Kalau sekarang lagi ramai soal kalajengking, mari ngintip yang satu ini. Apa yang digeluti Kamari, warga Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro-Jawa Timur ini sungguh tidak biasa. Bayangkan, sehari-hari dia mencari kelabang yang ukurannya gede-gede. Kelabang itu sudah seperti teman bagi tubuhnya.
——————
Jemari legam tanpa pelindung itu terlihat cekatan memunguti kelabang (lipan) berukuran besar yang menggeliat di dalam puluhan bak plastik di depannya. Sesekali dia berhenti, mendekatkan lilitan kelabang pada jemarinya itu ke matanya untuk memeriksa masih adakah runcing gigi yang tertinggal pada mulut kelabang itu atau tidak.
Di tangannya, tak jarang, binatang liar berbisa yang sering membuat pingsan manusia itu terlihat seperti hewan peliharaan nan jinak, saling bergelayut dan merayap manja pada lengan kanan dan kirinya.
Saya menemuinya sudah lama, yakni tahun 2016 silam. Pria bernama Kamari itu seperti sedang “bercengkerama” pada ratusan kelabang yang berada di puluhan bak plastik miliknya. “Ini tempatnya sedang saya pindahkan,” tutur Kamari sambil menggenggam sejumlah kelabang di jemarinya.
Kamari merupakan pengumpul kelabang dari Dukuh Garon Desa Gamongan Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro yang sudah lama bergelut mencari kelabang untuk dijual kembali. Sambil tetap sibuk memindahkan kelabang-kelabang itu, Kamari banyak berkisah tentang kegiatannya mencari kelabang.
Kamari mencari kelabang saat malam hari. Sebab, hewan tersebut merupakan hewan nocturnal yang beraktivitas pada malam hari. Selain alasan tersebut, menurutnya, kelabang jauh lebih mudah ditangkap saat malam karena biasanya keluar secara sendiri-sendiri dari tempat persembunyian. Mengingat, kelabang hewan dengan kemampuan bersembunyi di dalam tanah di atas rata-rata dibanding serangga raksasa lainnya.
Baginya, momen mencari kelabang yang paling menyenangkan adalah sehari setelah hujan deras. Sebab, selain musim hujan adalah musimnya kelabang, bisa dipastikan sehari setelah hujan deras, banyak kelabang yang saat malam hari keluar dari sarang untuk mencari hawa dingin. Mencarinya pun juga hanya di pematang sawah dan hutan sekitar kampung saja.
Dalam hal teknis penangkapan, pria yang saat ditemui sedang memakai kaus oblong berwarna hitam itu menerangkan, biasanya dia hanya membawa sabit dan kantung sak untuk wadah kelabang. Membawa sabit, bukan untuk menyabit kelabang, melainkan untuk mengambil senjata kelabang, yakni dua buah taring besar pada mulut kelabang. Dua taring itulah yang menurut Kamari membuat banyak orang takut pada sengatan kelabang.
“Langsung pegang kepalanya dan dipotong taringnya menggunakan sabit,” tuturnya sambil memegang seekor kelabang besar di tangannya.
Setiap kelabang yang ditangkap, harus dalam keadaan hidup dan sehat. Setidaknya hanya minus taring yang baru dipotong. Karena, para pembeli kelabang hanya mau membeli kelabang segar yang masih hidup. Kalaupun dibeli dalam kondisi mati, harganya pun berbeda. Yakni, harga untuk dua kelabang dalam keadaan mati setara dengan nilai satu kelabang hidup.
Bagi yang belum pernah melihat, memang menakutkan. Sebab, kelabang sawah identik dengan ukurannya yang besar dan berbagai kisah tentang petani yang pingsan saat disengat. Selain itu, kelabang legam berukuran besar tersebut, memang memiliki taring cukup besar. Sehingga, dengan mudah membuat orang pingsan. Tapi, hebatnya, jemari Kamari seolah sudah kebal dengan taring kelabang. Dia menangkap kelabang seperti orang menangkap cicak atau capung atau hewan apapun yang tidak memiliki racun sedikitpun.
Pria yang kini berusia 35 tahun itu mengisahkan, mencari kelabang untuk dijual, pada awalnya merupakan sebuah ketidaksengajaan saat seorang pengepul besar dari luar daerah membeli kelabang miliknya. Katanya, kelabang itu menjadi komoditas ekspor untuk obat. Dari sana, dia mulai mencari kelabang. Dalam pencarian yang kala itu dia lakukan sendiri, satu ekor kelabang dewasa dihargai dengan harga Rp. 1.600 hingga Rp. 2.000. Kamari tidak terlalu jauh mencari kelabang. Sebab, hampir di setiap pematang sawah dan rerimbunan pematang di dekat rumahnya, banyak kelabang yang berkeliaran. Hanya, memang butuh mata yang sedikit awas dibanding biasanya. Selain pencarian malam hari, kelabang warnanya juga gelap.
“Waktu itu karena yang mencari masih sepi, sehari bisa dapat 500 ekor,” tuturnya.
Saat itu, setiap dua hari sekali, pengepul besar dari Jawa Tengah sering datang untuk ambil kelabang hasil tangkapannya. Alhasil, hanya dalam tiga bulan dia mampu membeli motor baru dari hasil jerih payah mencari dan menangkap kelabang setiap hari tersebut. dia juga bisa mencukupi kebutuhan hidup melalui penjualan kelabang.
Keberhasilan Kamari membuat banyak masyarakat setempat, mulai anak usia sekolah hingga orang dewasa, mengikuti jejaknya. Setelah mencari kelabang, mereka menyetor ke tempat Kamari untuk dijual bersama. Tiga hari sekali, biasanya mereka menyetor ke rumah Kamari untuk dikumpulkan dan dijual bersama ke pengepul besar. Sebab, pengepul besar biasanya langsung njujug ke rumah Kamari.
Dengan rata-rata ukuran panjang antara 10 hingga 15 cm dan lebar 1 hingga 1,5 cm, satu kelabang dihargai Rp. 1.600. Untuk ukuran di bawah standard tersebut, harganya sama namun dua dihitung satu ekor. “Mereka setor beragam, mulai 20 ekor hingga 500 ekor,” ksahnya.
Dalam setiap transaksi tersebut, dirinya tidak mengambil untung sedikitpun dari setiap masyarakat yang mengumpulkan kelabang di rumahnya. Bahkan, harga dari pengepul besar yang diberikan padanya, sama dengan harga yang diberikan pada orang lain. Hanya, di sana dia menjadi koordinator pengepul kelabang. “Melihat masyarakat bisa menghasilkan uang selain dari hasil pertanian saja, saya sudah sangat senang, Mas” imbuhnya.
Kini, tidak hanya dari kampungnya sendiri. Bahkan dari beberapa kampung di Kecamatan lain juga mulai mencari dan ikut mengumpulkan kelabang di rumahnya. Saat menjelang transaksi, ratusan pengepul biasanya langsung berkumpul di rumahnya. Banyaknya kendaraan, tidak jarang hingga menyesaki gang kecil yang berada di depan rumahnya. “Dulu saat dihitung keseluruhan pernah mencapai 9.000 ekor kelabang dengan nilai Rp. 15 Juta dalam waktu sekali transaksi,” ungkapnya.
Pria yang sehari-hari menjadi petani itu mengungkapkan, mencari kelabang kini menjadi mata pencaharian utama karena musim panen masih lama. Bahkan, ada beberapa anak usia sekolah yang bisa membeli ponsel dan kambing dari mencari kelabang sendiri. Hal itu terkadang membuat dirinya terharu campur bahagia. Sebab, mencari kelabang tentu sangat berbahaya. Apalagi dilakukan anak kecil. Tapi, banyak anak-anak yang tidak takut hanya karena keinginan menabung dan bisa membeli ponsel atau kambing sendiri.
“Kemarin ada anak yang bisa membeli dua kambing dari mencari kelabang,” katanya lagi.
Seiring tenarnya pencarian kelabang hingga menjadikannya mata pencaharian utama, ada kekhawatiran besar yang sedang dia pikirkan. Sebab, para pengepul besar di Jawa Tengah uangnya sulit cair. Sehingga, transaksi kelabang pun ditunda. Padahal, banyak warga yang sudah memiliki persediaan kelabang untuk disetor. Tidak jarang kondisi tersebut membuat pengepul kecil berhutang demi membeli dulu kelabang miliknya dan warga lain. (~)
Artikel yg sangat jelas. . mas wahyu Ada kontak pak kamari ?
Waduh. Gak ada kontaknya, mbak. Itu liputan tahun 2016. Tapi sampai sekarang masih ada kog kegiatan dan orang-orangnya.
Ada lmat lengkapnya ga mas Wahyu?
Terima kasih infonya pak. Kalau boleh minta kontak pak kamari dong. Saya mau butuh bbrp kelabang segar juga