Semua berawal dari pengumuman lowongan kerja yang dibaca Kropak pada halaman bawah sebuah media cetak hari minggu. Pada lowongan tersebut, tertera PT. Rojonegoro sedang membutuhkan karyawan. Perusahaan bergerak di bidang pertambangan itu memang selalu menjadi primadona bagi para pemuda. Terutama pemuda baru lulus kuliah yang masih menganggur seperti Kropak.
Bermodal ijazah S1 dari Perguruan Tinggi Negeri luar kota, Kropak mendaftar. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya, prioritas putra daerah. Tak butuh waktu lama bagi Kropak untuk mendapat panggilan ujian tes. Dia sempat kaget. Sebab, peserta ujian membeludak. Mencapai seribu peserta. Dia salah satunya.
Entah karena berkah doa, atau karena fresh graduate, Kropak selalu merasa dimudahkan saat menjalani tes dan menjawab berbagai pertanyaan. Hampir semua tes telah dilalui. Mulai administrasi, akademik, psikotes hingga kesehatan. Berbagai tes itu telah usai. Ratusan peserta sudah berguguran. Dari pantauan penguji, hanya menyisakan 3 peserta dengan kriteria terbaik. Tentunya, terbaik dalam hal apapun yang telah diujikan.
Ketiga peserta itu: Trisno, Kipli dan Kropak. Ketiganya terbukti mampu mengalahkan 997 peserta lain. Tentu, dengan nilai memuaskan. Kini, pihak perusahaan yang justru kebingungan, dengan apa mereka bisa menentukan satu peserta terbaik diantara tiga peserta itu.
Maklum, hampir semua mata ujian, ketiga peserta itu bisa menyelesaikan dengan baik. Tidak hanya baik, ketiganya selalu mendapat nilai sempurna tanpa cacat. Dengan kualitas jawaban yang sama. Tim penguji mulai kehilangan kesabaran dengan kecerdasan mereka bertiga. Berbagai ujian, selalu bisa di selesaikan, dengan baik, dengan sempurna. Oleh ketiganya.
Merasa staf pegawainya tidak thakthek dalam menyelesaikan tugas, akhirnya, pimpinan PT. Rojonegoro sendiri yang harus turun tangan mengatasinya. Tuan Direktur, begitu pimpinan itu biasa dipanggil, menyuruh jajaran staf agar memanggil ketiga peserta.
Pria paruh baya dengan postur besar itu, konon memiliki kemampuan melihat karakter orang. Sehingga, saat para pegawai kesulitan menentukan pilihan, dia menjadi solusi terakhir. Praktis, Trisno, Kipli dan Kropak pun dipanggil Tuan Direktur.
Trisno, Kipli dan Kropak masuk ke kantor bos besar. Kantor yang menawan, batin mereka bertiga. Selain bersih, wangi dan lengang, ruangan kantor itu sangat megah. Bahkan, bisa digunakan untuk main bola voli.
Menghadap bos besar, mereka bertiga gugup tidak karuan. Maklum, kesunyian suara kantor seolah mendukung ketakutan meraka. Bagaimana tidak, dengan kesunyian yang sempurna, suara jarum jatuh pun bisa terdengar sangat kencang. Praktis, yang terdengar hanya degup jantung mereka sendiri-sendiri.
“Bagaimana kondisi kalian, sehat??” Tanya Tuan Direktur dengan suara berat penuh wibawa, tanpa sedikitpun menekuk bibir untuk tersenyum.
“Iya, sehat, Tuan,” serempak mereka bertiga menjawab dengan suara cempreng penuh ketakutan.
Dalam kondisi khusyuk penuh ketakutan, tiba-tiba, fenomena alam yang tidak diduga-duga terjadi. Tuan Direktur tampak cemas, posisi duduknya berubah-ubah. Wajahnya seperti menahan sesuatu.
Duuuuuttth Duuuuth Duuuuuttth…
Rentetan suara kentut membombardir ruangan. Suasana ruang yang sebelumnya sunyi penuh ketakdziman, tiba-tiba riuh memantulkan suara kentut. Besarnya ruang membuat suara itu bergema menggelegar –seolah– tak berkesudahan. Molekul kentut berbaur bersama kesejukan AC.
Ketiga peserta diserang dilema. Mau tertawa sambil menutup hidung tidak berani. Diam, sama halnya membiarkan racun masuk ke paru-paru. Akhirnya, mereka bertiga pura-pura mengambil bolpen jatuh di lantai. Tuan Direktur yang sebelumnya garang penuh kharisma, tiba-tiba mati gaya dan memerah wajahnya. Namun, tenang saja, tidak Tuan Direktur jika tidak bisa menguasai suasana.
“Oke, tes kita mulai. Saya panggil satu per satu ya,” ujarnya dengan suara berat penuh wibawa, sambil merasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Trisno, dengan keringat bercucuran akibat gugup, menjadi peserta pertama yang dipanggil. Kedua peserta lainnya duduk di belakang dengan jarak tak terlalu jauh.
“Trisno, kamu tadi dengar saya kentut?,”
“Iya, Tuan”
“Bagaimana baunya?,”
“Wangi Tuan, wangi seperti parfum,”
” Pulang! Kamu tidak lolos. Dasar pembohong!,” Bentak Tuan Direktur.
Melihat Trisno diusir, Kipli dan Kropak bingung dan gugup. Mereka takut bencana yang ditimpa Trisno juga berdampak pada mereka. Sambil mengusap keringat dingin di dahi, mereka sibuk menyiapkan jawaban paling tepat.
Dengan keyakinan penuh serta gugup yang tetap dia bawa, Kipli menjadi peserta kedua yang menghadap. Dia maju ke meja penghakiman. Dengan penuh ketakutan, dia berusaha mendongakkan wajah, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kipli, tadi kamu dengar saya kentut?”
” Iya, Tuan,”
“Bagaimana baunya?”
” Busuk sekali, Tuan. Saking busuknya saya tak bisa mencari padanan baunya”
” Pulang! Kamu tidak lolos! Dasar vulgar!!” Bentak Tuan Direktur sambil menggebrak meja.
Menyaksikan dua peserta berguguran, Kropak hampir kehilangan kesadaran akibat saking gugupnya. Keringatnya bercucuran. Detak jantungnya meracau tak karuan. Lututnya bergetar tak bisa dihentikan. Dia ingin mengakhiri ketegangan dengan langsung pulang dan membatalkan keinginan untuk bekerja. Hanya saja, itu tidak bisa dia lakukan. Mau tidak mau, dengan langkah penuh ketakutan, peserta terakhir itu menghadap Tuan Direktur.
“Kropak, tadi kamu dengar saya kentut?”
“Iya, Tuan”
“Bagaimana baunya?”
” Maaf, Tuan. Saya pilek” ungkapnya dengan suara cempreng sambil memejamkan mata seolah takut menerima jawaban Direktur.
“Yes! Kamu lolos! Besok mulai kerja, ya!” Ucap Tuan Direktur sambil memberi sesobek kertas padanya.
Kropak masih tak percaya dia diterima bekerja. Itu artinya dia mengalahkan 999 peserta lainnya. Dengan langkah gontai akibat lutut yang masih kemelotak, dia meninggalkan kantor Tuan Direktur. Sesampainya dirumah, dengan penuh penasaran, Kropak membuka sobekan kertas dari Tuan Direktur itu sambil lamat-lamat membacanya: “Jujur saja tidak cukup, kau harus bisa menjaga kehormatan orang lain”.