Story  

Kenangan Pertama Berjumpa Cak Nun

Mengapa datang Maiyahan? Toh saya bukan anggota jamaah Maiyah yang ngefans-ngefans amat sama Cak Nun. Tidak seperti jamaah Jannatul Maiyah yang lain, saya datang pertama kali ke acara Mocopat Syafa’at di pekarangan rumah Cak Nun di Desa Kasihan Yogyakarta, murni karena kurang kerjaan alias kengangguren.

Jika dirunut dari awal, saya memang sudah lama tahu tokoh budayawan bernama asli Muhammad Ainun Nadjib ini. Namun, saat itu saya hanya tahu jika blio seorang tokoh keagamaan yang popularitasnya sedang merosot. Sebab, mulai awal kemunculannya di zaman orba hingga waktu itu, intensitas kemunculan Cak Nun di layar tivi semakin berkurang hingga nol. Sebaliknya, di tivi, makin banyak seliweran ustaz-ustaz baru. Mulai dari yang suka baca doa sambil nangis, hingga uztad gaul yang penampilannya mirip seorang rocker.

Saya ingat betul, ketika pertama kali kawan saya mengajak saya datang ke acara Mocopat Syafa’at. Waktu itu, saya dan beberapa kawan di kos tengah terkena wabah critical disorientation syndrome alias sindrom- bingung-meh-ngopo akut. Wabah ini disebabkan beberapa faktor.

Baca Juga:  Bagiku Pilgub Jatim Itu Balapan Bus Mira dan Sugeng Rahayu

Diantaranya: ra nduwe det, ra nduwe yang, ra nduwe paketan, dan raono motor. Saya hanya bisa glimbang-glimbung di kosan seharian hingga salah seorang kawan tiba-tiba datang bagai malaikat menawarkan traktiran.

“Ayo melu aku nonton Cak Nun, mengko tak bayari madang.”

Tanpa perlu lagi menjawab, saya memutuskan mengakhiri agenda glimbang-glimbung untuk langsung mandi dan segera mengikuti ajakan kawan saya tersebut.

Setibanya di Kasihan, saya dan kawan-kawan langsung mencari tempat duduk. Kami agak telat datang. Akibatnya, tempat duduk kami jauh dari panggung utama. Bahkan, panggung utama terasa blur dari pandangan kami. Sebab, lokasinya memang berada di perkampungan sehingga pandangan kami terhalang oleh rumah-rumah.

Seperti pengajian-pengajian pada umumnya, acara Maiyah Cak Nun ini berisi ceramah dan doa-doa, termasuk shalawatan bersama. Mendengar ceramah-ceramah itu, saya sempat hampir tertidur hingga akhirnya Kyai Kanjeng beraksi.

Jeng..jeng..jeng..tarakdung..cess!

Mendengar sajian musik kontemporer semesta yang menggabungkan gamelan bernama Kyai Kanjeng dengan alat musik tradisional dan modern lainnya, dalam sekejap kantuk saya lari tunggang langgang.

Baca Juga:  Olimpiade Aswaja Nasional Prodi PAI Unugiri Diikuti Mahasiswa dari Kampus Lintas Provinsi

Semenjak Kyai Kanjeng ditabuh, saya mulai merasakan atmosfer yang tenang, sunyi, namun juga gemebyar secara bersamaan. Energi dari lantunan musik tersebut membuka pikiran saya lebar-lebar untuk menerima ceramah dan shalawat dari Cak Nun.

Pertemuan pertama saya dengan Cak Nun dan Kyai Kanjeng ini tergolong singkat dan kurang mashook. Bukan karena durasinya yang pendek, namun lantaran kurang fokusnya saya. Saya masih terlalu skeptis.Sehingga, kala itu, perhatian saya banyak terfokus pada mba-mba mahasiswy berjilbab yang berkerumun di dekat tempat duduk saya.

“Siapa tahu salah satunya jodoh.” Dalam hati saya merintih. Yaelah.

Oke. Walaupun awalnya saya skeptis dengan ceramah Cak Nun, pada akhirnya saya menemukan beberapa kecocokan cara berpikir. Ini yang memicu saya mulai mempelajari pemikiran Cak Nun. Terutama belajar melalui buku-bukunya, hingga mengumpulkan quote-quote blio yang berserakan di internet.

Semakin dalam saya mempelajari Cak Nun, bukannya kian kenal. Namun malah semakin bingung melabeli blio. Tokoh agama bukan, budayawan bukan, politisi apalagi. Pun blio sendiri membebaskan para Jamaah Maiyah memanggil dirinya.

Baca Juga:  Membaca Gerakan Literasi di SMP Plus Ar-Ridwan Bojonegoro

“Yo mbahmu, yo bapakmu, yo anakmu. Bebas!”

Dan dari pemikiran-pemikiran blio, saya belajar beberapa hal. Diantaranya: Untuk ikut Maiyahan, tak perlu memformalkan diri menjadi Jamaah Maiyah. Untuk menjadi manusia, tak perlu melabeli diri sebagai manusia.

Sebab, jika hanya jadi penghambat bagi diri kita untuk berproses ke arah yang lebih baik, lalu apa gunanya label? Daripada ngurusin labelnya mending ngurusin tubuh, eh prosesnya. Datang Maiyahan adalah salah satu proses hidup saya. Tidak perlu rutin, asal menjalaninya dengan sadar.

Ceritanya, hari ini, sekitar setengah jam lagi, saya bersama kawan-kawan hendak datang ke acara ulang tahun Cak Nun yang ke-65 di Jombang. Karena lupa belum beli kado, saya persembahkan tulisan ini sebagai hadiah ulang tahun beliau.

Sugeng Tanggap Warso, Mbah!

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *