Perbedaan-perbedaan pandangan dalam beragama tidak perlu dibesar-besarkan. Umat beragama perlu menghindari pandangan sempti dan menyalahkan kelompok lain yang berbeda pandangan. Ini penting untuk mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme. Walakin pada sisi lain, perlu ada definisi bersama soal radikalisme dan terorisme agar dua istilah itu tidak hanya ditujukan pada orang-orang Islam saja.
Tema-tema ini mengemuka dalam dialog lintas agama yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) Bojonegoro di hall Griya Dharma Kusuma, Bojonegoro Jumat (20/12/2019). Dalam acara itu, peserta berasal dari berbagai latar bekalang agama dan orgamisasi masyarakat.
Kepala Kemenag Bojonegoro Samsuri mengawali pembicaraannya dengan menunjukkan fakta keberagaman pemeluk agama di Bojonegoro. Sesuai hasil survei Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2014 diketahui jumlah penganut agama Islam di Bojonegoro mencapai 1.423.022, agama Kristen 6.183, agama Katolik 4.613, agama Hindu 2.132, agama Budha 556, dan agama Konghuchu 750 penganut.
“Dan selama ini pemeluk agama hidup rukun dalam perbedaan,” katanya.
Samsuri menegaskan guna meningkatkan kerukunan umat beragama, perlu memaksimalkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Selain itu juga perlu memahami agama secara moderat atau wasathy.
Kemenag memang sedang gencar mengkampanyekan Islam wasathy yakni Islam moderat. Dengan Islam moderat, pemeluk agama tidak berpikiran sempit dan tidak menyalahkan kelompok yang punya pandangan berbeda. “Mari terus mengenalkan anak-anak kita pada islam wasathy,” terang Kepala Kemenag Bojonegoro.
Ketua FKUB Bojonegoro KH Alamul Huda dalam kesempatan itu menuturkan bahwa tantangan besar mencegah radikalisme dan terorisme adalah dengan cara hidup di tengah-tengah. Tidak mengambil posisi ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
“Tantangan kita adalah ego sektoral yang selalu memunculkan istilah ‘pokoke’. Pokoke kalau tidak sama dengan kelompok saya berarti salah. Ini yang bahaya,” katanya.
Menurut dia, masyarakat perlu mengembangkan sikap-sikap toleran di tengah perbedaan yang seringkali dibesar-besarkan. Saling menghargai perbedaan perlu dikembangkan, salah satunya dengan silaturahim antar pemeluk agama berbeda.
Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Bojonegoro H Suwito mengkritik adanya penggunaan istilah radikalisme dan terorisme yang ‘digebyah uyah’ atau disamaratakan. Padahal perlu ada pemaknaan bersama terkait dua istilah tersebut. Tujuannya agar tidak mencap orang lain radikal atau teroris hanya karena ada perbedaan pandangan.
“Kemenag harus mempunyai konsep yang jelas terkait apa itu radikalisme, apa itu terorisme. Karena dua istilah itu seringkali dipahami keliru dan hanya dialamatkan pada orang Islam saja,” katanya.
Muhammadiyah, kata dia, memandang Indonesia sebagai darul ahdi was syahadah. Hal itu sudah diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke 47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar. Darul ahdi berarti negara tempat melakukan konsensus nasional. Dan darul syahadah artinya negara tempat mengisi kemerdekaan agar maju, makmur, adil bermartabat.
Selain tema-tema di atas, para peserta dialog lintas agama juga menyodorkan beberapa cara mencegah radikalisme dan terorisme. Diantaranya perlu peningkatan literasi digital untuk mencegah penyebaran hoax yang bisa memicu kebencian. Juga perlunya kegiatan-kegiatan bersama yang dilakukan masyarakat beda agama, terutama untuk anak didik di sekolah.
“Kita coba tahun depan untuk membuat kegiatan bersama. Bisa jambore lintas agama, kemah lintas agama atau kegiatan-kegiatan lainnya yang bertujuan menjaga kerukunan antar umat beragama,” kata kepala Kemenag Bojonegoro.