Karya Ahmad Tohari di Antara 2 Budaya, Dilema Seorang Penerjemah

Foto: Youtube

Kamu akan menemukan Indonesia kecil dalam tulisan-tulisan Ahmad Tohari. Tema masyarakat kecil dari permasalahan ekonomi sampai spiritualitas ada dalam karangan sastrawan kelahiran Banyumas ini. Karya terkenalnya seperti Kubah, Di Kaki Bukit Cibalak, dan Ronggeng Dukuh Paruk menjadi best seller di toko buku terkenal. Menariknya, Ahmad Tohari memakai bahasa rakyat keseharian dalam novelnya. Hal ini membuat pembaca mempunyai kedekatan emosional dengan tokoh dalam novelnya.

Mari membincang salah satu bukunya, yakni kumpulan cerpen (kumcer) Mata yang Enak Dipandang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Kond Looking Eyes. Bahasa yang Ahmad Tohari gunakan mencerminkan budaya masyarakat Indonesia. Dalam cerita Bulan Kuning Sudah Tenggelam misalnya, tokoh utama Yuning mempunyai dua sikap berbeda ketika berbicara dengan karakter yang ada dalam cerita tersebut. Ketika berbicara dengan ayah dan ibunya, nada dan diksi yang digunakan halus dan penuh dengan penghormatan. Hal ini terlihat dari penggunan kata panggil seperti Ayah, Abah, Bu yang digunakan tokoh Yuning kepada orangtuanya. Hal ini tentu berbeda ketika Yuning berbincang dengan suaminya. Nada santai dan kasual sering digunakan dalam hal ini.

Fleksibelnya bahasa yang digunakan ini ternyata seperti pisau bermata dua. Kalau misalnya Yuning menggunakan bahasa kasual (formal) terhadap orangtuanya dia akan dianggap tidak sopan. Permasalahan ini sangat kentara dalam proses penerjemahan dari bahasa Indonesia ke Inggris. Bahasa yang digunakan bila tidak pas penggunaannya bisa menimbulkan kesalahpahaman. Bagaimana dengan karya Ahmad Tohari yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris?

foto: goodreads

Salah satu karya Ahmad Tohari, Mata Yang Enak Dipandang diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Tirsa Tanagara. Buku terjemahannya berjudul The Kind Looking Eyes. Menariknya, ada beberapa lema atau kata yang tidak mudah untuk diterjemahkan. Dalam penerjemahan, ada istilah bernama lema terikat budaya. Lema ini susah diterjemahkan dalam bahasa lain karena maknanya terikat dengan bahasa sumber (BSu).

Baca Juga:  Kalahkan Malaysia 4-1, Timnas Indonesia Berpeluang Besar Jadi Juara Piala AFF

Hal ini sangat mencolok dalam terjemahan kata terkait agama. Lema seperti wudu dan salat berjamaah subuh, sulit diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Tirsa Tanagara menerjemahkannya menjadi, washing ritual before praying dan dawn praying, Bila dicermati, padanan kata ini ternyata memiliki makna yang sangat berbeda.

Lema wudu mempunyai nilai budaya agama Islam yang mempunyai tata cara tersendiri. Sedangkan terjemahannya washing ritual hanya bermakna sebagai ritual pembersihan. Pembaca bahasa sasaran (Bsa) tentu tidak mengetahui makna tatacara dan nilai budaya dalam lema wudu. Sedangkan lema salat berjamaah subuh mempunyai makna beribadah dalam Islam oleh dua orang atau lebih dalam waktu menjelang subuh. Terjemahannya dawn praying hanya menerjemahkan ibadah menjelang subuh saja, makna dua orang atau lebih tidak ada dalam lema ini.

Tirsa Tanagara sebagai penerjemah berada dalam posisi dilematis disini. Dia bisa saja menerjemahkan sesuai dengan makna aslinya. Tapi kekurangannya pembaca BSa tak akan mengerti secara gambling apa artinya. Sebaliknya, bila Tirsa ingin pembaca BSa tidak kesusahan dalam membacanya, dia harus menghapus beberapa makna budaya yang dirasa tidak penting.

Baca Juga:  Dunia Serba Mendua dalam Senyum Karyamin

Mencari keseimbangan antara pemenuhan nilai budaya dan kelancaran pembaca BSa dalam membaca karya terjemahan adalah tantangan tersendiri bagi penerjemah. Tak sembarang kata bisa diterjemahkan dalam bahasa lain. Disinilah kreativitas penerjemah diuji. Penerjemah sebagai jembatan antara dua budaya harus ekstra teliti dalam permasalahaan ini. Kalau kamu berada di posisi Tirsa Tanagara, apa yang akan kamu lakukan?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *