Jangan Cabik Kedamaian di Kota Kami

foto: detik.com

Ah, aku mengeluh. Juga menangis di dalam hati. Kotaku kini menjadi sorotan dan rasan-rasan di berbagai media. Bukan karena prestasi, tapi karena kontroversinya. Seolah tidak keren, kurang update ketika tidak ikut heboh ngomongin Tuban.

Ya, berdirinya patung Kongco Kwan Kong di halaman belakang Klenteng Kwan Sing Bio mendadak viral. Menjadi topik menarik di media sosial. Bahkan, memantik reaksi yang menurut saya, warga asli dan tinggal di Tuban, terlalu berlebihan ! Ada juga yang demo mendesak agar patung salah satu dewa bagi warga penganut Tri Dharma itu dirobohkan.

Tentu saja kami, yang tinggal di kota yang damai di pesisir utara (pantura) ini terkaget-kaget. Betapa tidak, kami yang di sini justru adem ayem, tak berisik apalagi ada gesekan. Patung itu sudah berdiri cukup lama, sebelum diresmikan dan kemudian memicu reaksi netizen itu, sudah ribuan orang datang, berselfiria, termasuk aku, istri anak anak-anakku. (eh bukan aku, karena aku yang memotret ketika anak-anak an istriku mejeng dengan latarbelakang patung tersebut) hehehe…

Bermain di klenteng, bagi warga Tuban bukan hal yang aneh. Bangunan-bangunan unik yang ada di tempat ibadah Tri Dharma itu banyak menarik minat masyarakat untuk datang. Aku dan anakku yang masih duduk di Play Grup setiap hari memandang patung itu ketika mengantar anak ke sekolah. Bahkan, kadang-kadang anakku kangen dengan Barongsay dan Liong yang disimpan dalam ruangan kaca di salah satu bangunan di dalam klenteng, anakku mengajak masuk klenteng.

“Jadi aneh yah, kenapa patungnya dibungkus kain. Malah kayak pocong,” celetuk anakku kesekian kalinya, sambil memandang patung yang bersatir itu dari kejauhan. Aku gelagapan, tak bisa menjawab. Mau dijawab sebenarnya bocah empat tahun ini pasti belum paham. Maka aku menjawab sekenanya. “Mungkin patungnya kedinginan Dek,” dan kami pun tertawa bareng hahahahaha.

Sejauh aku hidup di Tuban yang sekarang menyatakan sebagai Bumi Wali, belum pernah aku mendengar dan mengetahui terjadi benturan atau gesekan dengan alasan SARA atau pertentangan agama. Kami sangat toleran. Keberagaman bagi kami, warga Tuban dinilai sebagai sebuah keniscayaan, sunatullah dan memang harus terjadi. Kami terima dengan lapang dada. Sehingga, kami bisa hidup berdampingan dengan damai.

Soal keberagaman ini, Maulana Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang dikenal sebagai Sunan Bonang sudah memaklumi, dan mengajari warga Tuban untuk menerima dan menjalani kehidupan dalam keberagaman itu dengan damai, ratusan tahun yang lalu. Ada ragam agama, budaya, adat dan tentu saja keyakinan.

Jika Anda punya kesempatan dan berkenan, tengoklah museum kota kami, Kambang Putih. Di sana, Anda akan menemukan koleksi bagaimana ajaran luhur tentang menghargai perbedaan itu disimpan. Selain koleksi-koleksi kitab-kitab kuno dan jejak peninggalan wali yang disimpan, ada bukti fisik yang mendukung ajaran moderat sang Sunan tersebut.
Ya, museum Kambang Putih mempunyai koleksi unggulan atau masterpiece berupa Kalpataru, yang berwujud kayu, menyerupai sebatang pohon dengan empat cabang yang berukir. Di atasnya disambung balok kecil. Semuanya terbuat dari kayu jati. Kayu ini adalah tiang penyangga atau soko tunggal pendopo rante dari kompleks makam Sunan Bonang.

Baca Juga:  Lintang Kemukus dan Covid-19

Selain barang langka, Kalpataru itu juga berusia tua. Berdasarkan hasil uji laboratorium, Kalpataru itu dibuat pada era tahun 1445 sampai 1525. Uji laboratorium itu dilakukan pada 8 Agustus 2014 di Beta Analytic Radiocarbon Dating Laboratory di Miami, Florida Amerika Serikat. Tes menggunakan Carbon-14 untuk menentukan kronologi umur pasti dengan teknik penghitungan waktu radiocarbon.

Dalam Kalpataru tersebut, terukir berbagai bentuk tumbuhan, binatang, serta bangunan suci empat agama,yakni Islam, Hindu, Budha dan Tri Dharma. Ini adalah bukti ajaran Sunan Bonang yang ingin berkehidupan yang harmoni, hidup berdampingan meskipun berbeda kepercayaan. Kalpataru berarti pohon harapan. Jadi, pohon itu adalah lambang harapan Sunan Bonang agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai. Jika Anda menilai saya membual, coba datang dan buktikan sendiri. Tanya petugas museum di sana, maka mata Anda akan terbelalak betapa dalam makna simbol-simbol yang diciptakan Sunan Bonang.

Itulah ajaran yang dikembangkan Sunan yang makamnya terletak di belakang masjid agung Tuban tersebut. Karena ajarannya yang luwes dan tidak membedakan golongan dan asal usul, Islam yang dibawa putra Sunan Ampel ini menarik perhatian masyarakat. Sehingga, banyak pengikutnya. Karena masyarakat tidak merasa terjajah dan diintimidasi Islam, namun Islam bisa selaras dan menyelami budaya masyarakat. Dan, warga Tuban sangat memahami itu, dan menikmati keberagaman tersebut.

Kalau boleh kami, sebagai warga Tuban mengaku sebagai anak cucu Sunan Bonang, maka kakek buyut kami itu sudah sedemikian lama mengajari kami untuk toleran dan tidak mempertentangkan keyakinan.

Lalu, bagaimana mungkin kemudian kami harus diprovokasi dengan ide-ide dan suntikan semangat yang bisa memberangus kehidupan dalam keragaman dan demikian indah ini. Kami warga Bumi Wali sudah sangat pandai membedakan mana keyakinan dan akidah, dan mana kehidupan kemanusiaan. Coba Anda datang ke klenteng dan tengok dapur umumnya. Maka Anda akan melihat para juru masak di sana adalah perempuan-perempuan muslim, sebagian berhijab.

Saya bukan dalam posisi membela klenteng, namun ini adalah soal kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Soal patung, jika tak berizin harus bagaimana mengurusnya, serahkan saja pada yang berwenang. Pemerintah Tuban pasti bisa menyelesaikan urusan legal formal tersebut. Sementara masyarakat berperan pada wilayah menjaga kebersamaan, keragaman tanpa menyinggung kehidupan pribadi dan akidah.

“Kalau boleh kami, sebagai warga Tuban mengaku sebagai anak cucu Sunan Bonang, maka kakek buyut kami itu sudah sedemikian lama mengajari kami untuk toleran dan tidak mempertentangkan keyakinan”

Sikap Apa Adanya

Baca Juga:  Afi Nihaya Dikepung Hoax?

Warga Tuban bukanlah warga yang lembek, apalagi pengecut. Darah Ronggolawe yang mengalir di setiap nadi warga Tuban memunculkan keberanian alami. Sikap yang opo anane (apa adanya) tegas, terbuka, lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Artinya jika suka ya bilang suka, jika tidak suka tidak sungkan atau takut menyatakan ketidaksukaannya. Jika patung atau para umat yang beribadah di klenteng itu melanggar atau bahkan menyentuh wilayah sensitif keyakinan warga Tuban, warga luar Tuban tidak usah repot-repot, kami warga Tuban pasti akan bertindak. Leluhur kami, Ronggolawe tak pernah mengajari kami menjadi pengecut.

Pun, aku ingat ketika masa awal-awal reformasi dulu. Saat itu, aku masih mahasiswa, dan jadi aktivis eksponen 1998, sehingga masih sempat ‘mencicipi’ sikap represif aparat hehehe.

Anda ingat betapa kala itu juga muncul sintemen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) seperti saat ini. Saat itu, warga (maaf) Tionghoa menjadi sasaran untuk diganggu. Di Jakarta terjadi peristiwa penjarahan masal. Kami, para pemuda dan mahasiswa di Tuban kala itu berfikir keras. Kawan-kawan mahasiswa asal Tuban yang kuliah di luar kota banyak yang balik ke kampung. Mereka membawa misi untuk mengamankan Kota Tuban akan tidak terjangkit sentimen antiTionghoa yang kala itu berkembang.

Beberapa mahasiswa asal Tuban dengan telaten sowan ke tokoh-tokoh agama di Bumi Wali ini. Tak hanya tokoh Islam, namun seluruh tokoh agama yang ada di Tuban kami datangi. Kami yakinkan mereka, bahwa hanya kebersamaan yang bisa menyelamatkan Tuban dari huru hara itu. Maka, kala itu, kami menjadi rajin ‘apel’ ke para tokoh agama tersebut. Salah satunya ke Bu Titis, tokoh Konghucu yang ibadahnya di klenteng Kwan Sing Bio. Maka, saat itu kami akrab dengan beberapa pengurus klenteng, juga dengan para pendeta, pastur dan tokoh agama lain di Bumi Tuban.

Suatu ketika, klenteng yang punya banyak beras dan tumpukan pakaian layak pakai punya gagasan untuk membagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kami, kaum muda yang semangat menyanggupi untuk mencarikan lokasi. Oh, ya hasil dari silaturrahmi ke para tokoh agama itu, lantas lahirlah sebuah organisasi Forum Komunikasi Kerukunan Kebangsaan (FK3). Kami tak ngomong agama,namun kebangsaan. Semangatnya adalah, bahwa kaum beragama itulah yang bisa menyokong kokohnya bangsa ini. Forum ini, kelak menjadi tempat diskusi, curhat dan tempat melahirkan solusi terkait persoalan-persoalan kemasyarakatan di Tuban. Tokoh-tokoh agama tempo dulu di Tuban mungkin masih mengingat ‘sejarah’ kecil ini.

Pada hari H yang ditentukan, maka turunlah kami (FK3) yang terdiri dari tokoh dan umat berbagai agama ke masyarakat. Sebelumnya para pemuda sudah memetakan daerah mana saja yang layak dibantu, dan pos bantuan harus di tempatkan di mana. Hari itu, mungkin adalah kali pertama para tokoh dan umat berbagai agama itu menyentuh dan berbaur langsung ke masyarakat yang membutuhkan. Aku sempat merasa kasihan dengan saudara-saudara kami keturunan Tionghoa yang wajahnya memerah karena terpapar sinar matahari. Pengalaman itu mungkin tak pernah mereka alami, menyerahkan sendiri bantuan darinya untuk saudara yang membutuhkan, di lokasi terbuka yang panas. Meski wajah memerah dan peluh bercucuran, mereka terus semangat. Wujud kebersamaan dan kerukunan tercipta. Warga dan umat melihat langsung praktik kerukunan itu.

Baca Juga:  Drama dan Dilema Pilkada adalah Drama Korea
foto: bbc.com

Toleransi yang Terus Dirajut

Hari-hari selanjutnya, kerukunan itu terus kami rajut. Meski saat-saat itu harus diakui semua galau dengan situasi yang sedang terjadi. Dan, lagi-lagi kami membuktikan bahwa kerukunan bisa mengalahkan semua ego. Maka pada 9-9-99, yakni tanggal 9 September 1999 para tokoh agama yang tergabung dalam FK3 itu membawa umatnya masing-masing berkumpul di Alun-Alun. Kami menggelar doa bersama. Para tokoh berdiri di panggung, sedangkan umat berada di bawah. Malam itu, Alun-Alun Tuban dipenuhi umat beragama yang sedang berdoa. Satu persatu tokoh agama memimpin doa bersama umatnya masing-masing.Sebelumnya mengucap sumpah bahwa mereka akan tetap menjaga kesatuan dan menghormati perbedaan untuk menciptakan hidup rukun dan damai. Indahnya malam itu.

Dan, entah kerukunan itu yang didengar Tuhan atau memang Tuhan mengasihi Tuban sebagai tanah keramat, sehingga Tuban selamat dari kerusuhan berbau SARA kala itu. Upaya lahir batin memang terus diupayakan untuk menjaga Tuban tetap aman dan damai. Karena, selain upaya lahir dengan mempertemukan para tokoh agama itu, juga ada upaya batin. Upps…tidak elok diceritakan di sini upaya batin itu hihihihi..

Maka, ketika saat ini heboh atas keberadaan patung dewa di klenteng, kami warga Tuban tentu tidak kaget. Wong Tuban itu tidak kagetan dan nggumunan. Di Tuban tetap adem ayem dan tanpa gejolak. Oh iya, aku teringat dengan salah satu pesan ‘guru ngaji’ yang menyebut Tuban ini bukan tanah sembarangan. Tuban adalah bumi sangar dan keramat yang tak bisa dibuat main-main. Sebab, Tuban disebutnya sebagai barometer negeri ini. Gejolak di Tuban, maka daerah lain akan mengalami hal serupa. Wallahu a’lam, dan coba Anda ingat-ingat, di Tuban pernah terjadi peristiwa apa, dan coba lihat juga bagaimana kondisi di daerah lain.

Karena itu, kami warga Tuban memohon, meminta jika tidak boleh dibilang mengingatkan. Jangan cabik kedamaian di kota kami. Biarkan kami hidup rukun dan damai di tengah perbedaan yang ada di kami. Biarkan perbedaan dan keragaman itu kami yang selesaikan. Anda cukup doakan saja.

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *