Joko Widodo vs Prabowo Subianto, Indonesia Dapat Apa?

Tanggal 4 Agustus, KPU membuka pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Masa pendaftaran akan berakhir pada 10 Agustus. Dua nama capres sudah digadang-gadang oleh para pendukungnya untuk maju dalam gelaran Pilpres 2019 mendatang. Yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Sampai kini (5/10), siapa cawapres masing-masing kandidat belum diumumkan. Joko Widodo rencananya akan mengumumkan nama cawapres pada 9 Agustus, sedang Prabowo Subianto akan mengumumkan pasangannya pada 8 Agustus.

Akankah Pilpres 2019 nanti akan mengulang sejarah Pilpres dengan dua kandidat sama yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto dengan hanya mengganti formasi cawapresnya saja? Kita lihat saja apa yang terjadi nanti. Politik selalu dinamis. Itulah kenyataannya. Tapi mari kita menunggu saja hingga penetapan capres dan cawapres nanti.

Dibukanya pendaftaran capres dan cawapres menandakan dimulainya genderang politik untuk berebut kekuasaan di negara yang berpenduduk 265 juta ini. Masing-masing tim pemenangan akan berupaya dengan semaksimal mungkin untuk merebut kekuasaan. Tim akan dibentuk hingga tingkat paling bawah, menyasar semua lapisan masyarakat, dan berusaha mempengaruhi warga pemilih dengan berbagai cara.

Di sinilah pentingnya kedewasaan politik dari kubu kedua belah pihak dituntut demi kesatuan dan kemajuan Indonesia dimasa yang akan datang. Kenyataan Indonesia sebagai negara multikultur sangat rentan untuk dimanipulasi demi meraih dukungan. Etika komunikasi politik sangat diperlukan guna pendidikan politik warga pemilih. Karena jangan sampai hanya gara-gara pertarungan dua kandidat yang sebelum mendaftar sebagai capres sudah “bertarung”, mengabaikan kepentingan bangsa dan negara.

Kita perlu bertanya, jika Joko Widodo dan Prabowo Subianto bertarung untuk kedua kalinya, apa yang diperoleh Indonesia? Pertanyaan ini menjadi penting agar kepentingan Pilpres tidak mengorbankan kepentingan negara yang sudah berdiri selama 73 tahun.

Baca Juga:  Lebaran Waktunya Mengenali Jejak Sejarah Keluarga

Upaya itu bisa dimulai dari pertarungan di media sosial (dunia digital) yang seringkali lebih kasar daripada pertarungan di dunia nyata. Pertarungan di media sosial harus tetap mengedepankan fakta dan etika, dan mengurangi ujaran kebencian. Kampanye politik substansinya adalah mengenalkan calon dan program kepada warga pemilih. Jika mengenalkan calon dan program dilakukan dengan adu domba, menghasut, menyebar hoax, hingga berpolitik uang, maka maukah kita jika Indonesia dibangun dari rasa benci dan menghalalkan segala cara?

Tentu banyak warga pemilih yang tidak setuju dengan itu. Oleh karena itu, menjadi pemilih yang cerdas saja, yakni pemilih yang melihat program kedua kandidat lalu baru memilih, sepertinya tak cukup. Warga pemilih juga perlu menyebarkan rasa kebersamaan, rasa saling percaya, dan rasa saling menghargai dengan pilihan masing-masing.

Baca Juga:  Bacaan Doa Menag RI Saat Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Bikin Teduh!

Dan momen Hari Kemerdekaan adalah momen yang sangat tepat untuk refleksi. Mari kita menjadi warga pemilih yang cerdas sekaligus baik. Kritis tapi selalu mengedepankan etika. Mungkin ajakan ini terdengar klise, tapi apapun itu, tetap harus dilakukan. Mungkin bisa kita mulai dari diri kita. Salam demokrasi dari gangkecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *