BUKU, Story  

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu dalam Kisah Api di Bukit Menoreh

Kebesaran Pajang mulai redup. Mataram mulai berkembang meski sempat diliputi kesuraman sepeninggal Gede Pamanahan. Sementara kelompok-kelompok yang bermimpi memperjuangkan tegaknya kebesaran Majapahit kembali bermunculan. Tiga kekuatan itulah yang sedang bergejolak, terkadang berbenturan.

Jalinan kisah itulah yang sedang saya ikuti lewat karya SH Mintardja berjudul ‘Api di Bukit Menoreh’. Tentu belum sampai jilid terakhir, dan sepertinya untuk sampai pada titik itu masih sangat jauh. Karena, saya baru membaca jilid 70-80.

Tapi, dari yang sedikit itu telah menumbuhkan sebuah imajinasi ‘liar’. Saya bisa bernostalgia menikmati sandiwara radio Saur Sepuh.  Mendengar derap kaki kuda, denting pedang yang beradu, atau melihat obor-obor dinyalakan di padukuhan kecil seberang bulak, serta pendopo kademangan yang agung.

Hanya bedanya, saya kini mendengar dan melihat lewat kata-kata yang dirangkai oleh sang penulis, SH Mintardja.

Pada jilid-jilid yang terbaca olehku kini, kisah masih seputar Tanah Mataram yang tumbuh, Pajang yang redup, dan sekelompok orang yang bercita-cita menegakkan Majapahit dengan mencoba membenturkan Pajang dan Mataram. Kelompok-kelompok orang yang dengan brutal merampok dan menjarah harta untuk ‘perjuangan’ menegakkan cita-cita.

Baca Juga:  Bersedekah Tak Perlu Menunggu Kaya

Tapi, dari sekian sengkarut yang menggelayuti Kerajaan Pajang, ada sosok-sosok yang cukup menarik. Saya tentu tidak akan menyebut semua nama. Akan tetapi, hanya sedikit nama, yang tentu muncul karena didasari subyektifitas diri saya.

Pertama, Kiai Gringsing. Sosok tua ini awalnya muncul sebagai orang bernama Ki Tanu Metir, seorang dukun pengobatan di Dukuh Pakuwon. Sehari-hari, ia membantu orang mengobati berbagai penyakit. Hingga akhirnya ‘terseret’ pada kasus kekerasan yang melibatkan Untara, seorang perwira Pajang. Untara di kemudian hari menjadi seorang Senopati Pajang.

Nah, Kiai Gringsing adalah sosok yang diliputi teka-teki. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Setelah dikenal sebagai Ki Tanu Metir, ia dikenal dengan nama Kiai Gringsing. Singkat cerita, ia kemudian menjadi guru Agung Sedayu (adik Untara) dan Swandaru Geni (putra Demang Sangkal Putung).

Teka-teki siapa Kiai Gringsing mulai terbuka, saat Ki Gede Pamanahan hendak menemui Sang Pencipta. Kiai Gringsing menceritakan siapa dirinya sebenarnya. Ia ternyata adalah cucu dari seorang pangeran Majapahit yang menundurkan diri dan memilih hidup di padepokan bernama Windujati. Perguruan Windujati sangat disegarni. Ketika nama Windujati disebut, orang yang mendengar pasti akan tergetar hatinya. Namun, puluhan tahun, Kiai Gringsing menyembunyikannya.

Baca Juga:  Isaac Newton, Revolusi Ilmiah dan Penemuan-penemuannya

Ah, mari beralih ke tokoh lain. Agung Sedayu. Rupa-rupanya, inilah sosok yang akan menjadi pusat dalam cerita Api di Bukit Menoreh. Agung pada awalnya sangat manja dan penakut. Namun, di bawah asuhan Kiai Gringsing, ia menjadi pemuda berilmu tinggi, apalagi ketuka cambuk di tangannya menggelegar. Meski berilmu tinggi, Agung Sedayu sebenarnya tak menyukai kekerasan. Ia lebih memilih jalan damai. Meski tetap saja ia selalu terlibat pertempuran. Kakaknya (Untara) selalu memaksanya menjadi prajurit Pajang, namun selalu ditolaknya. Bagaimana jadinya jika seorang prajurit tidak tega melihat orang terbunuh? Itulah jalan pikiran Agung Sedayu.

Agung Sedayu seorang pendiam. Ia memiliki kelebihan dengan lemparannya yang tak pernah luput dari sasaran. Bahkan, anak panah yang sedang meluncur pun bisa dipatahkannya dengan anak panah yang dilesatkan dari genggamannya.

Baca Juga:  Buku Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Michael H Hart

Agung Sedayu dekat dengan perempuan manja namun pandai bela diri. Ia bernama Sekar Mirah, adik Swandaru Geni, anak Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar yang merupakan adik dari Patih Matahun, orang kedua setelah Arya Penangsang di Jipang.

Lalu bagaimana kisah Agung Sedayu selanjutnya? Jika anda sudah membaca pasti lebih tahu, karena saya belum sampai ke sana.

Sebenarnya juga saya hendak menulis beberapa tokoh lain, seperti Ki Waskita dengan ilmu anehnya, serta Rudita yang memiliki cara pandang dan keyakinan yang ‘aneh’ pula. Dan keduanya adalah Bapak-anak.

Omah Buku, 3 Februari 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *