gus Ulil ini jumlahnya cukup banyak, namun yang mau menceburkan diri dalam belantara dunia maya hanya segelintir saja.
Lantas, di mana para orang-orang intelek yang jelas-jelas memiliki keahlian dan kualifikasi ilmu, baik dari sarjana sampai doktoral bahkan professor itu? Kemana rimbanya?
Ya, benar. Sangat mungkin mereka itu sibuk membuat penelitian, sibuk menulis jurnal dan karya ilmiah dan juga beberapa buku ber-ISBN untuk prasyarat kenaikan jabatan gelar akademik.
Ya, ya, saya ngerti kok. Ada beberapa sarjana bahkan doktor dan professor yang turut menceburkan diri dalam pusaran informasi di media sosial itu, selain GM dan Sulak tadi, mereka memberikan informasi yang benar-benar mencerdaskan dan bisa sedikit mencerahkan di tengah kesemrawutan informasi yang berkelindan. Jumlahnya pun sangat sedikit, hanya beberapa biji, dan orangnya juga itu-itu saja. Tentu ini sangat amat sedikit dibanding jumlah doktor se-Indonesia raya yang jumlahnya kurleb 31 ribu itu.
Pentingnya Andil Akademisi dan Orang-Orang Sundul Langit
Dalam buku terbarunya ‘Sapiens di Ujung Tanduk’, Iqbal Aji Daryono mengungkapakan setidaknya ada 3 penyebab minimnya jumlah intelektual aktivis dunia maya (hlm. 60-62)
Pertama: Para sarjana, Master dan Doktor serta para ahli dan akademisi terlalu membatasi diri hanya untuk menulis di jurnal ilmiah. Harga diri mereka ditancapkan semata dengan jurnal. Tentu saja itu tak salah. Sama sekali tidak, toh itu juga tugas mereka sebagai akademisi. Namun jika berhenti di situ saja, ya, gagasan mereka kemungkinan besar hanya akan disantap oleh kalangan elit intelektual-pengetahuan saja.
Dalam bahasa yang lebih kejam, para sarjana dan akademisi itu hanya menulis untuk keilmuan dalam bentuk lembaran-lembaran, mereka lupa mengabdi kepada masyarakat, tempat di mana mereka dilahirkan.
Iqbal juga menyertakan penelitian dari Asit Biswas, profesor di National University of Singapore, dan Julian Kirchherr, peneliti di Oxford. Keduanya membuat pengamatan dan estimasi bahwa sebuah tulisan di jurnal ilmiah, rata-rata hanya dibaca hingga tuntas oleh 10 biji, eh orang. Ya, hanya 10 orang saja.
Bayangkan betapa elitisnya wacana dan tulisan dalam jurnal-jurnal, dan betapa terbatas jangkauannya. Kalau demikian, bagaimana orang-orang sundul langit di kampus-kampus itu memberikan manfaat untuk para fakir sudra pengetahuan macam kita-kita ini?
Kedua: Kalau toh menulis untuk tujuan pendidikan publik, banyak sarjana beserta jajaran akademisinya berpikir bahwa media cetak tetap lebih berwibawa. Apalagi menulis di jurnal dan kemudian mendapatkan nomor seri dan semacamnya. Ini ngga bohong. Saat penulis menyelesaikan tugas akhir dulu, dosen pembimbing dengan gelar professor itu tak membolehkan para mahasiswanya mencari referensi di dunia maya. Pokoknya referensi online haram dan tidak sah. Harus dari jurnal, dan dalam bentuk cetak. Titik!
Jujur saja, waktu itu, penulis hanya merasa srodok nganu gitu. Tapi mau di-nganu ya gimana, mengingat jatah studi penulis sudah hampir batas maksimal DO. Ya, akhirnya cari aman. Ya, manut saja. Pokoknya lulus.
Selain itu, para akademisi juga mempunyai anggapan klasik, yakni “Ah—rasanya bau kertas itu tetap romantis, aroma kertas adalah aroma surga, tak bisa tergantikan oleh bau layar gawai semutakhir apapun”.
Barangkali mereka lupa atau belum tahu, bahwa beberapa koran di Indonesia jumlah oplahnya kian menurun sejak ada dan massifnya berita di dunia maya. Bandingkan dengan tulisan di dunia maya. Tulisan laris sangat mungkin bisa dibaca hingga ratusan ribu bahkan jutaan pasang mata lho.
Sebab, ada satu mekanisme di dunia online yang tidak dimiliki dunia cetak, yakni Viral. Secara teknis, membagikan dan menyebarluaskan tulisan di media sosial sangat efektif dan efesien dan mudah banget serta dengan durasi yang amat sangat cepat. Dalam hitungan menit, bahkan detik, sebuah tulisan bisa menyebar di puluhan ribu group WA, FB, dan telegram.
Bahkan, ada beberapa dari kita yang memotret sebuah tulisan cetak dan kemudian memviralkannya di dunia maya. Dan beberapa dari kita juga, akhirnya kepo dan ikut memelototi tulisan sembari meng-zomm-nya dengan mata setengah juling dan memicing. Haha
Ketiga; Karakter dunia maya yang cair dan luwes itu agaknya bisa bikin martabat intelektual dan akademisi ternodai. Mereka beranggapan jika tulisan di media sosial tidak bisa memberikan informasi apapun kecuali sampah dan hoax. Semua tulisan itu jauh dari kata mutu. Begitu kira-kira.
Para intelektual yang terhormat itu barangkali masih percaya bahwa tulisan yang TOP dan bermutu itu adalah tulisan yang bisa bikin pembacanya kejang dan stroke. Dengan tumpukan istilah ilmiah yang ndakik-ndakik, kutipan yang berjejer-jejer, serta referensi yang selalu berbahasa asing dan kerap menggetarkan hati.
Ya, seakan dunia maya ini terlalu nista dan hina-dina untuk dijadikan wadah gagasan-gagasan adiluhung mereka.
Dengan jenaka namun ngena, Iqbal yang mengkalim dirinya sebagai praktisi medsos penuh waktu itu menganggap jika masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat yang tak taat pada silabus.
Kita belum selesai dengan budaya literasi cetak, tahu-tahu tradisi online sudah berkuasa sebegitu cepatnya. Ilmu dan fondasi kita seakan masih belum cukup untuk memilah dan memilih sampah dan racun-racun informasi yang terlalu cepat sudah menyesaki ruang-ruang informasi kita.
Nah, di sini para intelektual dan akademisi yang jelas-jelas berijazah, bersertifikat dan berkualifiaksi keilmuan dengan nasab jelas itu, ditantang untuk ngeli ning ora keli. Menceburkan diri namun tak hanyut.
Mereka yang terhormat ini bisa mengendalikan laju arus dan masuk ke dalam pusaran keributan dan kesemrawutan informasi di dunia maya, sembari berjuang agar; kami para sudra ilmu ini tetap bisa bermedsos dan tentu sambil tholabul ilmi. Sambil terus menerus belajar, agar tak sampai menjadi pemuda yang tersesat dan keracunan.
Tabik,
Seusai hujan reda, 14/8/22