Fenomena jaran goyang belakangan ini semakin semarak dengan hadirnya lagu dangdut yang dinyanyikan NDX AKA dan kemudian makin hits saat dibawakan oleh biduan cantik Nella Kharisma. Tidak hanya anak muda saja yang menggemari lagu pinggul goyang ini, golongan senior bahkan sampai anak “di bawah umur” pun juga lumayan familiar melantunkan lagu jaran goyang ini.
Istilah jaran goyang dan semar mesem, dua istilah yang menjadi ide utama dalam lirik lagu tersebut, sejatinya sudah sangat dikenal oleh masyarakat suku jawa jauh sebelum lagu itu lahir. Adalah sebuah aji-aji pengasihan atau ilmu pikat lawan jenis yang menjadi maknanya menurut kepercayaan suku jawa terdahulu. Klaim tersebut sudah kita kenal sebagai generasi yang lahir dan bertumbuh di lingkungan budaya jawa sebelum era modernisasi sedikit demi sedikit meluruhkan kepercayaan tersebut dan mengganti dengan aji-aji rayuan gombal ala Andre OVJ sang pujangga milenial.
Seolah mengingatkan kita kembali untuk lebih membumi dengan kebudayaan suku jawa yang terkenal dominan dengan klenik-nya, Nella yang cantik, sang pelantun lagu jaran goyang, memunculkan kembali istilah yang sudah semakin terkikis oleh modernisasi zaman. Dengan lagu yang tegolong kontemporer, karena memadukan unsur musik dangdut koplo dengan musik elektronik. Ia juga sering melantunkan lagu dengan lirik slengekan yang memadukan bahasa jawa, bahasa indonesia dan bahkan bahasa inggris di dalamnya. Lagu cinta yang lekat dengan praktek perdukunan khas suku jawa ini memang terkesan “kiri”, namun jika kita melihat dari konteks zaman yang semakin alergi dengan kebudayaan ini, lagu jaran goyang lumayan berhasil menembus pasar mainstream.
Sebagian masyarakat beragama islam, memang meyakini bahwa budaya klenik jawa semacam jaran goyang dan semar mesem ini adalah syirik sehingga masyarakat jawa-muslim kerap men-tabu-kan istilah-istilah ini di lingkungan keluarganya. Sedangkan bagi beberapa penganut kepercayaan suku jawa murni atau yang biasa kita sebut aliran kejawen, jaran goyang dan semar mesem masih biasa dipraktekkan dan dipercaya mempunyai khasiat khusus dalam kehidupan asmaranya. Ya, enigma masyarakat semacam ini memang sudah sewajarnya berseberangan, justru dari perbedaan pendapat semacam itulah harusnya kita belajar untuk saling menghargai. Dan bukannya saling mencaci.
Kembali ke ranah kebudayaan, secara praktiknya ajaran jaran goyang dan semar mesem memang selalu memunculkan kontroversi dalam kehidupan bermasyarakat, namun di sini yang hendak sampaikan bukanlah jaran goyang dari segi praktiknya tapi lebih ke unsur seni dan budayanya. Di sini tidak ada praktik jaran goyang hanya ada praktik bermusik. Demikianlah sebaiknya kita menyikapi fenomena-fenomena masyarakat yang sifatnya kontroversial. Karyakan saja!
Untuk mengenal dan mempelajari komunisme kita tidak selalu harus menjadi komunis ataupun praktisi komunis yang kemudian menerapkannya dalam kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara, nanti bisa kena ciduk, jelas-jelas negara kita penganut ideologi pancasila. Begitu juga dengan kebudayaan, untuk mempelajari budaya jawa kita tidak selalu harus menjadi kejawen dan mempraktikkan ajian jaran goyang dan semar mesem untuk mencari jodoh, bisa sesat nanti. Walaupun secara demografis kita memang terlahir sebagai orang jawa. Serap yang mafaat dan tinggalkan yang sifatnya mudarat.
Dan ingat selalu untuk menebar cinta, agar virus kebencian yang merusak keberagaman di negeri ini bisa tertumpas, kalau perlu kita pakai ajian semar mesem untuk menkampanyekan cinta terhadap sesama. Seperti kata mbak Nella dalam lagu jaran goyang, “sayang janganlah kau waton serem, hubungan kita semula adem, tapi sekarang kecut bagaikan asem, semar mesem, semar mesem.”