(Bagian 1) – Di kalangan umat Islam, terutama di Bojonegoro Jawa Timur, siapa yang tak kenal dengan Kiai Muhammad Ali Syafi’i? Masyarakat mengenalnya dengan panggilan akrab Kiai Ali Kendal. Beliau merupakan rujukan umat dan para kiai di zamannya. Beliau adalah ulama yang mengabdikan hidupnya untuk berdakwah menegakkan agama Allah SWT dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Beliau seorang ulama yang berjalan di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yang perbuatan dan amalnya bersumber dari ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan Ahlu Bait Rasulullah SAW serta selalu berada di jalan para salafunas shalihun.
Masa Kecil
Pada hari Selasa Pon, pukul 11.00 Wib, 8 Dzulhijjah 1360 H yang bertepatan dengan 18 Agustus 1944 M. di Dusun Dorowangsan, Desa Doromukti, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, lahirlah seorang bayi yang penuh dengan pancaran cahaya ilmu dari pasangan Ahmad Shaleh dan Masyru’ah. Dan atas kesepakatan kedua orangtuanya bayi tersebut diberi nama Muhammad Ali Syafi’i.
Ahmad Shaleh (yang akrab dipanggil Pak Ahmad Shaleh), ayah Muhammad Ali Syafi’i, walau bukan seorang kiai, tapi beliau sosok yang rajin ibadah. Hari-harinya dihiasi dengan keshalehan ritual dan sosial. Beliau sangat hati-hati di dalam urusan agama. Hak-hak keluarganya, terutama pendidikan anak-anaknya, benar-benar diperhatikan.
Saat kecil, Muhammad Ali Syafi’i dan saudara-saudaranya sering diajak ayahnya ziarah kepada ulama dan auliya. Di antaranya ke makam Sunan Bonang, Sunan Bejagung, Sayyid Husein di Kebonsari, Mbah Jalaluddin (Makam Dowo) di Doromukti, Kiai Shomadiyyah di Makam Agung, Mbah Umar Shodiq di area Makam Dowo dan lain sebagainya.
Terhadap tamu, Pak Ahmad Shaleh, teramat memuliakan. Terlebih jika tamu tersebut orang alim atau habaib. Habib Muhammad bin Abdurrahman, misalnya, sering bertandang ke kediaman Pak Ahmad Shaleh saat masih di Tuban. Terhadap habib yang dikenal wali itu beliau sangat ramah dan begitu ta’dzim. Padahal Sang Habib telah menganggapnya sebagai teman akrab dan saudara sendiri.
Keseharian Pak Ahmad Shaleh selain bekerja demi mengais rezeki halal juga dibahiskan untuk melakukan ibadah wajib dan sunnah. Membaca Al Qur’an, merupakan aktifitas yang tak pernah ditinggalkan. Berkah keistikomahannya nderes Al Qur’an, di usianya yang sudah sepuh beliau masih dianugerahi penglihatan yang normal. Ketika membaca tanpa bantuan kacamata. Di samping ajeg wiridan membaca Al Qur’an, akhir-akhir kemudian beliau menambah amalan wirid Dalailul Khairat hingga beliau wafat.
Pengembaraan Ilmu
Tahun 1951 merupakan tahun di mana Ali Syafi’i kecil mulai belajar di Madrasah Ibtidaiyah Salafiyyah, Makam Agung, Tuban, di bawah naungan Pondok Pesantren Ash-Shomadiyyah. Di Makam Agung, pendidikan agama sangat diprioritaskan daripada pelajaran umum. Pesantren yang satu ini termasuk kategori pesantren tua yang didirikan oleh seorang kiai sepuh bernama Kiai Shomadiyyah. Konon, pendiri Pesantren Sarang, Mbah Kiai Ghozali juga pernah menimba ilmu di Makam Agung. Di antara pengasuh dan pendidiknya tatkala itu ialah Kiai Sholeh Basyar, Kiai Abdul Aziz dan Kiai Muhdi.
Ali Syafi’i kecil dikenal sebagai anak yang cerdas. Semasa belajar di Makam Agung ia berhasil menguasai dan menghafal beberapa materi pelajaran dasar, khususnya yang berbentuk nadzam. Di antaranya; Aqidatul Awam, Syifa’ul Janan, Tuhfatul Athfal, Bad’ul ‘Amal, Jauharatut Tauhid, Kifayatul Atqiya’ ila Thariqil Auliya’, Al Imrithi dan Al Maqshud.
Usai menimba ilmu kepada para masyayikh di daerah kelahirannya, kota Tuban, ia melanjutkan mondok di Kendal Bojonegoro di bawah asuhan Al-Allamah KH. Abu Dzarrin, tepatnya pada tahun 1956 M. Dengan modal himmah yang kuat, anak yang masih berumur 12 tahun ini hari-harinya dihabiskan untuk menggeluti ilmu, tirakat dan mengabdi kepada kiai. Banyak materi pelajaran dari Kiai Abu Dzarrin yang ia tekuni. Mulai dari fiqih, tauhid, tasawuf, ilmu alat, falak, khod imlak dan lain sebagainya.
Di Kendal, selain mengikuti pegajian kitab, ia juga menyempatkan berkhidmah kepada kiai. Di antara yang ia lakoni ketika itu, setiap hari Selasa pagi, Ali Syafi’i kecil mencuci pakaian Kiai Abu Dzarrin. Sebagaimana yang dikisahkan, pekerjaan yang satu ini dijalaninya dengan rutin hingga Sang Kiai ternama tersebut wafat pada tahun 1958 M. Selain itu, setiap Kamis sore, Kiai Abu Dzarrin menyuruhnya menyapu pesarean sesepuh Kendal, makam Mbah Kiai Rosyid dan keluarga yang berada di area makam Masyayikh Kendal.
Ali Syafi’i selain rajin belajar juga gemar puasa. Dirinya diutus Kiai Abu Dzarrin puasa Rajab sebulan penuh. Puasa sebulan selesai, diutus lagi puasa di bulan Sya’ban. Sehabis Ramadhan disuruh lagi menambah satu bulan, yaitu Syawal.
Tak ketinggalan, ia juga belajar di madrasah yang dinamakan MISRI (Madrasah Islam Salafiyyah Raudhotul Ilmiyyah) Kendal. Selain umum, materi pelajarannya juga berbasis kitab salaf yang sangat disiplin. Di antara pelajaran tersebut yaitu Alfiyah Ibnu Malik, Durusul Falakiyah, Bulughul Maram, Waraqat, Iddatul Faridh, Murahul Arwah, Ta’limul Muta’allim, Fathul Qarib, Sulamun Nayyirain dan Idhahul Mubham.
Karena kecerdasannya yang melampaui anak-anak di usianya, setamat belajar dari MISRI, Ali Syafi’i yang baru berumur belasan tahun itu diutus oleh KH. Muhammad Dimyathi Adnan untuk membantu mengajar di kelas 5 dan 6 MISRI. Selain itu, ia diamanahi mengurus perihal pembangunan pondok pesantren dan madrasah.
Di Pondok Pesantren Kendal, Ali Syafi’i muda memperoleh kesan mendalam sebagai seorang santri. Agaknya Kendal merupakan pesantren yang paling berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap menyinggung Pondok Pesantren Kendal, ia sering menyebut nama Kiai Abu Dzarrin yang banyak membentuk wataknya.
Pada tahun 1960, Ali Syafi’i muda melanjutkan ngaji di Pondok Pesantren Jampes, Kediri, Jawa Timur. Ketika itu Pondok Pesantren Jampes dipimpin oleh beberapa putra mahkota dan adik kandung Syaikh Ihsan bin Dahlan (mu’allif kitab Sirajut Thalibin), yaitu KH. Muhsin bin Dahlan, KH. Muhammad bin Ihsan dan KH. Abdul Malik bin Ihsan.
Di pesantren yang didirikan Kiai Dahlan pada tahun 1891 ini, Ali Syafi’i muda tampak sebagai santri yang dikenal sangat tekun dan menguasai berbagai fan ilmu. Hal ini kemudian menjadikannya cukup menonjol di antara santri-santri yang lain. Sehingga ia pun langsung dijadikan narasumber dalam setiap pembahasan kitab kuning. Tak jarang setiap kali ada ke-musykil-an ia dijadikan rujukan oleh teman-temannya.
Ali Syafi’i muda pun mengikuti kegiatan belajar di Madrasah Mafatihul Huda (MMH) Jampes. Dari kelas 2 hingga 3. Para Masyayikh Jampes melihatnya sukses dalam belajar. Sehingga setamat dari MMH, Kiai Muhammad bin Ihsan (lebih sering dipanggil Gus Muhammad) mengutus Ali Syafi’i ikut mengajar di pondok dan sekolah. Bahkan di kemudian hari ia ditunjuk sebagai kepala sekolah MMH.
Dari keterangan salah seorang alumni Jampes, Madrasah Mafatihul Huda (MMH) saat dipimpin Pak Ali Syafi’i (panggilan akrab di kala itu) mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari segi fisik maupun non fisik. Di antara perkembangan tersebut adalah tambahnya pengajian diniyah, tepatnya pada tahun 1967.
Hari-harinya yang sudah penuh aktifitas belajar dan mengajar, ia masih menyempatkan melayani kiai secara khusus. Kala itu tak jarang ia diutus ngesahi kitab-kitab kepunyaan Gus Muhmmad. Banyak kitab-kitab besar yang disahi; Madzahibil Arba’ah, Syarah Ta’limul Muta’allim, Syarah Safinatun Najah, Dalailul Khairat, Al Asybah Wan Nadzair, Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Al Iqna’, Fathul Wahhab dan Sirajut Thalibin.
Pak Ali Syafi’i sangat ikhlas menjalankan semua perintah kiai dan tulus dalam menunaikan amanah yang diembannya. Ia berkeyakinan, khidmah kepada kiai adalah salah satu pintu untuk mendapatkan ridho kiai dan memperoleh ilmu yang berkah. Namun akhirnya dengan perasaan berat, pada tahun 1970, Pak Ali Syafi’i boyong dari Pondok Pesantren Jampes karena harus kembali ke Bojonegoro. Ia berada di Jampes, selama kurang lebih 10 tahun, yakni dari tahun 1960 sampai 1970.