Sastra Jawa di Bojonegoro tidak bisa lepas dari pengaruh dan kontribusi Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB). Organisasi sastra paling senior, jika tidak disebut tertua di kawasan Jawa Timur paling barat itu. Sejak tiga dekade terakhir sangat concern merawat dan melestarikan Bahasa Jawa. Bahkan, di saat Bahasa Jawa mulai hilang dari peredarannya.
Adalah Jfx Hoery, sosok sepuh yang masih rajin menyulam nyawa PSJB. Di usianya yang mulai senja, masih terlihat gurat semangat pada wajahnya. Terutama jika harus berbicara mengenai sastra jawa. Gambaran semangat itu terekam jelas melalui sorot matanya. Sebuah sorot yang selalu merasa muda dalam berbicara terkait sastra jawa.
Saat ditemui di rumahnya, sastrawan 72 tahun itu tak henti-hentinya memburu gugusan huruf pada kertas yang terletak tak beraturan di meja kerjanya. Beberapa tumpukan buku dia buka satu persatu. Dengan penuh ketelitian, dia mencari selembar kertas berisi akta kelahiran Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), organisasi yang dengan telaten ia rawat.
“Di sini ada data pendirian PSJB,” ungkapnya puas sambil menunjuk kertas berisi tanggal kelahiran PSJB.
Sambil membacakan apa yang tertera dalam kertas itu, Hoery mengisahkan pendirian satu-satunya komunitas Bahasa Jawa di Bojonegoro tersebut. PSJB didirikan 35 tahun lalu. Tepatnya pada Juli 1982.
Pada 35 tahun lalu, kisah Hoery, PSJB didirikan para pemerhati dan sastrawan Bahasa Jawa Bojonegoro untuk membentengi Bahasa Jawa dari kepunahan. Dia masih ingat siapa saja yang hadir saat pendirian komunitas tersebut. Sambil terbata-bata, dia mengingat nama-nama anggota pertama PSJB.
Para pendiri itu adalah: Djayus Pete, Yusuf Susilo Hartono (kini Pemred Majalah Visual Art), Yes Ismi Surya Atmaja, Muhammad Maklum, Sri Setyo Rahayu dan dirinya sendiri. Pendeklarasian di Jalan Panglima Sudirman Bojonegoro. Di rumah Yusuf Susilo Hartono. Sejak dulu sampai sekarang, PSJB menganut sistem sama. Yakni tak ada ikatan apapun bagi para anggota. Siapa saja yang berminat dan memiliki visi yang sama, yakni mempertahankan Bahasa Jawa, bisa bergabung. Saat ini anggota yang aktif sekitar 25 anggota. Itu yang benar-benar aktif.
Dulu, sebelum ada kecanggihan alat komunikasi, pertemuan bersifat insidentil. Namun, saat ini, saat membanjirnya teknologi informasi, meski sebagian anggota berusia senja, dia mengaku lebih mudah bertemu. Pertemuan hanya melalui kontak-kontakan telpon dan langsung mengadakan kegiatan.
Karena kesibukan anggotanya, PSJB sempat vakum selama 10 tahun. Itu pada dekade 1990 hingga 2000. Namun, pada 2000 PSJB kembali dihidupkan kembali. selain karena kemudahan komunikasi, para anggota juga lebih mudah ditemui. hingga kini, tiap sebulan sekali selalu ada pertemuan.
Meski fokus pada Bahasa Jawa, PSJB memiliki berbagai seksi. Itu terdiri dari seksi gurit, seksi cerkak, seksi tembang, seksi arkeologi, dan seksi sosial dan budaya. Kakek yang pernah mendapat penghargaan Rancage dua kali, yakni pada 2004 dan 2013 tersebut mengaku, sebagian besar anggota PSJB pernah mendapat penghargaan Rancage.
Dia menyebutkan, Djayus Pete mendapat Rancage pada 2002, Herwanto pada 2010, Nono Warnono pada 2014 dan Yusuf Susilo Hartono pada 2015. Bahkan, salah satu anggota PSJB, Gampang Prawoto mendapat penghargaan sebagai penulis buku karya sastra bahasa jawa terbaik.
“PSJB sendiri juga pernah mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Jawa Timur sebagai pelestari Sastra Jawa pada 2010,” ungkapnya mengingat.
Bapak 3 anak dan 5 cucu yang merupakan tokoh PSJB paling berusia senja itu menjelaskan, meski saat ini teknologi informasi mempermudah masyarakat berkomunikasi, itu tidak menjadikan kerja budaya PSJB lebih mudah. Sebaliknya. Lebih sulit. Bahkan jika dibandingkan lebih mudah saat sebelum marak alat telekomunikasi.
Alasannya, waktu itu Bahasa Jawa ditunjang kontribusi pendidikan di sekolahan yang sangat kuat. Jam pelajaran bahasa jawa masih sangat memadai. Saat ini, alih-alih berkontribusi, seolah pendidikan sudah lari dari Bahasa Jawa. Buktinya tidak ada lagi pendidikan bahasa jawa. Kalaupun ada, jam pelajarannya sangat minim sekali.
Selain itu, pada masa awal berdirinya PSJB, media berbahasa Jawa masih sangat banyak. Hampir disetiap kota memiliki media yang menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa redaksi. Namun, saat ini hanya ada 3 media berbahasa jawa yang masih tersisa. Penjebar Semangat, Joyoboyo dan Joko Lodang. Itu yang membuat geliat budaya Jawa semakin memudar.
Apik tenan iki Mas, omong2 apa majalah Panjebar Semangat masih ada?