“Masih menulis?” kadang saya ditanya. Mungkin saja tak lebih dari seorang tamu yang mencoba memulai ngobrol dengan sopan, namun sungguh saya tak menyukainya. Pertanyaan itu seperti masuk kategori “apa kau berhenti memukuli istrimu?” yang tak bisa dijawab mudah dengan “ya” atau “tidak”. Penanyanya mungkin sudah menyiapkannya jauh-jauh hari untuk omong-omong panjang siang hari dan itu hanyalah sebuah awalan rencana.
Mengira akan hal itu, saya dengan jujur akan membalas rasa penasaran itu dengan suara aneh dari tenggorokan atau bicara soal musim, dan jika perlu meneruskannya dengan topik yang familier seperti korupsi, penyuapan, nepotisme, dan turunannya atau variasi lain yang tercatat pada kehidupan publik, cerita mendalam tentang pengusaha yang memiliki skandal, dan sebagainya, gampangnya seperti sebuah ringkasan berita utama koran pagi. Lebih banyak saya menyangkal si penanya.
Secara keseluruhan, pertanyaan perihal “masih menulis?” itu menciptakan kerumitan, sebagian lain masih menyimpan keraguan. Mungkin saja, si penanya melihat saya berbeda dengan gambaran yang biasa saya tunjukkan pada cermin ketika mencukur waktu pagi, ketika saya tak luput mencatat kantong dan kerut di bawah matanya, lengkung rahangnya, dan tahun tahun usianya.
Atau mungkin orang ini memiliki semacam keinginan untuk mendapatkan informasi ilmiah sebagai bukti bahwa semakin lama mengapit pena antara ibu jari dan penunjuk menyebabkan gejala yang mematikan, sebagaimana bukti tentang pengalaman kera dengan jaket terikat yang tak bisa lepas dari pena.
Untuk menyenangkan para penanya itu jika mereka tetap pada pertanyaan yang sama, saya akan jawab “ bagaimana mungkin saya tak melakukanya? Seseorang mesti pensiun pada waktunya. Shastra kita telah terputus dengan Vanashastra pada beberapa titik kehidupan umat manusia. Meskipun pemerintah telah menentukan usia pensiun tak lebih dari 55 atau 58 tahun (tergantung pihak kementrian yang terkait) untuk pegawai negeri. Seseorang mesti membuka jalan untuk anak muda, tolol”.
Sentimen ini, saya berharap terdengar cukup sopan untuk seseorang agar segera meninggalkan saya sendirian. Tapi dengan tiba-tiba dia akan berbalik dan berkelakar “tak mungkin tuan, mustahil. Bagaimana mungkin ada pensiun buat para penulis! Anda harus terus menerus memberikan kabar gembira dan hal menyenangkan lain pada khalayak umum”, sebagaimana saya dikira sang penghibur. Pada titik inilah saya mengeluarkan jurus terakhir untuk menumpas si penanya. “apakah anda suka dengan akhir cerita novel saya Man-Eater of Malgudi, ketika si tokoh jahat memukul kepalanya dengan tinjunya sendiri dan pingsan?” dia terlihat bingung dan bilang “katakan padaku, cerita tentang apa itu?”
“Saya kira saya telah menghabiskan hampir delapan puluh ribu kata untuk menceritakannya di novel itu, tidak apa-apa kalau anda belum membacanya, tak usah khawatir”.
“Tentang novel itu, aku begitu kesulitan mendapatkannya. Di mana dijual dan berapa harganya?”. Saya malanjutkan dengan sebuah pertanyaan ” bisakah anda katakan pada saya jika Raju di Guide mati di akhir cerita, ataukah hujan terus menerus?”
“Apakah itu juga novel? Aku hanya menontonnya lewat film, tapi tidak rampung. Aku harus meninggalkannya untuk beberapa urusan”. “Mungkin”, saya menambahkan “listriknya juga padam, hal itu sangat mudah terjadi dengan keadaan pelayanan yang seperti sekarang ini.”
Saya bisa saja meluncurkan pertanyaan baru tiap dua menit sebagaimana dilakukan Yaksha di Mahabharatta. Tapi saya sadar, berbicara pada diri sendiri bahwa tak ada kewajiban bagi seseorang untuk membaca buku-buku saya meski mereka suka membicarakannya. Kemudian, dengan mufakat yang teramat jelas ketika dia bilang ”hari-hari ini dengan jam kerja dan juga harus mencari kerosen dan gas terus menerus, sangat sedikit waktu yang terisisa”.
Saya bilang “kenyataan tak pernah bisa diucapkan dengan gampang”. Merasa terdorong dia melanjutkan penjelasanya “ putri kecilku mempunyai salah satu cerita pendekmu tentang sebuah anjing di buku pelajaran sekolahnya, dia putriku yang cerdas, dan dia sering cerita tentang dirimu, tahu…”.
Saya tentu tak mempermasalahkan tentang putri kecil yang tak berdosa itu dengan hal tersebut, namun seseorang yang telah menempatkan cerpen saya adalah guru yang tak mampu membaca buku untuk sebuah kegembiraan (jika ada) atau penderitaan (pada kasus yang dia bisa saja dengan mudah melemparkannya ke jendela). Namun tentu saja lelaki macam ini tak akan membaca buku tanpa ada alasan yang dia kehendaki. Saya lebih suka pembaca yang mengambil buku secara alamiah. Sebab utama saya menulis cerita atau sketsa adalah karena kebiasaan dan profesi belaka dan saya menyukainya.
Saya tak sedang ingin mencerahkan dunia atau memperbaikinya. Namun para guru atau akademisi sialan itu sering melihat buku sebagai bahan mentah untuk makalah seminar atau thesis, berburu tentang makna dibalik teks, implikasi sosial, “komitmen” dan “hubungan”, atau semangat nasionalisme. Jika mereka tak menemukan salah satunya maka mereka akan menyibukkan diri untuk mencari buku lain.
Seorang profesor sastra inggris berusaha membuat gambaran dan peta yang pelik tentang Malgudi, yang justeru memusnahkan imajinasi dari halaman-halaman novel. Melihat bayangan sebuah tempat secara gamblang dengan jalan, sungai, kuil tak membuat saya tertarik sama sekali; bagi saya hal itu justeru membuatnya jadi batu dan fosil dari sebuah harapan yang melintas dan melayang ketika seseorang sedang menuliskannya.
Seorang dosen lain memberikan sebuah penjelasan “pada salah satu novelmu kau menyebut jarak antara Trichy dan Malgudi sejauh 150 mil namun kau menempatkan Malgudi di tengah antara Trichy dan Madras ketika Trichy itu semestinya hanya semalam perjalanan dari Madras. Juga pada cerita lain kau menuliskan jarak dari stasiun kereta Malgudi dan Gedung Albert sejauh tiga mil sedang di lain….” Dia mempertahankan pendapatnya ketika saya bilang “ jika anda merasa wajib untuk mengukurnya maka anda sebaiknya jangan mengukur pakai pita kaset tetapi gunakanlah sesuatu entah itu alat ukur yang terbuat dari karet India yang khusus, karena jarak dalam fiksi sangat mungkin seperti teori Einstein.
Seseorang yang sungguh membuatku terpikat adalah pemabuk asing yang dikenalkan padaku sebagai pengagum di rumah seorang teman. Orang itu akan melihatku dan dengan skeptis akan bilang “ anda…seorang novelis? Tidak, pastilah tidak”.
“Kenapa tidak?”
“Aku membayangkan seorang penulis novel kesukaanku seperti Guide dan lainnya itu sangatlah berbeda”. Lalu anda terlihat seperti sekarang ini. Anda pastilah seorang penipu ulung”.
“Betul sekali”, saya menjerit girang, “anda orang waras pertama yang saya jumpai. Begitu sulit meyakinkan orang lain bahwa saya bukanlah apa yang saya miliki.
*) Diterjemahkan dari The Writerly Life (R.K. Narayan) halaman 199-201 dalam buku A WRITERS NIGHTMARE, Selected Essays 1958-1988
____________
Biodata R. K. Narayan
Lahir 10 Oktober 1906 dan meninggal 13 Mei 2001 atau pada usia 94 tahun. Pemilik nama lengkap Rasipuram Krishnaswami Iyer Narayanaswami ini adalah seorang penulis asal India yang dikenal atas karya-karyanya yang berlatar kota India Selatan. Namanya beberapa kali masuk nominasi peraih Nobel Sastra.