Pertemuan ke-4 Sekolah Jurnalistik Sosrodilogo (SJS) dihelat pada 19 September 2021 ini, hadirkan periset dari Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) Jogjakarta, Udin Choiruddin.
Diskusi gayeng selama hampir 3 jam tersebut, mampu membuat peserta belajar SJS antusias terkait tema yang diberikan. Yakni, pentingnya riset bagi karya jurnalistik. Terlebih, narasumber merupakan praktisi riset yang cukup berpengalaman.
Di Indonesia, ngobrol riset dan pergerakan sosial memang tak bisa jauh-jauh dari INSIST Jogjakarta. Lembaga yang didirikan Mansour Fakih dan Roem Topatimasang tersebut, terbukti menetaskan banyak tokoh besar skala nasional.
Sementara sang narasumber, Udin Choiruddin, merupakan Direktur INSIST Press yang saat ini. Selain itu, Udin juga putra daerah Bojonegoro yang kebetulan sedang pulang kampung. Sehingga, diskusi mampu menghadirkan nuansa Bojonegoro-Jogja yang amat asik.
Hal ini yang menjadikan para peserta belajar — para mahasiswa semester awal di sejumlah kampus Bojonegoro — merasa sangat antusias dalam mengenal dunia riset secara komprehensif.
Udin menjelaskan jika jurnalisme, sesungguhnya tak pernah bisa dipisah dari konsep riset. Justru, giat jurnalistik yang tanpa riset, patut dipertanyakan ke-sahihannya. Ini menunjukan betapa pentingnya riset di dunia jurnalistik.
Kerja jurnalistik saja, sesungguhnya sudah riset itu sendiri. Tapi, di dalam dunia industri jurnalistik, terutama di media-media besar, ada bagian riset sendiri. Sehingga riset dimasukan pada kamar khusus yang mengurusi data-data, biasanya soal grafik dan angka.
Wawancara, observasi hingga pengamatan di dalam kerja jurnalistik, hakikatnya adalah riset dan bisa disebut sebagai riset. Meski kadang, riset dimasukan pada ruang berbeda yang tujuannya untuk mendukung kekuatan karya jurnalistik.
Udin mengatakan bahwa teknik riset, sebenarnya tak jauh beda dari teknik nulis menggunakan prinsip 5W1H. Sebab, jawaban dari pertanyaan 5W1H, sudah cukup menjelaskan topik yang ingin diceritakan.
” Jadi, jurnalistik saja sudah sebuah riset itu sendiri. Meski di perusahaan media yang besar, divisi riset ada khusus”. Kata lelaki asal Kecamatan Sumberrejo Bojonegoro itu.
Udin juga menjelaskan, sebagai produk bahasa, istilah “riset” juga mengalami perluasan makna. Saat ini, misalnya, orang mau membeli barang, biasanya “riset” dulu. Nah, istilah riset juga digunakan untuk mengamati dan mempertimbangkan sebuah barang sebelum dibeli. Meski berbeda maksud, istilah itu tetap sah-sah saja digunakan.
Riset, menurut Udin, merupakan proses mengumpulkan dan mengolah data. Sialnya, saat ini, bagi sebagian orang, proses mengolah data identik “survey”. Padahal survey beda dari riset. Sebab survey hanya mengumpulkan data sementara riset, harus mengolah. Hal-hal semacam ini, menurut Udin, harus dipahami sejak awal.
” Riset itu tentang mengumpulkan dan mengelola data”. Kata dia.
Udin berpesan pada para peserta belajar SJS bahwa menulis yang bukan berita. Atau tulisan yang bukan sekadar news, amat butuh pengamatan dan penelitian. Karya jurnalistik, akan kuat jika ada data penelitian.
“Makanya kini ada istilah jurnalisme presisi. Ini genre jurnalistik yang datanya kuat”. Pungkas dia.
Pertemuan dengan periset dari INSIST Jogjakarta ini, mampu sedikit membuka paradigma para peserta belajar SJS tentang betapa pentingnya riset sebagai daya dukung sebuah karya.