Sosok  

KH Zuber Umar, Kiai Bojonegoro yang Kitabnya Jadi Rujukan Ulama Dunia

Mbah Zuber Umar adalah ulama ahli falak Bojonegoro yang namanya masyhur di Makkah dan Kairo. Kitab karya beliau jadi acuan dasar ilmu falak di seluruh dunia, sampai hari ini.

Nama KH Zuber Umar mungkin tak terlalu terkenal di Kota Bojonegoro. Setidaknya jika dibanding dengan KH Rachmat Zubair. Untuk diketahui, keduanya figur berbeda. KH Rachmat Zubair datang ke Bojonegoro ketika Mbah Zuber Umar sudah masyhur waliyyun minauliyaillah di Kota Salatiga.

Meski kurang dikenal di Bojonegoro, Mbah Zuber Umar justru sangat masyhur di kalangan ulama dan akademisi Timur Tengah. Itu tak lepas dari keilmuan dan sumbangsih beliau terhadap ilmu pengetahuan. Mbah Zuber Umar sosok yang terkenal sangat alim.

Saking alimnya, muasis NU, KH Hasyim Asy’ari, sampai kepincut ingin menjadikannya menantu. Meski, rencana itu tak terlaksana karena Mbah Zuber Umar diambil menantu seorang kiai asal Salatiga, Jawa Tengah.

Mbah Zuber Umar ulama besar Bojonegoro yang kebesarannya justru terdeteksi di Timur Tengah. Selain pernah jadi pengajar utama di Universitas Al Azhar Mesir, karya besar beliau adalah sebuah kitab klasik ilmu falak berjudul Al Khulashotul Wafiyah.

Kitab karya beliau ini jadi buku acuan dalam bidang falak (astronomi) oleh para ulama Timur Tengah, untuk menentukan hisab (perhitungan) awal dan akhir bulan Ramadhan, dan bulan-bulan qomariyah lainnya.

Kitab karya kiai asal Bojonegoro ini, konon jadi salah satu kitab falak paling lengkap, paling sederhana, dan paling terperinci. Setidaknya jika dibanding kitab-kitab falak populer lain seperti Matla’us Sa’id, Tashilul Mitsal, ataupun Durrul Matslub.

Kitab ini banyak digunakan di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Mesir,  hingga Irak. Sebab, Mbah Zuber menggunakan mabda’ (orientasi pandangan) Makkah. Sementara di Indonesia, kitab ini dikaji di pondok-pondok pesantren dan jadi rujukan ahli falak hingga saat ini.

Baca Juga:  KH Zainuddin Mojosari, Waliyullah Kota Nganjuk asal Bojonegoro

Lahir dan Tumbuh di Bojonegoro

KH Zuber (1908 – 1990) lahir dan mengisi masa kecil di Desa Padangan, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Beliau putra dari Kiai Umar. Beliau lahir di zaman ketika banyak ulama khowas masih bisa dengan mudah dijumpai di Padangan.

Kiai Furqon Azmi, seorang sejarawan Islam Nusantara mengatakan, pada dekade  1980-an, dia sekeluarga sowan ke Salatiga dalam rangka bertabaruk pada KH Zuber Umar yang kala itu sudah berusia sepuh.
Dari pasowanan itu, kisah masa kecil KH Zuber Umar di Padangan didapatkan.

Setelah mengisi masa kecil di Padangan, Mbah Zuber hijrah ke Kota Bojonegoro. Di sini, beliau belajar di sebuah sekolah bernama Madrasatul Ulum (kini jadi komplek Masjid Besar Darussalam Bojonegoro) selama 5 tahun. Tepatnya dari 1916 hingga 1921.

Selesai belajar di Kota Bojonegoro, Mbah Zuber Umar meneruskan rihlah ilmiah ke Ponpes Tremas Pacitan di bawah asuhan KH Dimyathi Tremas selama empat tahun. Yakni dari tahun 1921 hingga tahun 1925.

Tak berhenti di situ, Mbah Zuber Umar masih terus melanjutkan petualangan ilmiah dengan belajar pada Kiai Amir Idris, Ponpes Simbang Kulon, Pekalongan. Di sini, beliau belajar selama setahun. Yakni  pada 1925 hingga 1926.

Dari Pekalongan, Mbah Zuber kembali menuntut ilmu ke Ponpes Tebuireng Jombang di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari selama tiga tahun, dari 1926 hingga 1929. Di sinilah, Mbah Hasyim Asy’ari sempat kepincut ingin menjadikan Mbah Zuber menantu, tapi tidak jadi.

Baca Juga:  Sosrodilogo dan “Che” Bojonegoro

Mbah Zuber masih terus menuntut ilmu. Setelah belajar dari Jombang, Mbah Zuber melanjutkan proses pembelajaran ke Makkah selama lima tahun, dari 1930 hingga 1935. Di sana, beliau berguru pada ulama besar pada zamannya.

Dari Makkah, Mbah Zuber masih sempat melanjutkan rihlah ilmiah ke Damaskus, Syiria, hingga Palestina, sebelum akhirnya menepi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada 1935. Waktu itu, Universitas Al Azhar dipimpin Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi.

Tak hanya belajar, di Universitas Al Azhar, Mbah Zuber Umar mendapat amanah untuk mengajar bidang studi ilmu falak. Sebuah bidang yang dikenal sebagai salah satu kajian paling rumit dalam ilmu pengetahuan islam kala itu.

Saat mengajar di Universitas Al Azhar inilah, beliau menulis dan melahirkan Magnum Opus di bidang ilmu falak berjudul Al Khulashotul Wafiyah, kitab yang membuat nama beliau menjadi sosok yang cukup populer di dunia Islam, khususnya Makkah dan Kairo.

Menjadi Waliyullah di Kota Salatiga

Sepasca pulang ke tanah air, beliau tak kembali ke Bojonegoro. Tapi ke Kota Salatiga karena diambil menantu oleh seorang kiai di Salatiga. Di Kota Salatiga, beliau tak hanya dikenal sebagai ulama besar yang berjuang di dunia pendidikan, tapi juga sosok ulama yang waliyyun minauliyaillah.

Di Kota Salatiga, Mbah Zuber bergerak di dua medan laga sekaligus. Yakni medan formal dan medan kultural. Di medan formal, Mbah Zuber pernah menjadi Penghulu Pengadilan Agama Salatiga (1945 – 1947) dan Penghulu Kabupaten Semarang di Salatiga (1947 – 1951).

Baca Juga:  Totalitas Siswo Nurwahyudi Berteater, Pernah Mengemis 4 Hari demi Mendalami Peran

Selain itu, Mbah Zuber juga pernah menjabat sebagai Koordinator Urusan Agama Karesidenan Pati ( 1954 – 1956), Ketua Mahkamah Islam Tinggi Surakarta (1962 – 1970), hingga menjadi Rektor IAIN Walisongo Semarang (1970 – 1972).

Sementara di medan kultural, Mbah Zuber menghidupkan Kota Salatiga dengan atmosfer keislaman yang progresif. Berbagai institusi yayasan dan pesantren beliau dirikan, seperti; Yayasan Imarotul Masajid wal Madaris, Yayasan Pesantren Luhur, Institusi Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pondok Pesantren Joko Tingkir.

Dari berbagai institusi itu, saat ini ada yang sudah hilang dan sekadar menyisakan petilasan, tapi ada juga yang masih hidup dan bermetamorfosis menjadi institusi besar seperti IAIN Salatiga, (sebelumnya adalah Yayasan Pesantren Luhur yang didirikan Mbah Zuber Umar).

Mbah Zuber wafat pada Desember 1990 dan dimakamkan di dalam komplek pemakaman Kauman (belakang Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga).

Delapan tahun pasca beliau wafat, tepatnya pada 1998, makam Mbah Zuber Umar terkena banjir. Saat makam beliau dibongkar untuk dilakukan pembenahan, jenazah beliau masih utuh dalam posisi yang sama seperti saat dikuburkan.

Padahal papan yang mengelilingi makam beliau sudah hancur tak bersisa. Sebuah pertanda bahwa beliau memang sosok yang waliyyun minauliyaillah.

Mbah Zuber Umar adalah satu diantara Kiai khowas dan ulama-ulama besar Bojonegoro, yang kebesarannya justru terdeteksi dari luar Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *