BAGI SEBAGIAN ORANG rumah adalah tempat tinggal paling nyaman dan spesial. Tapi bagiku rumah adalah seperti sekolah. Dan buat mantan siswa badung rebelius sepertiku, sekolah bukanlah tempat ideal untuk belajar, melainkan tempat membosankan yang too much aturan. Selalu ingin cepat-cepat pulang dari sekolah, itulah aku dulu. Toh belajar nggak hanya di sekolah. Jujur saja, kalau bukan karena butuh ijazah, aku enggak butuh sekolah. Selain karena cintaku pada orangtua tentunya.
Bertahun-tahun setelah lulus, yang menggantikan posisi sekolah seperti itu adalah rumah. Banyak sekali aturan di rumah. Enggak ada tempat privasi di rumahku. Buatku, tempat privasi itu sangat penting. Hanya di tempat-tempat privatlah aku bisa mengekspresikan diri secara leluasa. Sampailah akhirnya aku memutuskan untuk ngekos.
Bagi sebagian orang juga kos adalah rumah kedua alias tempat tinggal nomor dua setelah rumah. Tapi bagiku kos adalah rumah atau tempat tinggal utama. Karena hanya di kamar kos lah aku bebas mau ngapain saja. Mau pulang malam atau bahkan enggak pulang aku bisa. Mau selesai makan enggak langsung cuci piring, terserah aku. Mau kamar berantakan seperti kapal kena bom, suka-sukaku. Pokoknya no rule. Aturan yang ada adalah aturan yang kubuat sendiri untuk kujalani sendiri. Tapi yang terpenting it’s my safe place. Dengan demikian aku bisa mengembangkan diriku dengan baik dan nyaman seperti WFH (work from home), netflixan, baca buku, yoga, meditasi dan tentu saja beribadah. He he he.
Aku sering melihat tetangga samping kamar kosku pulang kampung tiap akhir pekan karena kangen rumah atau kangen masakan ibu dan akan kembali lagi awal pekan untuk masuk kerja. Kalau aku kebalikannya. Bagi aku pulang ke rumah itu seperti bekerja. Aku enggak bisa me time dengan diriku sendiri, karena saking ramainya rumah (ada tujuh penghuni di rumah aku; Bapak dan Ibu, kakak dan suaminya serta tiga anaknya yang masih kecil-kecil). Untuk sekadar tidur siang saja aku enggak bisa. Aku selalu kangen balik ke kos saat berada di rumah. Sebab kos adalah tempat tinggal paling privasi buatku sebagai perempuan. Itulah paling enggak yang aku sadari dan rasakan sekarang. Paling tidak sampai saat ini.
Aku bisa menemukan kesimpulan seperti itu bukan sesuatu yang gampang dan singkat. Aku telah beberapa kali pindah-pindah tempat kos. Dari satu kota ke kota lain. Melewati pengalaman suka dan duka yang nggak sedikit. Bertemu dan bersinggungan dengan banyak orang, beragam model pemilik kos mulai dari yang unik, menjengkelkan hingga menyenangkan.
Tulisan ini adalah pengalamanku ngekos berpindah-pindah sampai empat kali. Dalam perjalanan mencari kosan, sampai proses menempatinya, banyak cerita-cerita unik, seru dan menjengkelkan, aku akan mencoba untuk menceritakannya semampuku. Hitung-hitung belajar nulis.
Aku akan membagi tulisan mengenai pengalaman ngekos ini menjadi empat bagian. Yang pertama adalah yang ini, yaitu pengalaman ngekos pertama ketika di Surakarta atau Solo, Jawa Tengah. Kedua, pengalaman ngekos di Kota Gresik. Ketiga pengalaman ngekos di kota kelahiranku sendiri yaitu Surabaya. Dan terakhir pengalaman ngekosku di Bojonegoro, sebuah kota kecil di ujung barat Jawa Timur.
Pengalaman Pertama Ngekos di Surakarta
Pengalaman pertamaku ngekos terjadi di pertengahan tahun 2018 sampai akhir 2018 di Solo atau Surakarta, Jawa Tengah, masa ketika aku merintis usaha jualanku. Aku ngekos di sini nggak begitu lama. Sekitar lima bulanan. Rumah kos di Solo ini besar sekali. Khusus perempuan. Kamarnya ada tigapuluhan, terletak di tengah kota dan dekat ke mana-mana mulai dari tempat kerja, wisata, angkringan, pasar, warung susu segar, mall, bioskop dan lain-lain. Strategis lah pokoknya. Aku suka sekali.
Pemilik rumah kos sebenarnya pasangan suami istri pensiunan yang sudah tua. Tapi yang pegang kendali dan mengurus kesehariannya termasuk tagihan tiap bulan adalah anaknya yang kira-kira saat itu sepertinya berumur 25-27an. Sebut saja Ferdy. Lupa namanya sebenarnya. Tapi aku biasa panggil mas.
Orangnya pendiam. Meskipun diberi tanggung jawab sama ibu dan bapaknya untuk pegang semua kos, Ferdy ini tetep kerja kantoran. Dia berangkat ke kantor pagi seperti orang normal umumnya dan pulang jam lima sore. Selama kos di sana Ferdy ini juga jarang kasih pengumuman ke penghuni kos, atau memberi peraturan yang aneh-aneh sebagaimana pemilik kos lainnya yang kuhuni. Yang aku ingat ada satu peraturan kalau pulang tengah malam ijin dulu karena gerbang digembok setiap jam sepuluh malam ke atas. Jadi kalau niat mau pulang malam sebaiknya ijin secara spesifik dan detail biar Ferdy bisa bangun dan membukakan gerbang. Pernah sekali aku coba bilang ke Ferdy akan keluar kos pulang malam. Sekitar jam satuan tengah malam setelah nongkrong malam mingguan di sebuah kafe tengah kota, ketika mau pulang aku kirim pesan whatsapp lagi untuk memastikan Ferdy benar-benar terjaga biar bisa buka gerbang buatku. Sampe depan kos, Ferdy sudah di pintu gerbang. Ferdy nggak tanya apa-apa dan nggak ngobrol apapun. Aku langsung saja naik ke kamar sampai lupa bilang terima kasih.
Buatku sikap yang ditunjukkan oleh Ferdy sangat berarti. Ferdy nggak judgemental (suka menghakimi) kalau ada orang pulang pagi atau tengah malam, enggak kepo (knowing every particulary object) juga. Hal itu yang membuatku nyaman tinggal di rumah kos ini.
Sampai kamudian aku mulai merasa nggak nyaman ketika tahu ada penghuni kos bawa pasangan lawan jenis ke kamar. Sebenarnya aku nggak peduli sama orang yang bawa pasangan ke kos. Hak-hak dia. Cuma ini awal mula aku trauma sepertinya dari kejadian itu.
Aku masih ingat di sebelah kanan kamarku adalah orang Jawa Timur. Aku tidak tahu tepatnya orang mana, pokokya plat motor dia S. Dia kerja di sebuah koperasi. Pada suatu hari dia membawa laki-laki menginap di kamarnya. Sepanjang malam aku hampir nggak tidur sama sekali karena sepasang itu. Mereka ngobrol sampai nyanyi-nyanyi tengah malam. Paginya waktu aku mau cuci pakaian, si laki-laki bolak balik ke kamar mandi yang letaknya berdempetan. Kuhitung empat kali nggak selesai-selesai nggak tahu kenapa. Aku jengkel sekali. Posisiku yang berada di tempat jemuran terasa tidak nyaman. Apalagi aku tengah membeber pakaian dalamku di tali jemuran. Aku jadi malu dan kikuk saat dia lewat. Tapi bagaimana lagi, meski kesal sekali akhirnya aku bodo amat. Aku masih terngiang-ngiang dengan kejadian itu. Hal itu membuatku memperhitungkan saat memilih rumah kos baru di kemudian hari.
Setelah kejadian itu. Aku baru tahu bahwa rumah kos itu ternyata kos bebas. Boleh bawa pasangan sewaktu-waktu. Aku tahu setelah Ferdy mengirim pesan broadcast melalu whatsapp ke semua penghuni kos bahwa ada waktu-waktu tertentu di setiap bulan yang nggak boleh bawa pasangan. Aku kurang tahu kenapa. Aku masih ingat sekali broadcast itu berbunyi selama dua minggu jangan boleh bawa laki-laki ke kos. Setelah itu berlalu, broadcast selanjutnya berbunyi intinya silakan kalau mau bawa pasangan, menginap tidak apa-apa, selama seminggu saja. Selanjutnya tidak boleh lagi. Peraturan-peraturan seperti itu sering diumumkan Ferdy melalui bc whatsapp ke nomor semua penghuni kos. Aku yang awalnya nyaman lama-lama agak risih karena merasa privasi keperempuananku terganggu. Setelah kejadian itu, aku memilih cuci baju pada malam hari guna memininalisir bertemu laki-laki.
Sampai akhirnya aku bertahan selama lima bulan di rumah kos itu karena harus pulang ke Surabaya, kota kelahiranku. Dari sekian rumah kos yang pernah kutinggali aku merasa kosan ini adalah yang terbaik. Mulai dari fasilitas-fasilitasnya, pengelolanya yang pendiam dan tidak kepoan, hingga lokasinya yang strategis dengan pusat kota. Aku hanya tidak cocok dengan bebasnya. Kos putri yang tidak benar-benar khusus untuk perempuan.
(Bersambung)
Respon (1)