Sosok  

KH Mustajab Gedongsari, Kiai Bojonegoro yang Jadi Waliyullah Lewat Jalur Khidmah

Mbah Mustajab adalah Kiai Bojonegoro yang sangat melegenda di dunia pesantren. Banyak ulama besar dan habaib menyebut beliau sebagai seorang waliyullah.

Nama Mbah Mustajab Gedongsari hampir menjadi mitos di kalangan para santri. Sebab, sering diceritakan para kiai sebagai simbol khidmah pada guru, meski sampai saat ini, foto dan ilustrasi wajah beliau pun sangat sulit ditemui.

Mbah Mustajab kiai asal Bojonegoro yang masyhur ulama waliyyun minauliyaillah. Dari Habib Umar Mutohar Semarang hingga KH Djamaluddin Tambakberas, menyebut Mbah Mustajab sebagai Waliyullah lewat jalur khidmah pada guru.

KH Mustajab Gedongsari merupakan ulama asal Bojonegoro yang dikenal akan ketaatannya pada Kiai. Beliau pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Gedongsari, Prambon, Kabupaten Nganjuk. Di kalangan para santri, nama Mbah Mustajab serupa dongeng nan melegenda.

Mbah Mustajab, semula santri Bojonegoro yang belajar di Ponpes Langitan Tuban selama kurang lebih 20 tahun. Beliau belajar di Langitan pada era kepengasuhan kedua (1870-1902), yang kala itu diasuh KH Ahmad Sholeh. Mbah Mustajab terkenal sebagai santri yang patuh dan sangat ikhlas pada Kiainya.

Di pondok, beliau memang jarang ngaji. Kegiatannya hanya mengisi bak mandi kiai, menata sandal, membersihkan kandang, dan bersih-bersih, dan melaksanakan apapun perintah sang kiai. Sikap patuhnya itu, membuat Sang Kiai ridho dan gemati pada Mbah Mustajab.

Syahdan, KH Ahmad Sholeh Langitan meminta Mbah Mustajab mengirim sebuah surat kepada KH Sholeh Gondanglegi (santri sekaligus menantu Mbah Ahmad Sholeh Langitan yang berada di Gondanglegi, Kota Nganjuk). Sang Kiai meminta Mbah Mustajab ke Nganjuk beserta seekor kuda.

Mbah Sholeh Langitan mengatakan pada Mbah Mustajab untuk “membawa” seekor kuda, agar perjalanan mengirim surat ke Kota Nganjuk itu menjadi lebih cepat. Berangkatlah Mbah Mustajab sambil membawa surat pesanan kiainya itu, sambil menuntun kuda.

Baca Juga:  Gampang Prawoto, Gurit dan Perempuan Cantik

Saking nurutnya pada Kiai, Mbah Mustajab tak menaiki kuda itu. Tapi menuntunnya saja. Sebab, beliau tak diminta untuk “menaiki” tapi sekadar “membawa” saja. Tak pelak perjalanan dari Langitan Tuban ke Gondanglegi Nganjuk itu ditempuh cukup lama.

Kehidupan Mbah Mustajab berubah total ketika mendapati surat yang beliau kirim itu, ternyata berbunyi: “Tolong nikahkan santri yang mengirim surat ini, dengan anakmu”. KH Sholeh Gondanglegi, si penerima surat, langsung samikna wa atokna menerima perintah dari KH Ahmad Sholeh Langitan (yang tak lain adalah kiai sekaligus mertuanya itu).

Sementara Mbah Mustajab, si santri yang dijodohkan, hampir tak sadarkan diri karena saking kagetnya. Beliau tak mengira jika surat yang beliau bawa itu, ternyata sebuah perintah untuk menjodohkan dirinya dengan anak sang penerima surat.

Mbah Mustajab minder sekaligus takut karena selama di pondok, beliau jarang ngaji dan mutholaah. Kegiatan beliau hanya khidmah saja. Mbah Mustajab hampir menolak rencana itu. Tapi, karena manut Kiai adalah bagian dari khidmah itu sendiri, mau tak mau, Mbah Mustajab menerima perjodohan itu.

Pasca diambil mantu, Mbah Mustajab dilema berhari-hari. Beliau jarang di rumah karena kalau di rumah, takutnya nanti diminta mengajar ngaji. Sementara beliau masih belum berani ngajar ngaji. Hal ini membuat beliau sering keluar rumah. Beliau tak betah di rumah.

Hari-hari Mbah Mustajab dilalui dengan cemas. Sebab, menjadi mantu kiai tentu punya beban luar biasa. Sementara Mbah Mustajab, selama di pondok, sama sekali jarang mutholaah. Hal itu membuat beliau  sering menyendiri di pinggir sungai untuk memancing. Karena kalau di rumah, takut diminta ngajar ngaji.

Tapi barokah ketaatan, khidmah, dan keridhoan hatinya pada perintah Kiai, Allah memberi kasyaf dengan mempertemukan Mbah Mustajab pada Nabi Khidir di pinggir sungai. Singkat cerita, Mbah Mustajab diajar ngaji Nabi Khidir. Sejak saat itu, hati Mbah Mustajab terbuka untuk menelan berbagai ilmu, sekaligus mampu menyampaikannya (laduni).

Baca Juga:  6 Tokoh Penting Dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Kelak, Mbah Mustajab tak hanya mampu menggantikan peran mertuanya sebagai pengasuh dan ulama besar Ponpes Gondanglegi. Tapi juga dikenal sebagai seorang Wali yang memiliki banyak karomah. Mbah Mustajab mendirikan Ponpes Gedongsari pada tahun 1901, dan melahirkan banyak kiai khowas di wilayah Jawa Timur.

Banyak kiai dan ulama besar yang mengagumi dan menceritakan nama Mbah Mustajab pada para santrinya. Kisah tentang beliau turun temurun ke berbagai generasi, hingga menyerupai dongeng dan legenda.

Mbah Mustajab tak hanya jadi ulama besar. Tapi masyhur sebagai ulama waliyyun minauliyaillah. Dari Habib Umar Mutohar Semarang hingga KH Djamaluddin Tambakberas, menyebut Mbah Mustajab sebagai Waliyullah lewat jalur khidmah pada guru.

Saat Mbah Mustajab Ditirakati Ayahnya 

KH Imam Mustajab (c.1860-1953) adalah Kiai dari Kota Bojonegoro. Nama lengkapnya KH Mustajab bin Zarkasyi. Beliau lahir di Desa Kuncen, Padangan, Bojonegoro. Ayahnya adalah Kiai Zarkasyi, Kiai khowas yang merupakan bagian dari lingkar besar Bani Kuncen.

Banyaknya keistimewaan Mbah Mustajab tak lepas dari sosok sang ayah. Kiai Zarkasyi seorang kiai ahli tirakat dan riyadhoh. Beliau sosok yang memiliki kedekatan khusus pada Allah.

Saat Mbah Mustajab merasa gundah di Nganjuk, sesungguhnya Kiai Zarkasyi turun tangan membantu anaknya. Kisah ini yang masih jarang didengar banyak orang.

Saya mendapat kisah ini dari kiai saya, KM. Arifin Mustagfiri Kuncen. Kiai bercerita pada saya, saat beliau mondok di Langitan pada tahun 1979, nama dan kisah Mbah Mustajab sudah menjadi kisah legenda di kalangan para santri generasi beliau.

Belum banyak yang tahu jika sang ayah, yakni Kiai Zarkasyi, berperan besar dalam membantu anaknya yang sedang dilema saat dijadikan menantu kiai besar Kota Nganjuk (KH Sholeh Gondanglegi) kala itu.

Baca Juga:  KH Hammam Munaji, Gurunya Para Guru

Saat Mbah Mustajab gundah karena belum berani ngajar ngaji di pondok mertuanya, sesungguhnya Mbah Mustajab sempat pulang ke ndalem Kuncen dan mengadukan keadaan itu pada sang ayah, yakni Kiai Zarkasyi.

Mendengar keluhan anaknya, Kiai Zarkasyi tak tinggal diam. Beliau berkata pada anaknya untuk segera kembali ke rumah mertuanya dan berusaha menjadi menantu yang baik. Terkait kegundahan hati anaknya, sang ayah berpesan jika hal itu akan segera diurus oleh Allah.

Setelah menemui ayahnya di Kuncen, hati Mbah Mustajab akhirnya lega. Beliau pun kembali ke rumah mertuanya. Yakni KH Sholeh Gondanglegi, Nganjuk, untuk mematuhi pesan sang ayah tadi.

Sementara sang ayah, Kiai Zarkasyi, langsung melakukan uzlah dan tirakat. Kiai Zarkasyi masuk ke tegalan (semak-semak) dekat rumah untuk ber-khalwat. Beliau melakukan khalwat selama 40 hari penuh, tanpa makan dan minum.

Tepat di hari ke-40, saat Kiai Zarkasyi keluar dari tempat khalwatnya, Mbah Mustajab yang saat itu sedang berada di Nganjuk, atas izin Allah, langsung hafal dan paham isi Tafsir Jalalain di luar kepala. Sejak saat itu, Mbah Mustajab mantap menjadi seorang Kiai dan mulai ngaji bermacam kitab.

Ini bukti betapa tirakat orang tua mampu menembus kabut yang menyulitkan anaknya. Sekaligus, bukti betapa khidmah dan patuh pada orang tua adalah senjata yang sangat ampuh untuk memecah bermacam kesulitan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *