Story  

Kami Mohon Izin Membongkarmu

Pikiran awamku mengatakan, memindahkan omah jati mirip bermain puzzle. Membongkarnya lalu mengembalikan ke bentuk semula. Sederhana. Tapi kenyataannya tak sesederhana itu. Membongkarnya saja sudah dag dig dug.

Izinkan saya berbagi kisah kecil ini.

Hari Raya Idul Adha 1440 H dirayakan pada Minggu, 11 Agustus 2019. Aku memilih sholah Idul Adha di masjid dimana aku kecil selalu sholat di sana. Ibadah sekaligus bernostalgia. Perjalanan dari rumah yang kutempati sekarang sekitar 15 menit.

Ada satu tradisi yang masih lestari hingga kini di kampung aku dilahirkan. Usai sholat riyoyo, laki-laki dewasa dan anak-anak pergi ke langgar membawa nasi dengan aneka lauk. Di langgar ada doa bersama lalu dilanjutkan sarapan bareng. Waktu kecil, kami akan mencari menu paling enak, dan kami rebutan duduk di samping nasi tersebut. Nasi paling enak adalah saat ada ayam goring atau daging sapi.

Sehari selepas Idul Adha, Senin 12 Agustus 2019 adalah hari yang dipilih untuk membongkar omah jati yang hendak kupindah. Masyarakat jawa punya kepercayaan soal perhitungan hari atau biasa disebut petungan. Beberapa tetangga dekat bertanya apakah hari itu (Senin 12 Agustus) adalah hari baik? Aku menjawab InsyaAllah.

Sebelum menjawab, sebenarnya aku sudah tanya ke Bapak soal hari Senin itu. “Menurutku, semua hari baik,” katanya. Namun Bapak menekankan lagi bahwa hari itu sudah bukan masuk bulan Selo yakni bulan kesebelas penanggalan jawa. Selo juga disebut Dzulqo’dah dalam penanggalan hijriyah. Melainkan masuk bulan Besar atau Dzulhijjah. Jadi tidak ada masalah.

Baca Juga:  PPPK Nakes di Ponorogo Terima SK

Di bulan Selo, masyarakat jawa pantang menggelar hajatan pernikahan atau semacamnya. Termasuk hajat membongkar atau mendirikan rumah. Pokoknya, hal-hal besar sebaiknya tidak dilakukan pada bulan Selo. Beberapa petungan lain biasanya didasarkan pada alasan apakah pada hari itu (sesuai petungan) ada anggota keluarga yang meninggal dunia atau tidak. Jika ada, maka sebaiknya diubah.

Uniknya, tetangga-tetangga dekat kamilah yang selalu mengingatkan soal petungan itu. Apakah sudah dihitung? Apakah Bapak sudah mengizinkan hari itu? Maklum Bapak adalah kiai langgar yang dituakan. Aku memaknai semua itu dengan rasa tawadhu’ pada tetangga dan saudara yang berharap semua berjalan lancar. Aku melihat inilah kebersamaan masyarakat desa, semua dibicarakan bersama-sama meski tidak dalam satu forum formal. Setahuku, masyarakat jawa tak begitu menyukai hal-hal bersifat formal.

Sehari sebelum hari H, aku ditugaskan untuk memberitahukan ke tetangga kanan-kiri rumah. Lebih tepatnya memohon bantuan tenaga untuk membongkar rumah. Kami menyebutnya dengan tradisi sambatan, yakni meminta bantuan tetangga untuk membongkar atau membangun rumah.

Senin pagi sekitar pukul 06.30, para orang laki-laki dewasa sudah ramai di rumah yang hendak dibongkar. Jumlahnya sekitar 15 orang. Ada yang sudah ada di atas atap menurunkan genteng, ada yang di bawah membongkar sekat ruang, dan yang lainnya membersihkan kayu-kayu yang berserakan. Maklum, rumah itu lama tak dihuni.

Pekerjaan membongkar rumah bagi kami adalah hiburan. Betapa tidak, canda tawa selalu mengiringi pekerjaan itu. Jadilah pekerjaan yang perlu tenaga besar itu sesuatu yang menyenangkan, tidak membosankan.

Baca Juga:  BAZNAS Bojonegoro Kembali Gelar Seleksi Beasiswa Genius S1 Tahun 2022

“Nek cuma nyekel genteng tok ngunu kuwi, kabeh wong ya iso,” canda salah seorang yang berada di bawah. Ia mengomentari orang yang di atas.

“Ora usah rame ae, ndang munggah, lak manukmu kecantol paku kene,” balas yang di atas.

Aku ikut proses membongkar rumah dari pagi hingga sore menjelang maghrib. Kayu-kayu jati yang difungsikan untuk tiang dan atap paling memerlukan waktu lama untuk dibongkar. Konstruksi omah jawa berbeda dengan rumah batu. Kayu jati tiang misalnya bisa dibongkar dan dipasang ulang, tapi semua harus menggunakan ‘rumus’ agar tidak merusak kayu.

Omah yang dibongkar ini merupakan omah jati tipe grojokan. Bentuk rumah ini mempunyai atap seperti huruf A kalau dilihat dari samping. Jadi hanya ada dua sisi. Luasnya 7 x 9 meter.

Warto, sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam bukunya berjudul Desa Hutan dalam Perubahan (2009) menyinggung soal tipe rumah jawa. Menurut ada 4 tipe rumah jawa, yakni (a) bekuklulang, (b) grojokan atau drojogan, (c) dorogepak atau limasan (d) joglo atau bucu.

Siang hari, kami istirahat. Makan bersama di samping rumah yang dalam proses dibongkar. Atapnya sudah tidak ada. Tinggal tiang kayu jati dan blandar dan pintu depan. Pintu itu mempunyai daun empat dan tiap daun berupa jati utuh. Di kusen pintu, bagian atas-samping kanan-samping kiri terdapat ukiran tangan khas zaman dulu.

Saat merobohkan pintu butuh enam orang agar tidak rusak. Menjelang asar, empat tiang utama mulai dipisahkan satu dari yang lain. Tiap tiang diberi kayu penyangga agar tidak goyang. Cara merobohkannya dari dua sisi berbeda. (Semoga aku bisa menulis di kesempatan lain tentang cara orang kampung kami merobohkan tiang dan mengambil blandarnya). Orang-orang ramai sekali. Ada yang menyangga pakai kayu, tangga, bantuan tali dan sebagainya. Maklum kayu jati yang dirobohkan cukup berat.

Baca Juga:  Warga Jatim Diimbau Waspada Cuaca Ekstrem, Potensi Peningkatan Awan Cumulonimbus

Sore menjelang maghrib, proses merobohkan omah jati selesai. Semua kayu sudah diangkut ke rumah kami yang jaraknya sekitar 500 meter. Diangkut menggunakan mobil pickup. Sedang 2 kayu blandar sepanjang 9 meter dipikul lima orang.

Senja memerah. Belasan orang yang seharian sibuk membongkar rumah telah kembali ke rumah masing-masing. Tumpukan kayu memenuhi halaman kosong depan rumah kami. Ada sekian banyak kisah dari proses merobohkan omah jati. Malamnya, aku diutus Bapak memberikan sejumlah uang yang dimasukkan ke amplop kepada tetangga sebagai tanda terimakasih. Tapi, hampir semua menolak dan mengatakan ikhlas membantu. Sebagian kecil menerima setelah aku sedikit memaksanya. Aku berpikir, mereka telah mengeluarkan banyak sekali keringat untuk membantu kami merobohkan omah jati tersebut.

Adzan maghrib berkumandang. Aku beringsut dari tempatku berdiri melihat kayu-kayu itu yang sehari sebelumnya masih berdiri kokoh. Aku ingat tadi pagi sebelum membongkar, aku mengatakan: nyuwun sewu, kulo mboten ngrusak, mung mindah mawon. Bismillah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *