Sekarang ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin sedang maju dan (semoga) akan terus maju dan melesat. Salah satu indikasinya ialah banyaknya jemaah haji dan umrah yang tiap tahun selalu; Indonesia yang menjadi penyumbang jemaah paling banyak.
Direktur Pelayanan Haji dalam Negeri, Saiful Mujab mengatakan, “…data final jemaah berangkat tahun 2022 ini akan kami umumkan melalui laman www.haji.kemenag.go.id agar jemaah bisa segera mengaksesnya, ujar Saiful lewat keterangan tertulis, Ahad, 8 Mei 2022 silam.
Tahun ini, Pemerintah Arab Saudi melalui aplikasi e-Haj mengumumkan bahwa jemaah haji reguler mendapat 92.825 kuota. Sementara untuk haji khusus, Saudi juga sudah menentukan jumlah kuotanya, sebesar 7.226 jemaah. Kuota petugas tahun ini berjumlah 1.901 orang. Sehingga, total jumlah kuota haji Indonesia adalah 100.051 orang. Jumlah itu adalah jumlah kuota haji terbanyak di seluruh dunia.
Ya, setidaknya, dari secuil data itu bisa ditarik secuil simpulan, jika orang indonesia itu kaya raya. Dari kuota yang lebih dari seratus ribu saja masih dirasa kurang. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya jemaah yang masih harus menunggu pemberangkatan haji selanjutnya. Seiring dengan hal itu, bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi pun mulai berkembang dan banyak digunakan di mana-mana, di berbagai belahan dunia. Salah satunya ialah Madinah, Arab Saudi.
Tempat di mana semua orang beragama islam dari berbagai negara di dunia datang berduyun-duyun itu, kini banyak ditemui papan-papan informasi berbahasa Indonesia serta para pedagang yang notabene bukan asli Indonesia, namun berbicara dan menawarkan barang dagangannya dengan bahasa Indonesia.
Tentu, kepiawaian berbahasa Indonesia mereka tidak sejaduk orang Indonesia asli, tapi bisa dipastikan, mereka juga belajar bahkan kursus terlebih dahulu sebelum akhirnya berani ‘berbicara’ dalam bahasa Indonesia. Nah, di sisi lain, tentunya adanya papan informasi berbahasa Indonesia yang berguna untuk menunjukkan letak tempat wudhu maupun pintu keluar dan juga tempat salat itu, juga meminimalisasi terjadinya jemaah yang tersesat.
Mereka juga tidak musti harus bertanya kepada para petugas di Madinah. Dengan demikian, bahasa Indonesia juga berpotensi menjadi bahasa internasional (?). Di Australia, pada ugahari 2016, dibuat sebuah aplikasi oleh Pemerintah Australia guna mendorong agar lebih banyak lagi anak-anak Australia yang belajar bahasa asing. Dari lima bahasa yang diperkenalkan, bahasa Indonesia sejauh ini paling populer.
Aplikasi itu dibuat karena, dalam 50 tahun terakhir, murid-murid sekolah di Australia yang belajar bahasa asing turun dari angka 40 persen menjadi sekitar 12 persen ketika mereka berada di kelas XII.
“Bahasa Indonesia itu mudah lho, saya hanya butuh 2 bulan belajar di Balai Bahasa kampusmu ini, sampai akhrinya bisa berbincang dengan kamu (orang Indonesia) seperti ini”, celetuk Mr. David, seorang dosen tamu yang juga sedang merampungkan studi doktornya di sebuah kampus di Malang. Ia asli Uganda. Dia mengucapkan hal tersebut saat mata kuliah yang diampunya berakhir, di depan pintu kelas, saat mahasiswa lain berhamburan keluar.
Entah, apa yang ia maksud sebagai ‘mudah’ itu. Yang jelas, saat itu, ia meng-komparasi-kan antara mudah dan sulitnya belajar Bahasa Indonesia vs Bahasa Inggris.
Bahasa, menjelma satu-satunya alat agar kita bisa saling terhubung dan berhubungan. Salah satu isi sumpah pemuda yang mengatakan jika Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan itu, itu sudah sangat benar. Setidaknya, hal tersebut penulis rasakan saat mulung di Malang, dulu.
Di sana banyak bertemu orang-orang dari berbagai daerah seantero Nusantara dan juga dunia. Gak mungkin kan, kulo yang jowo nyel ini memaksa mereka harus berbahasa Jawa saat hendak berkomunikasi atau bertiwikrama. Bahasa Indonesia adalah bahasa penghubung kami semua kala itu. Sungguh! Saat itu, tidak bisa membayangkan, bagaimana kami terkoneksi jika tak ada Bahasa Indonesia.
Bahasia Indonesia mudah kan? Ya kan? Dengan demikian, bahasa Indonesia juga berpotensi menjadi bahasa internasional. (?)
Kurang dari sebulan lalu, pesohor Salihara, Goenawan Mohamad, mengatakan dengan mata berkaca-kaca di sebuah mimbar, di suatu ceramah; Bahasa Indonesia ini adalah bahasa anugerah.
“Saya bisa bahasa Jawa mas, tapi, setiap hari, saya pakai Bahasa Indonesia” Ucap Soesilo Toer suatu ketika di sebuah siang yang terik. “Mas Pram juga begitu, ia selalu berbahasa Indonesia dengan anak dan cucunya setiap hari”. Imbuhnya, sembari membubuhkan tapak asmo di bukunya yang saya beli, di rumahnya. Di Blora.
Entahlah, meski mudah, nyatanya juga tak cukup mudah. Salah satu bukti nyata ialah hasil nilai di tiap ujian semester peserta didik di hampir semua sekolah. Rata-rata, nilai ujian pelajaran Bahasa Indonesia ini lebih rendah dibanding dengan bahasa asing/Inggris. Ah—apa benar begitu? Gak usah dielak, dicek aja dulu.
Dengan demikian, Bahasa Indonesia juga berpotensi menjadi bahasa internasional (?). Sebelum fokus untuk membuat kajian eksistensi atau kemungkinan/prospek Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional, alangkah baiknya benarnya, jika mendahulukan untuk membina para genarasi saat ini supaya terlebih dahulu piawai dan jaduk dalam berbahasa Indonesia, syukur-syukur dengan baik dan benar. Ah—apa benar begitu? Gak usah dibantah, dicek aja dulu.
Di sudut warkop, saat mentari berwarna jingga, 24/6/2022