Gelar keloso ngarep omah, delok ceblok’e lintang lan padange bulan tengah wengi
***
Meneruskan tradisi leluhur, terkadang mudah tapi juga berat. Seperti yang dialami Mbah Sariyem, setia menganyam tikar pandan. Dulu, ia menggantungkan hidup pada keahliannya menganyam tikar pandan. Sayang, kini bahan dasar mulai sulit diperoleh.
Betapa malang Mbah Sariyem. Nenek berusia 75 tahun harus hidup sebatang kara. Ia lahir di Dusun Ngapus Desa Glagahan Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro. Di usia senja, ia harus berhenti dari aktifitas kesehariannya sebagai penganyam tikar tradisional karena daun pandan sudah tidak ada. Pandan yang dulu lebat di belakang rumahnya, kini tak ada yang tumbuh. Selain itu, pembeli tikar pandan kian hari kian sepi.
Mbah Yem, begitu para tetangga menyapa, adalah perempuan tua yang dianugerahi usia panjang. Perempuan sepantarannya, yang juga sama-sama penganyam tikar pandan sudah banyak yang tutup usia. Mbah Yem menekuni aktifitas itu kurang lebih 40 tahun. Ia sendiri merupakan meneruskan apa yang dilakukan ibunya.
Sebagai penganyam tikar, dimaknainya sebagai ikhtiar sumber rezeki kehidupan sekaligus meneruskan tradisi leluhur Jawa. Dengan konsep kesederhaan dalam memanfaatkan media apa saja yang ada di sekitaran rumah, sehingga menjadi lebih bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya pembuatan anyaman tikar ini hanya membutuhkan waktu sekitar 2 hari untuk tikar dengan motif sederhana. Sedangkan untuk motif yang agak rumit membutuhkan waktu pengerjaan paling cepat 7 hingga 12 hari.
Dalam pembuatan kerajinan tikar ini membutuhkan alat-alat tradisional dengan bahan baku yang mudah kita jumpai di daerah Sugihwaras dan sekitarnya. Untuk alat sendiri yang butuhkan adalah pisau (parang), penjepit dari bambu, nilon (benang pancing), gunting dan cutter. Bahan yang dibutuhkan seperti daun daun pandan, dan pemawarna alami.
Stop Tahun 2010
Sejak 2010, Mbah Sariyem sudah tidak lagi membuat tikar pandan. Pandan tidak tumbuh lagi di pekarangan rumah, padahal sudah beberapa kali ditanam, namun hasilnya juga nihil. Sisi lain konsumen lebih tertarik terhadap tikar modern yang lebih fleksibel atau sesuai dengan konsep rumah modern.
Mbah Sariyem lebih suka menyebut tikar dengan bahasa lokal: keloso. Bahasa itu peninggalan dari tradisi leluhur sekaligus ilmu-cara membuatnya dilahirkan sejak dulu, seperti yang masih tersimpan dalam memori ingatannya, sejak kecil dia sudah belajar nganyam tikar bersama mbah Sarbini (Ibuknya) sendiri.
Punya filosofi mendalam
Keloso juga mempunyai artian penting dalam kehidupan Mbah Sariyem, misalnya sanepan jowo; Keloso iku minongko dadi lasar manungso ingkang wancine sowan marang kuoso. Dalam bahasa Indonesia; Tikar Tradisional sebagai sarana/tempat untuk menghadap Tuhan yang Maha Kuasa.
Kebanyakan yang beli keloso di Mbah Sariyem dipakai sebagai alas orang yang meninggal dunia, hingga ada sebagian masyarakat yang mengikut sertakan Tikarnya ke dalam kuburan atau sebagai penahan tanah biar tidak mengenahi si-jenazah (setelah blabak).
Di sisi lain, sebagian masyarakat juga menggunakan keloso sebagai alas tidur. Jika diantara kalian yang masih ingat dengan rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat di masa dulu, misalnya “gelar keloso ngarep omah, delok ceblok’e lintang lan padange bulan tengah wengi” (Menggelar tikar tradisional di depan rumah sambil melihat bintang jatuh dan cerahnya bulan di tengah malam).
Lambat tahun, profesi Mbah Sariyem harus berhenti di tengah pertarungan pasar modern yang begitu menyeramkan. Tikar tradisional atau keloso yang terbuat dari daun pandan beralih ke tikar modern dari bahan kain dan plastik yang diproduksi oleh industri maupun pabrik tertentu.
Pada dasarnya pekerjaan sebagai penganyam tikar cukup memuaskan bagi Mbah Sariyem. Dalam satu minggu Mbah Sariyem bisa menghasilkan 10 tikar, dengan harga jual masa itu, per-biji sekisaran Rp 15.000.
Sekedar merenung
Mohon maaf sebagai penulis abal-abalan, saya sekedar memperlihatkan dan mengajak merenung, bahwa mindset berpikir orang jawa itu selektif dan solutif dalam menghadapi belbagai persoalan kehidupan, terutama konsep hidup sederhana, hidup dengan hasil apa yang ada di lingkungan rumah. Misal daun pandan saja bisa menjadi alas buat tiduran, bancaan dan sembahyang.
Maka tidak heran lagi, pulau Jawa, dengan ke-aneka ragaman budaya dan potensi alam yang bisa dikembangkan menjadikan aset terbesar kekayaan bagi masyarakatnya.
Perlu juga kita harus memutar kembali memori kelam di masa kecil, ketika bermain bersama teman-teman dengan konsep ala kerajaan, di mana posisi sang mahkota raja menjadi penguasanya dengan menggunakan mahkota. Kalau saya dulu pernah menggunakan Mahkota terbuat dari daun nangka dan kerisnya dari batang randu (kapuk).
Dan Jawa itu sebuah wilayah yang eksklusif, ketahanan pangan yang dinamis dari hasil pertaniannya, bangunan rumah yang terbuat dari kayu jati beratap genteng dari tanah liat, dan bertembok anyaman bambu, sekaligus di kelilingi tanaman mangga dan pisang sebagai cemilan musiman.