Nusantara memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah. Letaknya yang berada di garis Katulistiwa memungkinkan penduduknya memanfaatkan cahaya matahari yang sangat melimpah. Warga Kampung Maor salah satunya, memanfaatkan energi ramah lingkungan in,i untuk penerangan dusun. Alhasil, Kampung Maor pun bermandikan cahaya surya pada malam hari.
Deretan tiang penerangan jalan setinggi 10 meter berjajar di sisi jalan. 70 unit banyaknya, jajaran PJU dengan bola lampu 160 watt itu. Penerangan setinggi 10 meter itu, berbaris rapi sepanjang jalan kampong sekitar 1 kilometer. Tak terkecuali, pada setiap sudut kampung juga dipasang PJU.
Praktis sejak akhir Februari 2013 silam, kampung terpencil yang berada di tengah hutan itu berubah. Sinar lampu listrik meneranggi berbagai sudut pedukuhan itu. Ibarat kata, pedukuhan itu bermandi cahaya matahari di malam hari.
Begitulah, pemandangan di Dusun Maor, Desa Clebung, Kecamatan Bubulan, Kabupaten Bojonegoro, Jatim. Ya, aliran listrik telah merubah wajah pedukuhan itu. Betapa tidak ? pada awal tahun 2013, dusun terpencil yang dihuni 68 keluarga ini semula gelap gulita.Terutama,saat malam tiba.
Tapi, dalam tiga bulan terakhir keberadaan 70 unit PJU telah merubah wajah murung penghuni dusun. Bisa dibayangkan, dusun terpencil yang berada di lereng bukit kawasan hutan jati kini, pada malam hari menjadi terang benderang. Kampung ini, berubah laksana kota kecil di tengah hutan jati.
Gemerlapnya, suasana kampung tak lepas dari keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)—hibah dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Alam (ESDM) di Jakarta. Sulitnya, akses menyebabkan kampung ini tidak bisa menikmati aliran Perusahan Listrik Negara (PLN) secara maksimal.
Untuk mendapatkan listrik, warga harus memasang meterannya di pedukuhan Clebung, yang jaraknya sejauh 5 kilometer dari Dusun Maor. Tak hanya itu, akses menuju kampung Maor itu juga sangat sulit. Selain, berada ditengah hutan jati, jalanan sepanjang lima kilometer itu hanya berlapis batu rata-rata sebesar kepala orang dewasa.
Praktis, saat hujan turun, orang luar kampong bakal malas mengakses wilayah pedukuhan itu. Dan hanya, warga setempat saja yang tak segan keluar masuk. Ini karena, mereka sudah biasa terpaksa hidup di kampung tersebut. Kondisi itu pula, yang membuat jaringan PLN susah masuk Maor.
Belum lagi, izin instalasi listrik juga terganjal dengan dari Perum Perhutani—pemangku kawasan hutan setempat. Namun kini, puluhan warga tertolong dengan dengan keberadaan PLTS terbesar di Kabupaten Bojonegoro. Pasalnya, dengan dana bantuan dari Kementerian ESDM senilai Rp2,7 Miliar ini kampungnya tersebut memiliki sumberdaya listrik ramah lingkungan dengan kapasitas 15 Kilowatt (KW) pit.
Dengan kapasitas itu, listrik mampu dialirkan bagi 70 sambungan dengan masing-masing warga mendapatkan jatah listrik sebesar 260 watt. Selain itu, listrik juga dipakai untuk meneranggi 70 titik PJU di kampong tersebut.
Menghemat Pengeluaran Awalnya, sekitar tahun 99-an puluhan warga Dusun Maor menginginkan bisa mendapatkan aliran listrik PLN.Namun, lokasi dusun yang berada sekitar 5 kilometer di tengah hutan jati menjadi kendala tersendiri bagi masuknya jaringan PLN ke kampungnya.
Setelah berbagai negosiasi, kemudian sekitar tahun 2001 warga 68 keluarga itu mendapatkan listrik jaringan PLN. Tapi, dengan syarat meterannya ada di Desa Clebung—berjarak 5 kilometer kearah utara dari Dusun Maor. Jaringan listrik itu, hanya empat titik. Kemudian oleh warga, dipakai bagi empat kelompok warga (per kelompok 10 keluarga) dari total 68 kepala keluarga.
Tentu, keberadaan listrik yang hanya dinikmati 40 kk tersebut membuat warga lainnya iri. Mereka juga menginginkan, bisa menikmati hal serupa layaknya warga lainnya. Selanjutnya, warga kembali mengajukan adanya penambahan jaringan. Sekitar tahun 2009, ada petugas survei datang.
Mereka selanjutnya, mendata warga yang menginginkan memperoleh listrik. “Tiga tahun selanjutnya datang peralatan PLTS yang didatangkan langsung dari Kementerian ESDM. Dan setelah dikerjakan selama tiga bulan, pembangkit bisa dioperasikan,” terang Gunadi, 32, warga setempat yang ditunjuk menjadi petugas pemelihara PLTS.
Gunadi tak sendiri merawat pembangkit listik ramah lingkungan ini. Sebab, Kementerian ESDM juga menunjuk Yulianto, 36, warga lainnya untuk turut membantu. Untuk mengoperasionalkan pembangkit, keduanya, lebih dahulu dibekali pelatihan oleh Kementerian ESDM selama sebulan. Pembangkit itu, selanjutnya ditempatkan pada lahan kas desa seluas 576 meter persegi.
Pada sisi utara lahan, ditempatkan solar modul (papan panel) sebanyak 84 panel (masing-masing panel selebar sekitar 1 meter). Puluhan panel itu, dipasang pada rangkaian setinggi 4o sentimeter dari permukaan tanah. Fungsi papan panel, untuk menyerap sinar matahari.
Energi yang terserap dari intensitas matahari itu selanjutnya masuk ke solar charger. Peralatan ini, fungsinya untuk mengatur pengisian baterai dengan cara kerja otomatis. Dari sini, arus listrik selanjutnya masuk kedalam inverter—yang berfungsi merubah tegangan dari model DC ke dalam AC atau dari listrik searah menjadi bolak-balik.
Arus kemudian dimasukkan ke dalam 48 baterai dan dua unit diantaranya baterai cadangan. Masing-masing baterai memiliki kapasitas tampung 58 volt. Arus listrik selanjutnya, diatur dengan MCM yang fungsinya sebagai saklar. Dari 4 unit MCB ini, kemudian listrik dibagi penyalurannya.
Satu unit MCB diperuntukkan bagi penangkal petir, satu lainnya untuk memasok listrik ke 70 unit PJU dan dua unit MCB sisanya, untuk didisribusikan bagi penerangan 70 saluran umum serta sosial. Rinciannya, 68 untuk rumah warga dan sisanya bagi sekolahan dan masjid. Bagi PJU, energi yang tersalurkan diset bertahan selama 5 jam. Sedangkan, bagi ruma penduduk listrik dibatasi maksimal 260 watt per harinya.
“Masing-masing warga mendapatkan 1 unit meteran dan lampu tiga titik secara gratis. Jadi, kalau tidak dihemat maka, listrik bisa padam belum waktunya,” ungkap Yulianto.
Meski bersyukur, sebenarnya warga agak kecewa dengan bantuan dari danaAPBN tersebut. Karena, pada awalnya dijanjikan listrik bakal dipakai multifungsi. Namun kenyataannya, listrtik hanya bisa dipakai untuk keperluan penerangan saja. Hal ini, karena terbatasnya jatah listrik yang diterima setiap keluarga.
Praktis dengan adanya PLTS ini, dusun terpencil di bawah bukit ini memiliki suplay dua tenaga listrik. PLTS yang berkapasitas 15 KW disisi lain dan PLN pada jaringan lainnya. Sesuai kesepakatan, PLTS dipergunakan pada malam hari. Sedangkan, PLN dipergunakan pada siang hari. Tak jarang, dengan adanya dua pembangkit ini, banyak dijumpai rumah warga yang memiliki meteran ganda.
Namun, yang pasti dengan hadirnya PLTS komunal ini, warga bisa menghemat pengeluaran untuk belanja rekening listrik. Misalnya, pada sebelumnya adanya PLTS rata-rata warga harus mengeluarkan biaya Rp 50-60 ribu setiap bulannya. Namun, dengan beroperasinya PLTS ini, warga bisa berhemat sekitar 50 persen setiap bulannya untuk membayar rekening listrik.
Rencananya, warga hendak membuat melakukan rapat bersama untuk menentukan besaran biaya sumbangan setiap bulannya bagi perawatan pembangkit tersebut. Hasil rapat itu, nantinya bakal dituangkan dalam peraturan desa (perdes). Hal ini, agar keputusan itu bisa dijalankan secara mengikat. Mengingat, selama ini warga menganggap bantuan listrtik itu gratis tanpa syarat. “Padahal, kita juga perlu dana untuk membeli peralatan cadangan. Juga honor bagi dua petugas yang merawat pembangkit itu,” terang Kepala Dusun Maor, Nyasin.