“Ketidaktahuan adalah salah satu capaian tertinggi saat kita mencari tahu tentang ketidaktahuan kita yang lain”
“Kearifan adalah suatu anugerah yang luar biasa yang dianugerahkanNya kepadamu (hamba). Sedangkan amalmu adalah tak lain persembahan untukNya. Jelas tidak mungkin persembahanmu sebanding dengan AnugerahNya.” Itulah nukilan kata-kata mutiara seorang bijak-bestari dari Timur Tengah.
Yang perlu digarisbawahi dalam vak ini, yang menurut penulis adalah masalah keikhlasan dan kepasrahan kita serta anjuran untuk terus dan teruslah berjuang hingga akhir, tanpa kau menuntut hasil akhir. Di samping itu, kadang jika mau duduk tepekur lama, bermujahaddah dan berkhalwat, berkontemplasi, dan mengolah hati, pasti malu? Kok iso?
Lha wong kita belum minta saja itu sudah dikasih, bahkan diberikan lebih. Namun kita dengan segala sifat kemanusiaan dan ke-papa-an kita, terutama tamak dan rakus, serta rasa kurang yang terus menerus merongrong membuat kita kufur akan nikmat. Njaluk terus?!
Kemudian dengan amal yang tak seberapa dan tak ada ‘apa-apanya,’ yang kita persembahkan padaNya, sudah berani menuntut hal yang lebih. (Toh belum tentu juga jika amal kita itu benar, sesuai dengan apa yang telah disarat-wajibkan sesuai segala hukum dan aturannya, lebih-lebih diterima). Sudah seperti dagang transaksi aja. Rasanya kok wagu, ibadah yang begitu intim dengan Gusti itu direduksi menjadi hanya sebatas transaksi jual beli.
Kita memang merasa kurang dan tampaknya, akan terus serba kurang. ‘Ingat, kita belum minta, itu sudah dikasih lho!’ Dikasih apa?
Ya dikasih semua kebutuhanmu. Dia Maha Tahu apa yang kita ketahui, semua apa yang tidak diketahui bahkan sampai hal yang tak pernah diketahui oleh siapapun saja itu. Bahkan hal yang tidak untuk diketahui. Apa itu? Wong namanya saja tidak untuk diketahui. Awokwowowko.
Memang, di dalam kitab (Al-qur’an) disebutkan anjuran atau perintah untuk meminta, “…dengan meminta maka akan ditambah”. Dilanjutkan, “dan jika kufur terhadap nikmat, bahwa sesungguhnya adzabNya sangat pedih.”
Kurang baik apa Tuhan kepada kita? Apa sesungguhnya makna dari arti ayat di atas, tentang anjuran untuk ‘meminta’ kepadaNya itu? Tentu para Kyai dan mufasirlah yang memang ditugaskan, salah satunya, untuk ini. Bisa dilihat lebih mendalam dan ber-nash jika kita buka Tafsir Al-Azhar yang ditulis berjilid-jilid oleh Prof Hamka itu. Kitab atau buku tafsir yg khusus edisi lux ini pernah saya timbang, bobot keseluruhan tak kurang dari 20 kg. Atau bisa membuka Al-Misbach-nya Habib Quraish Shihab yang masyhur itu. Tetapi, penulis tak hendak mengulas karya-karya agung itu, selain karena tak mempunyai kapasitas di situ, penulis anggap itu sudah masterpiece.
“Ngapain nulis yang sudah ditulis orang? Ngapain nulis yang sudah ada? Ngapain nerjemahin karya orang lain? Coba cari yang sama sekali baru!” ucap salah seorang teman dari kawanku. Dia mungkin tak menyadari betapa melelahkannya mencari apa yang disebutnya ‘sama sekali baru’ itu. Meski ia memang seorang penulis yang cukup terkenal di kotanya, Yogyakarta.
Tentu ini adalah pandangan subjektif dari penulis, tidak setuju adalah sah. Menyanggahnya pun, dipersilakan.
Meminta Apa?
Oke, coba kita kembali ke pokok aral. Apakah kata meminta mempunyai konotasi anjuran untuk meminta harta dunia dengan segala kegemerlapannya? Wanita kah? Atau pangkat semata? Atau segala hal yang berdimensi dan ber-materi kah? Jika memang demikian, apakah itu bukan nafsu? Apakah ada ujungnya? Apakah ada habisnya? Bukankah itu sentilan akan kebuasan kita pada dunia yang memang menggoda itu? Yang menawarkan dengan segala kenyamanan serta sarat akan kepuasan yang tak kunjung puas? Yang selalu memecut kita untuk menuruti kemauan perut dan kelamin?
Dengan segala ke-papa-an penulis, penulis mencoba mengartikan ini (kalimat meminta) adalah perintah untuk meminta ampunan, meminta kepandaian/hikmah untuk terus bersyukur. Itu. Meminta ampunan dari Tuhan sang Maha Pengampun yang telah dengan Maha Nerimak’ke (meminjam kalimat Gus Mus) mau mencukupi semua kebutuhan makhluknya dan tetap sabar dengan ‘As-Sobur-Nya’ terhadap persembahan kita (hamba) yang tidak sebanding sama sekali dengan semua karuniaNya yang teramat banyak. Dan saya kira, ’persembahan’ kita itu memang bukan untuk dibandingkan.
“Bahwa setiap malam, Tuhan selalu datang ke bumi dengan membawa 2 keranjang. 1 keranjang berisi rezeki, 1 keranjang lagi berisi ampunan. Keranjang yang berisi rezeki selalu habis, namun keranjang satunya masih teramat banyak.” Kata Emha. Ini merupakan kalimat yang idiomatik. Jua perlu pemahaman, yang mungkin, agak mendalam.
“Jika kita memohon ampunan, memperbanyak hidup kita dengan mengucap astagfirulloh hal adziim serta penuh rasa syukur, maka Tuhan dengan segala ke-Maha-anNya akan memberikan semua apa yang kita pinta, kita inginkan, lebih-lebih Tuhan akan memberikan semua apa yang kita butuhkan”. Imbuh lelaki yang karib disapa Cak Nun itu, meski dalam doa, kita tak pernah bergumam atau berucap untuk memuja-pujikan doa/pinta kita kehadiratNya. Karena, Ia adalah Maha Tahu, yang juga Maha ‘tidak relevan’. Mari Bersyukur, kita awali dengan kata, Alhamdulillahirobbil aalamiin
Tak sedikit di antara kita yang tetap dan masih saja tidak tahu, tak menyadari akan karunia yang amat sangat tak terpermanai itu. Masih saja kita kerap mengemis dan terus meminta-minta. Kendati demikian, ketidak-tahuan kita adalah juga sebuah anugerah yang kita peroleh dalam/sedang mencari tahu. Ketidaktahuan adalah salah satu capaian tertinggi saat kita mencari tahu tentang ketidaktahuan kita yang lain.
Oleh karenanya juga, kita tentu tak asing saat mendengar salah satu lontaran kalimat ,saat orang-orang getol memproduksi audio-komunikasi:”Dasar, Orang tak tahu diri!”, “Orang tak tau diuntung!” dan kalimat senada lainnya, dst. Dalam situasi atau titik tertentu, kita memang tak bisa ‘deg-sak-nyeg’ mengunyah omongan orang lain. Tak bisa secara verbal atau tekstual semata. Perlu juga pembacaan substansial dan paling penting; kontekstual-esensial. Lebih-lebih yang kita hadapi adalah teks suci.
Tiga Tipe Orang
Sejauh sependek pengamatan saya, setidaknya ada 3 tipe orang di sekitar kita terpaut hal nikmat yang tak terhingga ini.
Orang yang rela dan mau untuk tidak tahu, itu tipe pertama. Yakni orang yang mau dan semangat untuk memperjuangkan suatu hal, namun tidak diimbangi dengan ilmu yang mumpuni, lebih tepatnya tak mau melihat dan mencari tahu medan perang seperti apa yang bakal ia terjuni untuk bertempur. Atau, mungkin ia sudah mempuyai seabrek pengetahuan dan pengalaman, namun tak mau mengasah lebih-lebih meng-upgrade dengan kondisi terkini. Terkesan kolot. Bahkan menjadi menyebalkan saat ia merasa jika ia sudah menyabet gelar ‘senior/tua’. Karena seperti kita ketahui bersama, jika semuanya itu dinamis, terus berubah dan berdialektika.
Dan kedua adalah orang yang tahu namun tidak mau, yaitu orang yang sampai harus memeras otak hingga kering–seperti kanebo yang dijemur, bergelut dengan semua macam teks bahkan bergulat dengan manuskrip-manuskrip kuno hingga habis-habisan, saling take-give informasi apapun lewat seminar, diskusi, bedah film/buku. Singkat kata, sudah benar-benar mengetahui medang peran dan mengetahui persis ‘musuh-musuhnya’ dan juga mampu melihat dari sudut pandang yang paling presisi, dan tentu tak lupa dengan opsi-opsi seombyok solusi yang dimiliki. Namun tak mau melakukannya, tak mau mengeksekusinya.
Terakhir adalah gabungan di antara keduanya. Yakni orang yang tau ‘medan perang’ dan mau mengeksekusinya. Kemudian terjun bertempur di medan perang.
Untuk ukuran bersyukur ‘saja’, tentu perlu pengetahuan dan ilmu yang cukup kan?
Namun jika tidak tahu, selaiknya kita tahu jika kita memang tidak tahu. “Rojulun la yadri, wa Yadri anhu la yadri“, kata Imam Al-ghazali.
Di titik tertentu, kadang, ketidak-tahuan itu serupa dosa yang disengaja. (Semoga saya salah)
Sekali lagi, izinkan penulis mengajak untuk mengawali semuanya dengan kalimat bersyukur, terlebih dahulu : Alhamdulillahil ladzi ahyana ba’dama ama tana wailahinnusyuur.
Bangun tidur tadi sudah baca doa kan? Apa subuhmu juga kesiangan?
berbobot lurr
kira2 judulnya apa ya?