Pasca Musyawarah Nasional (Munas NU) pada 1 Maret 2019 lalu, beranda Facebook dan timeline Twitter saya ramai sekali. Yaknu dipenuhi postingan seputar pro-kontra hasil Bahtsul Masail Maudluiyah (tematik) yang diselenggarakan sebagai agenda Munas. Tema yg sangat ramai dibicarakan adalah soal penyebutan orang yang tidak beragama Islam di Indonesia ini disebut kafir/non muslim?
Ada satu keterangan dari sebuah buku (al-Bahru ar-Roiq hal.73) yang ditulis oleh Az-Zahidi seorang yang dalam urusan teologi (ushuluddin) bermadzhab Mu’tazilah dan bermadzhab Hanafiyah dalam urusan fikih. Kurang lebih jika diterjemah ke Indonesia seperti ini:
Apabila (seorang muslim) berkata kepada seorang Yahudi atau Majusi: “wahai orang kafir” maka pelakunya berdosa apabila menyakiti hatinya.
Konsekwensinya pelaku dihukum (ta’zir) karena telah melakukan perkara yang mewajibkan dosa baginya.
Pendapat az-Zahidi ini memang dianggap lemah dan tidak mu’tamad (kuat dan dipilih banyak ulama) namun sebenarnya penjelasan itu masih ada keterangan lain yang merupakan lanjutannya.
Pendapat di atas dianggap lemah jika menyendiri (menyelisihi pendapat ulama-ulama Hanafiyyah yang lain) ini yang seringkali luput dari pemahaman pengkritik hasil bahtsul masail ketima Munas itu. Jika kita lebih jeli, sebenarnya pendapat az-Zahidi itu dalam kasus ini dikuatkan (ditaqrir) oleh ulama-ulama Hanafiyah lain, bahkan ini juga ‘mufta bih’ (dipakai untuk berfatwa) dan dinukil oleh banyak ulama Hanafiyah.
Lebih mengejutkan lagi, hal ini ternyata juga dipakai berfatwa dalam kumpulan fatwa ulama-ulama India (Fatawa Al Hindiyah). Walhasil, sebenarnya pendapat az-Zahidi dalam hal ini bisa dibilang mu’tabar (bisa dijadikan pijakan hukum)
Dalam tulisan ini sebenarnya saya bukan bermaksud membahas masalah yang ‘njlimet’ seperti itu. Selain di sana banyak yang lebih kompeten daripada saya, saya juga agak sedikit ‘kesal’ ketika hal itu sudah banyak didiskusikan dan diseret ke ranah politik.
Hasil bahtsul masail yang proses pencarian referensi dilakukan berhari-hari, kemudian diuji di depan para mubahitsin (pakar ahli, kiai yang membahas dan para peserta diskusi), ‘makbedunduk’ didelegetimasi oleh elit politik dan pendukungnya. Diskusi banyak yang melenceng dari substansi, tapi banyak berkutat pada persepsi masing-masing tanpa berpijak pada realitas hasil bahtsul masail itu sendiri. Bikin kesal bukan? Tapi no problem, its okey.
‘Kafir’ itu istilah dan status teologis, sementara warga negara adalah status politis. Banyak terminologi agama yang harus direkonstruksi jika istilah tersebut mengandung makna peyoratif dan diskriminatif, dipandang akan menjadikan diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Ada kutipan menarik yang perlu anda baca. Kutipan ini dari Asghar Ali Engeneer, intelektual dan aktivis dari India. “Kata “Kafir” tidak hanya bermakna ketidakpercayaan religious, tetapi menyatakan penentangan terhadap masyarakat yang adil dan egaliter serta bebas dari segala bentuk eksploitasi dan penindasan.
Banyak polemik tentang kafir pasca Munas NU digoreng sedemikian rupa, terutama di media sosial. Bahkan banyak tuduhan-tuduhan yang tak berdasar dialamatkan kepada NU. Banyak orang begitu tergesa-gesa menentang sesuatu, tanpa melihat substansi masalahnya.
Dalam istilah kafir, terdapat beberapa yakni Kâfir Harby, Kâfir Dzimmy, Kâfir Mu’âhad, dan Kâfir Musta’min. Sebutan kafir itu adalah untuk nonmuslim dari sudut pandang kewarganegaraan bagi negara Islam. Sementara Indonesia bukan negara Islam, sehingga sebutan kafir di atas otomatis tidak berlaku. Karena non muslim di Indonesia nggak ada yang pas dengan 4 kriteria di atas.
Dan istilah kafir yang sedang dipolemikkan kini tidak ada hubungannya dengan kafir teologis. Jadi diskusi tentang ini banyak yang keluar jalur. Jika demikian, bagaimana menurut anda?