Ada kisah menarik saat di bangku madrasah aliyah dulu, kisah seorang anak dan seekor anjing. Kisah tersebut sebenarnya dimuat dalam sebuah mata pelajaran muatan lokal berbahasa Arab.
Suatu hari ada seorang anak yang ingin usil pada seekor anjing, dia membawa sepotong roti dan mengiming-imingi anjing dengan roti tersebut. Setelah anjing itu mendekat dan ingin menggigit roti yang ditawarkan, tiba-tiba anak tadi memukul anjing dengan keras. Tanpa ia sadari, ada seorang dewasa, tetangga si anak yang melihat kelakuan anak ini dari lantai atas.
Tanpa berfikir panjang, orang ini turun dan memanggil anak itu dengan mengiming-iminginya selembar uang, setelah anak itu mendekat dan ingin mengambil uang tersebut, tiba-tiba tentangganya tadi memukul tangan si anak.
Anak itu marah dan berucap pada orang dewasa, “kenapa kau memukul tanganku sementara aku belum mengambil apapun darimu”.
Tetangganya menjawab dengan sebuah pertanyaan yang serupa “wa lima tadlribu al kalba, wa huwa lam ya’khufz minka syai’an” (kenapa kamu memukul anjing padahal dia belum mengambil apapun darimu?!)
———
Kisah di atas setidaknya mengingatkan kita pada beberapa hal, pertama, hukum karma (balasan) itu ada dan tidak melihat usia, karena pada dasarnya Tuhan sangat benci pada kezaliman, oleh siapa/apapun dan kepada siapa/apapun, termasuk pada hewan sekalipun.
Kedua, Atas apapun yang kita kerjakan, kita pasti akan dibalas, balasan di kehidupan berikutnya itu sudah pasti, tapi terkadang Tuhan membalas langsung di dunia dengan menitipkan balasan tersebut untuk dieksekusi orang lain (makhluk-Nya)
Ketiga, agar melakukan sebuah pekerjaan, seringkali ditawarkan sebuah iming-iming dan iming-iming itu adalah sesuatu yang kita senangi. Begitu juga Tuhan dalam memerintahkan sesuatu, pahala, surga, bidadari cantik dan lain sebagainya adalah iming-iming Tuhan kepada hambaNya agar mau menjalankan perintah. Iming-iming ini tentu bukan tujuan utama Tuhan, melainkan sekedar cara.
Saat membaca ayat-ayat tentang kehidupan di surga, “hum wa azwajuhum fi dzilalin alal aro’iki muttaki’un” dan ayat berikutnya, saya bertanya, mengapa Tuhan menceritakan para ahli surga dan pasangannya kongkow lesehan santai?
Kemudian makan buah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan (panggil)?! ternyata memang kita ini sukanya demikian, kumpul sama keluarga di tempat teduh, sendau-gurau dan memesan makanan, plus makanan penutup buah atau salad.
Karena Tuhan maha tahu dengan kesukaan kita itulah, Tuhan mengiming-imingi kita demikian. Pada ayat lain, disebutkan bahwa surga itu “tajri min tahtiha al-anharu” (di bawahnya mengalir sungai-sungai), ternyata kita memang suka ngopi atau makan di warung atau tempat yang di bawahnya ada air mengalir.
Jika ingin mencoba sensasi demikian, silakan meniru para petani yang membawa bekal sarapan dan wedhang kopi kemudian makan dan menyeduh kopinya di gubuk yang ada di pematang sawah pinggir sungai, hmm..
Bahagia itu tidak mesti mahal dan mengahabiskan banyak biaya, bukankah Tuhan menitipkan kebahagian pada hati? Bukan pada uang atau harta, sehingga yang berhak bahagia hanya orang kaya saja kawan?!
Selamat hari jumat, Kawan.