Satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan empat anak tiba-tiba menggegerkan dunia. Mereka melakukan aksi bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya pada Minggu 13 Mei 2018. Aksi itu menghantam akal sehat banyak orang. Kenapa mereka melakukannya? Kenapa orangtua melibatkan anak-anaknya, apalagi ada yang baru berusia 9 tahun?
Nalar saya tak sampai ke sana. Saya cuma bisa mereka-reka adegan demi adegan bagaimana keluarga tersebut menjalani masa-masa sebelum aksi mengerikan itu. Saya membayangkan Dita memanggil Puji , istrinya dan mengumpulkan ke-empat anaknya. Di depan anak-anaknya, dia meyakinkan jika apa yang akan mereka lakukan keesokan pagi adalah proses yang menyenangkan, tidak terasa sakit. Dan yang utama dan terpenting, mereka akan berkumpul kembali di tempat yang jauh lebih baik. Surga.
Puji memandang ke-4 anaknya secara bergantian. Dia memandang anak ke-4 lebih lama dari anak-anak yang lainnya. Untuk saat itu, anak ke-4 memang paling dekat dengannya. Tiba-tiba dia teringat saat si bungsu menangis meminta minum susu di tengah malam yang dingin, lalu dengan kesigapan seorang perempuan yang ditakdirkan menjadi ibu, dia segera memberinya minum dan menidurkannya.
Puji tahu jika apa yang akan dia lakukan adalah sebuah kekejaman. Kepada kucing peliharaannya saja dia menaruh belas kasih, masak iya, kepada manusia dan anak-anaknya sendiri, dia justru tega melakukan perbuatan keji? Tidak! Tentu dia tidak tega. Dia perempuan dengan hati lembut. Ibu dengan perasaan penuh kasih. Tapi, cinta dan kesetiaannya pada suami justru membuat hidupnya sengsara.
Anak-anak kecil yang belum genap menyelesaikan masa remaja itu tidak bersalah. Dia hanya kebetulan saja hidup di dalam keluarga yang salah memaknai kepercayaan. Andai keluarganya seperti keluarga orang-orang beragama pada umumnya, hari ini, si sulung masih sibuk bermain gadget sambil sibuk melihat-lihat WA story teman-teman sekolah sekaligus belajar merasakan cinta pertama; si bungsu masih sibuk bermain di depan rumah bersama teman-teman sepermainannya; sedangkan anak ke-2 dan ke-3, tentu masih sedang memikirkan tugas sekolah dan cita-cita layaknya anak seusianya. Mereka tidak bersalah. Mereka hanya tidak beruntung saja hidup di keluarga yang salah. Keluarga yang meyakini kepercayaan sesat sejak dalam pikiran.
Puji, ibu dari 4 anak itu, adalah perempuan baik. Perempuan yang sangat penurut pada suaminya. Jika dia bukan perempuan baik-baik, tentu tidak akan manut pada suaminya. Jika dia bukan penurut, mereka berdua mungkin sudah bercerai. Dia hanya kurang beruntung, berjodoh dengan pria sesat pikir yang tidak bertanggung jawab terhadap hidupannya dan kehidupan anak-anaknya. Dan parahnya, dia setia.
Andai takdir terulang, tentu, Puji bakal memilih pria baik-baik. Di dunia ini, masih banyak pria baik-baik yang mau hidup normal bersama dia dan anak-anaknya. Puji layak menjadi ibu rumah tangga yang baik. Dia terpelajar. Memiliki kepedulian sosial dan lahir dari keluarga baik-baik. Sayang, cintanya pada si suami membuatnya terjerumus di dalam lubang kesengsaraan.
Orang tua Puji tentu berfirasat buruk sejak lama. Sesaat setelah Puji memperkenalkan calon suaminya itu pada kedua orangtuanya, di Banyuwangi, kedua orangtua Puji langsung tidak setuju. Mereka menilai lelaki yang dikenalkan putrinya itu tidak baik dalam memahami agama. Tentu, sebagai orangtua, firasatnya tajam. Mereka tidak setuju dan melarang Puji menikah dengan lelaki itu. Demi kebaikan putrinya, Puji.
Tapi, cinta memang kerap mengalapkan mata batin. Puji yang sudah jatuh cinta pada lelaki itu nekat menikah meski restu dari orangtuanya tak dia dapat. Puji memilih memutus hubungan pada orangtuanya demi menjalin hubungan pernikahan dengan lelaki itu. Mereka pun menikah dan dikaruniai anak. Melihat cucu-cucunya yang lucu, orangtua Puji pun mulai luruh. Mereka membelikan Puji dan cucu-cucunya rumah dan mobil beberapakali. Meski, pada akhirnya, suami Puji kerap menjual pemberian dari mertuanya untuk kepentingan yang tidak penting.
Puji memang merasa aneh dengan sikap dan kepercayaan suaminya pada agama. Tapi, sebagai perempuan setia, dia selalu berusaha menurut. Hingga rahimnya mengeluarkan 4 bayi mungil, dia selalu bersetia pada si suami, menerima berbagai keanehan dengan kewajaran seorang ibu rumah tangga biasa. Dia masih menjaga kesetiaan, meski seharusnya layak meminta cerai. Demi ke-4 anaknya, Puji bersetia pada suaminya.
Pergaulan suaminya yang terkesan aneh dan buruk dan membahayakan, kerap dia protes diam-diam. Tapi, mempertimbangkan perkembangan 4 buah hatinya, dia tetap bersetia. Pada titik ini, dia kerap tidak bisa tidur nyenyak. Saat memejamkan mata, dia sering terkenang masa kecilnya, hidup bersama orangtua, masa-masa SMA, hingga cinta pertamanya: seorang lelaki yang kehadirannya tergantikan oleh suaminya saat ini.
Hingga sebuah keputusan berat yang disampaikan sang suami kepadanya, tentang proses menuju syurga bersama-sama, dia sempat tak percaya jika suami yang dipilih dan dibangga-banggakannya bisa berkeputusan setega itu. Dia sempat mengingat-ingat lagi perjalanan hidupnya: sesekali menyesali dan berulangkali memaklumi.
Tapi Puji perempuan baik-baik. Dia perempuan setia. Tak ingin melihat anak-anaknya menyaksikan pertengkarannya dengan sang suami, dia pun menurut. Dia, dengan berat hati, menyetujui ajakan suaminya untuk meniti jalan syuhada. Jalan syurga. Mati bersama-sama. Sebuah jalan sesat pikir yang dipercayai suaminya. Dan secara terpaksa, olehnya juga.
Seharusnya Puji bisa mendapatkan suami yang lebih paham beragama dengan baik. Seharusnya Puji bisa hidup layaknya ibu rumah tangga pada umumnya; menemani perkembangan anak-anaknya dan aktif mengurus arisan dan tetap bisa memelihara kucing kesayangannya di halaman rumah. Tapi, kesetiaan dan kemanutan dan kecintaannya pada si suami yang tidak paham beragama dengan baik itu membuatnya kehilangan banyak hal baik di dalam hidup.
Di Surabaya, pada kasus yang sama, Puji tidak sendirian. Ada dua (atau bahkan lebih) perempuan dan ibu rumah tangga seperti Puji yang bernasib sama. Manut pada suami yang salah. Mereka, para perempuan, para ibu-ibu itu, harusnya berhak mendapatkan hidup yang baik. Berhak berjodoh dengan lelaki baik dan berhak menikmati kenikmatan hidup dengan baik. Bukankah di dunia ini masih banyak lelaki jomblo rahmatan lil alamin yang bisa dijadikan suami?
Jodoh memang sudah digariskan, tapi perempuan berhak memilih lelaki baik yang memiliki pemahaman beragama secara mendalam. Bukan pemahaman agama yang dangkal dan instan. Sebab, di dunia ini masih banyak lelaki jomblo rahmatan lil alamin yang lebih layak dijadikan suami daripada agamawan radikalis yang belajar agamanya dadakan dan tidak sedari kecil.