Sosok  

Jonathan Rahardjo dan Proses Memaknai Kehidupan dengan Menulis Buku

Meski usianya sudah tak muda lagi, semangat berkarya selalu berapi-api. Menulis, bagi Jonathan Rahardjo adalah proses memaknai kehidupan.

Saya pertamakali mendengar namanya pada akhir 2009 silam. Saat sedang senang-senangnya membaca sastra lokal Bojonegoro. Beberapa bulan berikutnya, tepatnya pada pertengahan 2010, kami berjumpa di Gedung Perak, dalam sebuah acara diskusi buku.

Tinggi kurus. Rambutnya lurus agak panjang. Sepintas, perawakannya mengingatkan saya pada sosok Remy Sylado. Bedanya, dia tak berkumis dan nihil brewok.

Cara bicaranya lancar dan berapi-api. Kala itu, dia bercerita soal novel Lanang yang telah memenangkan lomba bergengsi di Jakarta. Satu alasan yang membuat saya terpantik membaca karya Jonathan adalah latar belakangnya yang seorang dokter hewan. Dokter dan menulis sastra, bagi saya, itu istimewa. Terlebih, dari Bojonegoro.

Meski berlatar belakang dokter hewan, karya-karya yang dia hasilkan justru bertemakan banyak bidang. Melintasi batasan fiksi dan non fiksi. Melampaui bermacam bentuk; puisi, novel hingga cerita pendek.

Beberapa hari lalu, saya berkesempatan berbincang via chatting bersama Jonathan. Meski tergolong sastrawan dengan kesibukan ekstra, Jonathan sangat rendah hati. Bahkan menyempatkan banyak waktunya untuk bercerita pada saya perihal penulisan buku.

Baca Juga:  Madrasah Alternatif Guratjaga, Berdiri Sejak 'Kami Dilarang Berkerumun'

Menulis buku dengan bermacam tema, baginya bukan sebuah tujuan. Itu hanya media atau alat. Atau dalam istilah yang mungkin agak sulit dipahami sebagai: proses memaknai kehidupan.

“Buku (bermacam tema) terutama novel bukan tujuan, dia hanya media atau alat,” kata pria kelahiran Bojonegoro 1969 tersebut.

Sebab baginya, yang di kenyataan sehari-hari sudah terlalu kompleks dibanding novel sendiri, bahkan yang di kenyataan itu, menurutnya, merupakan sebuah novel dalam arti yang luas.

Terkait latar belakang tersebut, Jonathan menjelaskan, dalam kajian akademis tahun 2019 terhadap buku Lanang memenangkan Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006, tampak bahwa latar belakang dirinya bukan hanya seorang dokter hewan tetapi banyak kegiatan dan organisasi, pekerjaan atau profesi termasuk jurnalis.

“Setiap orang tentunya logis punya lebih dari satu bidang perhatian, dan itu modal yang baik untuk belajar dan menulis tentang berbagai kehidupan.” Imbuh Jonathan.

Mas Jo, bahkan berbagi kiat pada saya tentang bagaimana cara tetap produktif menulis di tengah usia yang sudah tak muda lagi. Satu kiat paling penting adalah mengoleksi draft tulisan. Terutama telaten merangkainya dari waktu ke waktu.

Baca Juga:  Fastabiqul Khoirot Online, Cara Dakwah di Masa Pandemi Covid-19

“Sehingga saat membangun suatu karya, tinggal merangkai dan mengkonstruksi bangunan utuhnya.”

Karena itu, bagi pria yang sudah menulis puluhan buku tersebut, genre fiksi dan non fiksi hampir sama. Sebab, menurut dia, keduanya merupakan karya utuh dan butuh standar yang sama kuat sesuai karakter masing-masing. Terbukti, karyanya tak hanya buku non fiksi, tapi juga novel fiksi.

Jonathan bercerita, ada sejumlah tulisan orang lain yang mengapresiasi dan menguji karya-karyanya secara akademis. Itu berarti, tulisan yang dia buat bermanfaat bagi orang dengan berbagai tafsir yang justru memperkaya pemaknaan dengan tujuan yang jauh lebih segalanya dari buku (media) itu.

“Jadi motivasi utama saya menulis, terutama buku adalah untuk memaknai kehidupan, baik bagi saya maupun pembaca yang berarti dalam rangka itu, saya harus belajar terus secara berkelanjutan.”

Ya, Jonathan, menjadi yang pertama dan, sementara ini, satu-satunya sastrawan asal Bojonegoro yang pernah memenangkan Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta. Tepatnya pada 2006 lalu. Tercatat, sampai saat ini sudah puluhan karya tulis dia lahirkan.

Tak hanya puluhan karya tulis yang dia bikin. Bahkan, kajian-kajian akademis tentang karya tulisnya pun banyak dijadikan riset dan tulisan para mahasiswa.

Baca Juga:  Cartenius van der Meijden, Nyonya Belanda Jago Masak Sambal Era Kolonial

Novel Lanang, yang menangkan lomba DKJ, misalnya, ada sebanyak 9 kajian tentang novel tersebut. Mayoritas dijadikan jurnal, skripsi S1 dan bahkan tesis S2.

Selain Novel Lanang, Novel Taman Api dan Kumpulan Cerpen 13 Perempuan juga banyak dikaji dan diteliti untuk dijadikan skripsi dan tesis.

Dengan karya yang sudah tak bisa dihitung jumlah jari tersebut, sampai saat ini, Jonathan masih sibuk berkarya. Mulai mengedit naskah hingga mengelola penerbitan.

Bahkan, dalam waktu dekat, Jonathan akan menerbitkan dua buah novel baru dengan dua bahasa berbeda; Anglingdarma Sewu (novel bahasa Jawa) dan Jatiminyakbumi (novel bahasa Indonesia).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *