Diurna  

Jurnalisme Media Sosial

EVERYBODY CAN BE JOURNALIST. Itulah fakta sekarang. Semua orang adalah jurnalis. Karena setiap orang, dengan latar belakang beragam, mengolah lalu menyebarkan informasi ke publik. Media sosial menjadi saluran paling banyak digunakan lantaran simpel dan berbiaya murah. Banjir informasi pun serupa tsunami yang sulit untuk dibendung.

Dan di balik produksi informasi yang massif itu berjubel kepentingan; mulai ekonomi, politik, agama, budaya, dan lainnya. Kepentingan-kepentingan itu saling berinteraksi, bertabrakan, bersilangan, dan bertumpuk, yang kemudian mewujud sebagai gegar budaya.

Kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama yang disusul serentetan aksi demonstrasi, informasi tentang tenaga kerja asing, hingga fatwa-fatwa MUI yang banyak menjadi kontroversi adalah sekadar menyebut beberapa contoh saja. Produksi informasi yang serampangan menjadikan masyarakat mudah marah, saling membenci, saling menjatuhkan, dan saling memusuhi. Padahal, perlu dibedakan bahwa tak semua informasi (berita) yang bertebaran di media sosial tak semuanya didasarkan pada fakta.

Media sosial memberi ruang seluas-luasnya kepada individu atau kelompok untuk ‘mengkonstruk’ kebenaran sesuai cara pandangnya agar diikuti oleh orang lain. Semakin banyak ‘pengikut’ maka akan semakin dianggap baik. Al-hasil, perang ‘kebenaran informasi’ terus terjadi di media sosial. Seringkali menanggalkan etika komunikasi dan mengabaikan pengujian kebenaran sebelum disebar ke publik.

Menggunakan kacamata Jean Baudrillard, bahwa masyarakat sudah terjangkit virus ekstasi komunikasi. Komunikasi dilihat hanya pada bentuk penyampaian pesan dan bagaimana informasi dikemas, bukan pada substansi komunikasi itu sendiri. Jangan heran jika masyarakat internet (netizen) tak mementingkan pengujian kebenaran, tapi langsung suka, komentari, dan bagikan.

Partisipatory Journalism

Menjadi warga internet-terutama media sosial- pada dasarnya sama dengan menjalani aktivitas jurnalisme: mengolah dan menyebarkan informasi. Tapi, informasi yang seperti apa? Bagaimana standar informasi itu dikatakan layak atau tidak? Inilah letak persoalannya. Jurnalisme yang diterapkan dalam institusi pers adalah jurnalisme dengan standar ketat. Sedang jurnalisme yang dilakukan di media sosial adalah “liar” dan tanpa standar. Dan masyarakat masih banyak yang belum menyadari bahwa dengan menyebarkan informasi ke publik, mereka sedang berada di wilayah jurnalisme.

Baca Juga:  Malu Tapi Mau di TP Pagi

Praktik dan regulasi jurnalisme di institusi pers dan jurnalisme di media sosial tentu memiliki perbedaan. Jurnalisme pers diatur oleh UU Nomor 40 tahun 1999, sedang jurnalisme media sosial tak ada aturan pastinya. Aturan yang paling dekat aadalah UU ITE yang baru saja direvisi. Jurnalisme pers mempunyai Kode Etik Jurnalis (KEJ), sedang jurnalisme media sosial tentu tak punya kode etik yang jelas. Meski berbeda, keduanya tetap saja sama. Yakni sama-sama mengolah dan menyebarkan informasi ke publik.

Jika melihat sejarahnya, pada abad ke-17, jurnalisme adalah aktivitas sangat sederhana yakni penyebaran informasi di kafe-kafe dan pub di Romawi. Masyarakat berkumpul untuk mendapatkan informasi-informasi tentang gosip, perkapalan, dan sebagainya. Jurnalisme berkembang ketika informasi-informasi itu disebar dalam bentuk lembaran kertas setelah Gutenberg menemukan mesin cetak. Pada tahap ini, barulah muncul keinginan untuk membuat aturan-aturan tentang jurnalisme. Salah satunya adalah informasi yang disebar harus untuk kepentingan publik.

Kemudian ekonomi dunia berkembang dan teknologi makin maju. Jurnalisme menjadi identik dengan korporasi yang mempunyai sokongan manajemen dan keuangaan yang mapan. Sejumlah standar etika jurnalisme pun dirumuskan secara detail, salah satunya oleh New York Times pada tahun 1913. Standar etika ini jauh lebih tua dibandingkan dengan apa yang diterapkan di Indonesia. Etika jurnalisme di negeri ini baru berkembang pada era PWI tahun 1946. Bahkan, UU tentang pers baru disusun tahun 1999. Dewan Pers kemudian menyusun kode etik jurnalis (KEJ) tahun 2006.

Baca Juga:  Jacob Oetama dan Semangat Jurnalisme Makna

Nah, ketika jurnalisme pers yang memiliki standar ketat masih ada yang mempermasalahkan sebagaimana kasus yang menimpa Metro TV beberapa waktu lalu, bagaimana dengan jurnalisme media sosial yang tanpa kendali?
Sebenarnya seiring perkembangan teknologi informasi apalagi era new media saat ini (media sosial salah satunya), term bahwa ‘semua orang adalah jurnalis’ bukan sesuatu yang baru. Sudah lama ada istilah participatory journalism yang bisa menjadikan siapa saja sebagai jurnalis. Shayne Bowman dan Chris Willis (2003) mendefinisikannya sebagai “the act of a citizen, or group of citizens, playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing and disseminating news and information”. (Bowman & Willis, 2003:9)

Sebelum media sosial semacam Facebook digunakan warga secara massif tahun 2004, Bowman & Willis sudah menunjukkan bagaimana informasi dari warga secara individu ataupun kelompok memiliki kekuatan. Warga negara tak selalu mempercayai media konvensional, dan terkadang lebih mempercayai media yang dikelola sekelompok orang. Itu adalah fakta yang tak bisa dinafikan. Seorang jurnalis lepas Christopher Allbritton mendapat dana sebesar USD 14.334 dari 320 orang yang mendanainya agar melaporkan secara langsung konflik di Irak tahun 2003. Christopher melaporkan hasil reportasenya ke “website bersama” milik penyandang dana. Semua terjadi karena ada kepercayaan.

Dan kini setiap orang bisa melakukan reportase dan menyiarkannya ke publik melalui media sosial. Pada kasus dugaan penistaan agama misalnya, kelompok pro dan kontra bisa langsung saling berinteraksi dan beradu informasi. Hasil pengamatan itu bisa ‘berbobot’, tapi juga tak sedikit yang ‘kosong’ dan hanya menginginkan sensasi. Informasi itu saling bertabrakan di media sosial dan menimbulkan kegaduhan niretika.

Baca Juga:  Komunitas Pers Minta Kapolri Cabut Pasal 2d dalam Maklumatnya

Etika Jurnalistik

Jurnalisme media sosial yang dimaksud di sini adalah aktivitas menyebarkan mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi di media sosial. Aktivitas ini boleh dibilang hampir sama dengan jurnalisme warga. Namun jurnalisme media sosial memiliki penyebaran lebih massif, karena faktor kecanggihan teknologi dan kecepatan memproduksi informasi.

Semua orang kini bisa menjadi jurnalis sekaligus publisher di media sosial. Dan aktivitas itu seharusnya tetap menggunakan etika jurnalistik. Karena substansi etika jurnalistik sebenarnya bukan hanya pada pemenuhan hak warga mendapatkan informasi yang benar, melainkan juga aturan tentang informasi publik. Etika selalu merujuk pada moralitas dan bukan berbicara pada benar-salah.

Yang terjadi saat ini adalah kekebasan menyebarkan informasi yang minim moralitas. Atas nama kebebasan, setiap orang berlomba membuat dan menyebarkan informasi ke publik. Akibatnya terjadi banjir informasi yang tak terkendali. Sejumlah cendekia mengatakan sebagai era post truth, yakni ketika kebenaran sendiri tak begitu dipersioalkan karena citra dan imaji lebih ramai dibicarakan.

Sehingga, saat ini yang dibutuhkan tak sekadar literasi media, tapi juga literasi etika jurnalistik. Dan itu tak hanya diperuntukkan kepada insan pers saja, melainkan juga kepada masyarakat secara luas. Karena mereka adalah jurnalis, mereka adalah publisher di era tanpa batas ini.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *