Story  

Juragan Garam dan Humor Madura

foto: pinterest

Alkisah seorang juragan garam terkaya di Madura ingin melihat Ibukota Jakarta. Ia memutuskan untuk pergi ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang. Setelah tiket berada di tangannya langsung saja menuju pesawat karena takut ketinggalan. Iapun langsung duduk di kursi bisnis.

Tidak lama berselang, seorang pengusaha naik pesawat dan mendapati kursinya telah diduduki oleh penumpang lain. Maka terjadilah dialog seperti berikut:

Pengusaha : Maaf pak, ini tempat duduk saya.

Madura : Sampeyan siapa?

Pengusaha : Saya penumpang.

Madura : Lho sesama penumpang kok ser-ngoser. Itu kan masih banyak kursi yang lain. Sampeyan duduk saja di sana.

Karena tidak ingin terjadi keributan maka si pengusaha menemui pramugari dan mengadukan hal tersebut. Dan setelah mengecek tiket milik pengusaha, si pramugari menghampiri si Madura.

Pramugari : Maaf pak, Bapak tidak boleh duduk di sini. Tempat Bapak di bagian lain.

Madura : Sampeyan siapa?

Pramugari : Saya pramugari.

Madura : Apa itu Pramugari saya ndak tahu, apa kerjaan sampeyan?

Pramugari : Saya bertugas melayani Bapak.

Madura : Lho sampeyan tugasnya melayani saya kok ser-ngoser. Saya ndak mau!

Karena kehabisan akal si pramugari menjumpai Kapten dan mohon bantuan atas perihal tersebut. Kapten pun mendatangi si Madura.

Baca Juga:  Norman Oppenheimer, Wajah Politisi Idaman

Kapten : Maaf pak, tempat duduk ini milik Bapak yang itu, jadi Bapak harus duduk di tempat lain.

Madura : Sampeyan siapa?

Kapten : Saya pilot, Pak.

Madura : Apa itu pilot, apa kerja sampeyan?

Kapten : Saya yang nyopir pesawat ini.

Madura : Saya naik bis ndak pernah di-ser-oser sama sopir. Pokoknya saya mau duduk di sini.

Akhirnya semua kehabisan akal dengan ulah si Madura. Tapi untunglah penumpang terakhir yang baru naik adalah Mbok Bariyah. Langsung saja pramugari menceritakan hal tersebut dan minta pertolongan kepada mbok Bariyah untuk berbicara kepada si Madura.

Pramugari : Eh, mbok Bariyah, Selamat Siang, tolong saya mbok, ada penumpang yang bikin repot nih.

Mbok Bariyah: Penumpang yang mannah?

Pramugari : Itu, Bapak yang dari Madura itu, harusnya duduk di kelas Ekonomi tapi dia terlanjur duduk di tempatnya Bapak ini.

Mbok Bariyah: Oooh, gampang itu, serahkan saja sama saya, pokoknya ditanggung beres.

Serta merta MBok Bariyah menghampiri Bapak Madura.

Mbok Bariyah: He… he… he, pak sampeyan mau ke mana ?

Madura : Oh, saya entar ke nJakarta.

Mbok Bariyah: Lho…… sampeyan salah pak, tempat duduk ini untuk tujuan Medan kalau ke Jakarta tempatnya di sana, di sebelah belakang. Itu tempat sampeyan masih kosong.

Baca Juga:  Omah Joglo

Madura : Oh… iya…, ini untuk yang mau ke Medan ya…terema…Terema kasih, ya Bik……Untung ada sampeyan yang mengingatkan.

***

Kisah di atas diambil dari laman gudangnyahumor, yang sebelumnya diambil entah dari mana lagi. Karena humor Madura sudah mempunyai maqom sendiri di dalam dunia humor Indonesia. Jika anda berusaha mengumpulkan humor Madur semuanya, saya yakin selama hidup anda tidak akan selesai. Karena memang saking banyaknya.

Dan yang menarik, humor Madura punya makna filosofi yang unik. Intinya, humor Madura nggak sekadar bikin orang tertawa, melainkan juga bikin orang berpikir.

Emha Ainun Nadjib sering menggunakan guyonan Madura dalam ceramah-ceramahnya di jamaah Maiyah, Kenduri Cinta atau acara-acara lainnya. “Humor-humor klasik Madura sebenarnya sudah selalu menggiring mesin akal kita menuju persendian itu,” kata Cak Nun di laman caknun.com. Intinya jangan berdebat dengan orang Madura.

Namun, bagi Cak Nun, dari sekian banyak humor serius budaya dan antropologi manusia Madura, salah satu yang dinilai jenius adalah humor tukang becak di perempatan jalan. Begini kisahnya:

Sejak seratus meter sebelum perempatan, yang jalannya agak menanjak, ia menyorong becaknya sambil setengah berlari. Setelah lancar dan agak ringan, lajunya terhalang oleh lampu merah.

Baca Juga:  Gagal Coba Lagi! Menyerah Bukan Pilihan

Tentu lampu merah membuatnya hendak berhenti. Tapi, akhirnya ia tidak mau menyia-nyiakan perjuangannya. Maka ia laju saja menerjang batas, melintas perempatan jalan. Sejumlah kendaraan dari arah silang mendadak harus ngerem dengan hati geram.

Pak Polisi melompat berlari dan berteriak: “Guoooblog! Sudah tahu lampu merah kok terus saja. Dasar tukang becak goblog!”.

Pahlawan Madura itu sedikit menoleh ke arah Pak Polisi sambil tersenyum. Sambil meneruskan genjot becak ia nyeletuk: “Kalau dak goblog dak mbecak saya Pak…”

***

Lebih lanjut Cak Nun mengambil hikmah dari guyonan Madura itu dengan mengatakan bahwa humor itu adalah kritik pada cara berpikir mainstream. Begini kata Cak Nun:

“Kita tahu dalam dinamika kehidupan, goblog dan pinter itu animasi, halusinasi atau mungkin sejatinya tidak ada. Goblog adalah kearifan yang menyamar. Pinter adalah kebodohan yang bersolek. Yang bicara “kalau dak goblog dak becak” mungkin sekali bukan si tukang becak. Melainkan ‘seseorang’ atau suatu arus energi di belakang layar yang bermaksud mengkritik cara berpikir mainstream”.

Humor Madura selalu membawa kesegaran, bukan kegeraman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *