Jangan heran jika kalian berkunjung ke Bojonegoro kemudian menjumpai banyak warung kopi. Hampir setiap ruas jalan di seputaran kota memang lagi bergeliat tempat tongkrongan semacam warung kopi. Bukan hanya warung sebenarnya, ada yang sekelas cafe juga. Dan hampir semuanya tidak pernah sepi. Pengunjungnya juga beragam, mulai muda-mudi hingga yang tua.
Saya pun salah satu yang sering berpindah-pindah warung kopi. Nongkrong kadang pagi, siang atau malam. Ada banyak alasan kemudian warung kopi itu tidak pernah sepi. Sejalan dengan banyaknya pikiran yang terbuka. Rata-rata mereka yang memiliki usaha tersebut memang berangkat dari komunitas. Atau memang mereka yang memberi ruang bagi komunitas yang ingin berekspresi.
Nah, begini. Kamu pernah berjumpa dengan jamaah tabligh (JT)? Kalau belum, saya sarankan ke warung kopi. Pasti kamu akan bertemu dengan mereka. Cuma JT ini bukan bersurban dan berjubah, melainkan bercelana pendek, kadang bersarung, atau lebih tepatnya nggak ada style khusus. Mereka adalah para pegiat komunitas literasi dan seni budaya. Entah kenapa, mereka selalu saja mudah ditemui di warung-warung kopi. Dan sambil nyruput kopi, mereka akan berorasi tentang budaya, tentang pentingnya membaca, dan juga tentang pentingnya punya pacar satu saja.
Sebagaimana JT yang memiliki ketahanan mental cukup besar, para pegiat komunitas ini juga nggak kalah tahan banting. Mereka bisa berjam-jam, bahkan seharian pindah dari warung kopi ke warung kopi. Untuk apa? Tentu untuk “berdakwah” menyebarkan virus membaca dan berkesenian. Soal ketahanan jiwa dan raga ini tidaklah perlu diragukan lagi.
Warung kopi, telah menjadi pilihan yang strategis untuk meluapkan ekspresi komunitas. Mereka juga tidak pernah menuntut campur tangan Pemerintah Daerah. Sangat rendah hati kan? Barangkali, ada pikiran semacam biarkan semua berjalan pada relnya masing-masing. Biarkan orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan itu mengurusi segala tetek-bengek yang lebih berat. Dan mereka, para pegiat komunitas, akan terus berdakwah sebagaimana JT tak berhenti berdakwah.
Sekali lagi, kenapa warung kopi? Karena hal yang paling dekat dengan mereka, ya warung kopi. Pernah beberapa kali membayangkan ada semacam pusat kebudayaan dan seni, ruang literasi di kota tempat Tirto Adhi Suryo kecil bermain. Ketika Pemerintah Daerah Bojonegoro pernah menawarkan mimpi untuk membangun sebuah gedung pusat kebudayaan dan seni itu juga barangkali sudah menguap. Lupakan saja itu.
Tapi, bukankah JT tetap JT yang akan terus berdakwah. Dan komunitas itu juga akan terus menyambangi warung kopi untuk berdakwah. Mereka tetap bergerak. Mereka terus berkarya. Banyak gagasan dan aksi yang tetap mengalir. Semuanya tidak pernah selesai hanya dengan tidak adanya ruang yang representatif hadiah dari Pemkab. Sebab, semua bisa menjadi ruang ekspresi. Biarkan gedung pusat kebudayaan dan seni itu luas seperti pikiran. Bukan gedung fisik yang tak kunjung ada. Gedung yang mati sebelum dibangun.
Oh ya, ini sebagian JT warung kopi yang selalu berdakwah.
Komunitas Atas Angin
Sebuah komunitas anak-anak muda yang terus menapaki jalan literasi. Sebagai komunitas yang aktif dalam bidang baca tulis, beberapa kegiatan yang dilakukan seperti bengkel menulis, arisan buku juga tadarus cerpen. Juga menerbitkan jurnal kebudayaan Atas Angin. Sebuah jurnal yang mengangkat kebudayaan masyarakat Bojonegoro.
Komunitas Bojaksara
Baru malam Minggu lalu saya ikut nimbrung di acara buka bersamanya. Bukan sekadar kumpul kemudian makan bersama. Komunitas yang beristiqomah membuka lapak baca di seputaran alun-alun kota setiap Minggu pagi ini sedang melakukan penggarapan antologi puisi. Juga merencana panggung musik dan buku yang dinamainya Ngaostik sebagai aktualisasi mereka untuk mencintai buku yang rencananya sudah kali kedua digelar. Juga Reading Club. Reading Club baru rencana, minggu depan akan menjadi kali pertama dilakukan.
Sanggar Sayap Jendela
Sanggar Sayap Jendela Arts Laboratory. Saat ini yang menjadi pusat komunitas seni di Bojonegoro. Merupakan salah satu wadah bagi para penggerak seni. Lembaga yang bergerak untuk pendampingan, pendidikan dan pengembangan seni. Juga terus menyalakan obor kesenian. Dengan kesederhanaan dan kekreatifitasan karakternya. Bisa merangkul banyak komunitas untuk terus bergerak.
***
Nah, bagaimana? Mereka adalah komunitas-komunitas yang tumbuh dan besar dari warung kopi. Dan sebenarnya, masih banyak komunitas lain yang juga bergerak tanpa pamrih. Turut serta menyuburkan dakwah sesuai dengan bidang masing-masing. Maka, mari terus berdakwah. Kami terus istiqomah melakukannya. Semoga. (*)
_____________
*) Penulis adalah pecinta kopi dan aktif di Sanggar Sayap Jendela.