Ulama besar asal Bojonegoro yang masyhur sebagai gurunya masyayikh Jawa Timur. Sosok yang memberi pelajaran pada KH Hasyim Asy’ari melalui dialektika isyaroh langit.
KH Zainuddin Mojosari adalah ulama waliyyun minauliyaillah. Guru dari banyak kiai besar. Satu diantara santri beliau yang paling terkenal, adalah KH Djazuli Utsman (pendiri Ponpes Al Falah Ploso). Ayah dari Gus Miek tersebut, adalah santri kinasih dari KH Zainuddin Mojosari.
Mbah Zainuddin Mojosari sosok yang memberi nisbat “Blawong” pada KH Djazuli Ploso. Kelak, pemberian nama itu jadi semacam transfer karomah dari sang guru (Mbah Zainuddin Mojosari), pada santrinya (Mbah Djazuli Ploso).
KH Abdul Karim (Mbah Manap), pendiri Ponpes Lirboyo, hampir tiap seminggu sekali selalu sowan pada KH Zainuddin Mojosari dengan naik dokar untuk bertabaruk dan beristifadhah pada Mbah Zainuddin Mojosari.
Mbah Zainuddin adalah sosok yang pernah “mengusir” para kiai sepuh dari ruang Bahtsul Masail, hanya karena sudah waktunya sholat duhur tapi masih banyak kiai yang berada di ruang diskusi. “Heh, Cong, wes luhur!” Kata Mbah Zainuddin sambil membawa sapu ke dalam ruang rapat Bahtsul Masail.
Padahal, Bahtsul Masail yang dihelat pada awal 1950-an di masjid Mojosari itu, untuk menentukan arah bangsa dan dihadiri para kiai besar seperti KH Machrus Aly (Lirboyo) KH Zahid (Cepoko Nganjuk), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono Nganjuk) dan KH Wahab Chasbullah (Tambak Beras Jombang). Tapi itulah Mbah Zainuddin.
Meski tak terlalu dikenal, ulama asal Bojonegoro itu amat disegani Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari. Sebab, Mbah Zainuddin sosok yang memberi pelajaran penting pada Mbah Hasyim Asy’ari tentang bagaimana memahami orang lain. Sebuah pelajaran yang disampaikan secara mukasyafah.
Mbah Zainuddin Mojosari (1850-1954) berasal dari Bojonegoro. Beliau lahir di Desa Kuncen Kecamatan Padangan, Bojonegoro dan tumbuh di Desa Padangan. Beliau adalah putra dari Kiai Mu’min, yang merupakan bagian dari lingkar besar Bani Kuncen. Mbah Zainuddin hidup sezaman dengan KH Hasyim Jalakan Padangan.
Beliau hidup ketika kredo keramat “sopo wonge santri Kuncen sing gelem metu omah yo bakale dadi wali” masih berlaku. Yakni ketika Kuncen masih dijuluki sebagai kawasan “segarane kiai”. Sebuah era dimana banyak kiai Kuncen masyhur wali, justru saat berada di luar tanah kelahirannya sendiri.
Setelah tinggal dan belajar di Padangan, Mbah Zainuddin melanjutkan rihlah ilmiah ke sejumlah ulama. Diantara guru Mbah Zainuddin adalah KH Sholeh Darat Semarang. Beliau juga tercatat pernah belajar di Ponpes Langitan era KH Ahmad Sholeh (pengasuh ke-2).
Setelah berpetualang dalam pencarian ilmu, Mbah Zainuddin diambil menantu oleh pengasuh Ponpes Mojosari, Loceret, Nganjuk. Dari sana, kelak, Mbah Zainuddin tercatat sebagai pengasuh Ponpes Mojosari yang ke-5.
Sebagai seorang pengasuh, Mbah Zainuddin terkenal sebagai sosok yang sangat Istiqomah dalam laku syariat. Terutama dalam hal menjaga wudhu, sholat jamaah, membaca Qur’an, dan tahajud. Kisah beliau mengusir para kiai dari ruang Bahtsul Masail dan disuruh untuk sholat duhur terlebih dulu, adalah bukti betapa kokohnya pilar syariat beliau. Meski sesungguhnya, beliau kiai yang lebih cenderung bertasawuf.
Mbah Zainuddin selalu menampakan ketat syariat, dan menyembunyikan laku tasawuf secara rapat. Ini demi memberi contoh pada masyarakat awam agar tak kesasar jalan. Dan prinsip itu, menjadi semacam ciri khas bagi para kiai khowas zaman dahulu.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup pun, beliau selalu menampakan laku syariat. Bekerja dan mencangkul sendiri di sawah. Mengurus dan membersihkan sendiri kebun dan kandang ternak. Dan tak pernah tampak khariqul ‘adah di hadapan masyarakat umum.
Mbah Zainuddin, justru selalu berpesan pada para santrinya, “Cong, ojo lali karo ayat:
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
(Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri?)
Kewalian Mbah Zainuddin Mojosari
Tapi namanya kiai tasawuf yang waliyyun minauliyaillah, hal-hal di luar nalar syariat kadang masih mbrosot begitu saja, meski sudah ditutup rapat-rapat. Terutama dalam hal pengambilan kebijakan berbasis karomah yang mengagetkan.
Syahdan, Ponpes Mojosari mengadakan imtihan akhirusannah (syukuran kelulusan). Waktu itu, ada salah seorang warga yang mengusulkan agar acara tersebut ada hiburannya berupa jaranan. Maklum, waktu itu, jaranan adalah hiburan khas masyarakat setempat.
Tanpa diduga, Mbah Zainuddin menyetujuinya, dengan syarat kegiatan jaranan dilakukan di luar lingkungan pesantren. Tentu ini kebijakan yang amat riskan. Terlebih, diambil seorang kiai pengasuh pondok pesantren. Sebab jaranan, kita tahu, identik keberadaan minuman keras dan perkelahian.
Selama berhari-hari, masyarakat Mojosari yang kala itu mayoritas masih Abangan, berada dalam suasana riang gembira dengan adanya hiburan jaranan dalam acara imtihan. Kabar ini pun terdengar ke telinga kiai sepuh lainnya. Terutama KH Hasyim Asy’ari.
KH Hasyim Asy’ari dan Sebuah Pelajaran
Tatkala kabar Ponpes Mojosari menghadirkan Jaranan dalam acara imtihan, Mbah Hasyim Asy’ari pun langsung mengambil sikap. Beliau mengundang sejumlah kiai sepuh untuk bermusyawarah di Ponpes Tebuireng, demi menindaklanjuti kabar tersebut.
Sejumlah kiai sepuh seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan beberapa kiai sepuh Jawa Timur lainnya berkumpul untuk mengambil sikap. Para Kiai takut acara yang diselenggarakan di Mojosari berdampak pada anggapan masyarakat bahwa Jaranan adalah budaya santri.
Para Kiai sudah sepakat untuk “mengingatkan” Mbah Zainuddin Mojosari terkait jaranan itu. Tapi, siapa yang harus sowan dan memberikan peringatan ke Mojosari, tak menemui titik sepakat. Sebab, banyak yang mundur dan tak berani menghadap.
Kemasyhuran Mbah Zainuddin sebagai kiai khowas membuat para kiai sepuh berpikir dua kali untuk sowan dan memberikan peringatan secara langsung. Bahkan setelah dirunding berkali-kali, tetap saja tak ada yang berani menghadap ke Mojosari.
Karena tak ada yang berani berangkat, KH Hasyim Asy’ari memutuskan agar peringatan itu diberikan lewat surat dan ditandatangani semua kiai sepuh yang kala itu hadir dalam musyawarah. Setelah rapat pernyataan sikap, para kiai sepuh pun pulang.
Malam harinya, saat Mbah Hasyim Asy’ari beristirahat, beliau diberi kasyaf lewat isyaroh mimpi. Dalam mimpi itu, Mbah Hasyim sholat berjamaah bersama seluruh ulama Nusantara. Beliau berada di barisan shaf ke- 7. Sementara sang imam sholat, adalah Mbah Zainuddin Mojosari.
Kejadian itu menjadi semacam dialektika isyaroh langit untuk Mbah Hasyim Asy’ari. Beliau lantas mengabarkan kejadian itu pada para kiai yang sebelumnya ikut menandatangani surat pernyataan sikap. Dan surat itu akhirnya tak jadi dikirimkan ke Mojosari.
Semua kiai sepuh sepakat bahwa kebijakan Mbah Zainuddin Mojosari bukan wilayah mereka. Para Kiai juga bersepakat untuk tak lagi ikut mencampuri urusan guru mereka tersebut.
Kelak, sejarah mencatat, barokah dari jaranan yang sempat “diizinkan” Mbah Zainuddin adalah: hampir 90 persen masyarakat yang semula abangan, menjadi kaum santri dan menjadikan daerah Mojosari, Loceret, bahkan hingga Nganjuk secara umum, jadi kawasan yang identik santri.
Mbah Zainuddin Mojosari adalah ulama asal Bojonegoro yang menjadi Syaikhusyaikh, guru dari para muasis Nahdlatul Ulama. Meski, nama dan sejarah beliau tak terlalu banyak dikenal publik.