“Kamu pilih Gus Ipul atau Bu Khofifah?” tanya Kang Somad sambil jigrang di warkop Mbok Yem suatu siang sepulang dari mblantik sapi.
“Kalau aku ya pasti pilih Bu Khofifah,” jawab Kaji Tolib tanpa menoleh ke orang yang bertanya. Ia memilih mantengi layar hapenya, meski sudah retak.
“Lho kenapa? Gus Ipul lebih punya pengalaman memimpin daerah. Sudah dua kali menjabat Wakil Gubernur. Kurang apa coba?” ujar Kang Somad.
Kaji Tolib tetap nggak menoleh dan hanya berujar datar. “Bu Khofifah nggak kalah pengalamannya.”
“Tapi kan tidak di pemerintahan!” Suara Kang Somad agak meninggi. Ia lalu membanding-bandingkan antara Gus Ipul dan Bu Khofifah.
“Lha njur kenapa?” tanya Kaji Tolib juga dengan suara agak meninggi.
“Ya nggak bisa dibandingkan Ji. Yang sudah berpengalaman dan yang belum,” kata Kang Somad makin agresif.
“Sik ta. Trus karepmu kuwi opo? Opo aku kudu jawab milih Gus Ipul ben atimu lego? Trus kita ini lho siapa? Bukan KTP Jatim, hak pilih nggak punya. Kok malah eyel-eyelan, ” kata Kaji Tolib terpancing emosinya.
“Ya nggak begitu maksudku Ji. Ini kan cuma seandainya kita punya hak pilih. Seperti pengamat politik kae ya nggak punya hak pilih,” tuturnya.
“Ya kan sederhana saja. Aku milih Bu Khofifah, kamu pilih Gus Ipul. Jelas to? Lha terus masalahe ng ndi?” kata Kaji Tolib sambil memasukkan hapenya ke saku hendak beranjak pergi.
“Ji, mbok jangan pergi dulu. Kopinya belum habis itu lho,” kata Mas Guru yang sedari tadi baca koran di sampingnya. Warkop Mbok Yem makin ramai. Pegawai koperasi dan sales panci di sekitar warkop pada berdatangan memesan es teh. Siang lumayan panas.
“Lha Kang Somad ngajak ngobrol malah nadane mekso. Maksude piye?” jawab Kaji Tolib yang duduk lagi.
Mas Guru menutup korannya dan mengubah posisi duduknya menghadap mereka berdua.
“Urip mbol distel kendo. Ojo distel kenceng ae,” kata Mas Guru yang kemudian memanggil Mbok Yem untuk memesan kopi lagi.
“Iyo Ji. Ojo gampang emosian,” kata Kang Somad merasa diuntungkan situasi. Sementara Kaji Tolib nggak menjawab dan pura-pura mengeluarkan hape lalu memencet-mencet.
“Politik memang mudah memanaskan situasi. Apalagi sekarang ini isu apa saja digoreng untuk kepentingan kelompok tertentu. Kamu percaya atau tidak, nanti suatu saat kemiskinan, orang meninggal, bahkan Tuhan pun akan dijadikan alat untuk tujuan politik. Mereka lupa bahwa politik adalah alat dan bukan tujuan,” kata Mas Guru.
“Omongane sampean mbulet Mas,” jawab Kaji Tolib.
“Sori Ji. Maksud saya begini. Kita ini wong cilik. Nggak perlu ikut-ikutan panas urusan politik. Panas urusan beda keyakinan agama, beda menafsiri ayat agama, dan beda-beda yang lainnya. Mbok coba dipikir, dari dulu kita ini sudah terbiasa hidup berbeda. Soal sholat, hukum merokok, hari raya, dan kita rukun-rukun saja. Tapi ketika semua dihubungkan dengan politik, kita seperti dibentur-benturkan,” kata Mas Guru panjang dan lebar.
“Berarti kita harus anti politik saja?”
“Juga tidak begitu. Kita ini beda pandangan pilihan siapa gubernur Jatim, itu sudah pandangan politik. Tapi politik di sini adalah politik pertarungan merebut kekuasaan. Padahal politik itu nggak sesempit itu.”
“Lha kalau aku nanti jadi tim sukses salah satu calon gimana Mas Guru?”
“Lho ya monggo. Siapa yang melarang. Maksud saya, politik itu lantas bisa menjadikan apa saja sebagai pelengkap untuk meraih kekuasaan. Termasuk menggoreng isu-isu agama untuk kepentingan sesaat. Itu yang aku nggak setuju,” tutur Mas Guru.
“Terus nek Mas Guru milih siapa? Gus Ipul atau Bu Khofifah?” tanya Kaji Tolib.
“Kalau saya sudah pasti tetap memilih Pak Basofi Sudirman. Itu Gubernur Jatim. Yang lainnya kan hanya penerusnya saja. Haha,” katanya.
“Oalah. Tapi pak Basofi kan sudah meninggal,” kata Kang Somad.
“Ya kita tinggal mendoakan. Al fatihah.”
asem…aq milih seng nulis ikiae…hahahaha