Sosok  

Kiai Sholeh Darat, Gurunya Para Kiai

PERDEBATAN wacana tentang ‘Islam Arab’ dan ‘Islam Nusantara’ juga terus menggelinding dan sesekali memanas, terutama di media sosial. Sebagian kalangan hendak memaksakan budaya Arab ke dalam keberislaman masyarakat, namun sebagian kalangan tetap berpegang pada tradisi lokal dengan tetap memegang teguh ajaran Islam. Lalu, bagaimana sebenarnya wajah Islam yang pas untuk masyarakat Indonesia?

Jika hendak menjawab pertanyaan itu, mau tidak mau kita harus membaca ulang sejarah perkembangan Islam di nusantara. Peradaban Islam di Indonesia pada abad XX lebih banyak dibangun oleh dua organisasi, yakni Muhammadiyah (1919) dan Nahdlatul Ulama (1926). Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta. Sedang NU didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari di Jombang, Jawa Timur.

Muhammadiyah dan NU sangat memberi warna wajah Islam di Indonesia hingga sekarang. Keduanya bergerak di bidang dakwah, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, sosial, dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Dua organisasi ini juga disebut-sebut sebagai benteng terakhir dari serbuan penganut Islam radikal yang terus melebarkan pengaruh di masyarakat Indonesia.

Nah, melihat betapa strategisnya posisi dua organisasi tersebut bagi Islam di Indonesia dewasa ini, maka sangat menarik membaca kisah hidup Kiai Sholeh Darat, seorang ulama besar yang hidup pada abad ke XIX. Ia adalah mahaguru dari para ulama besar nusantara. KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan adalah dua santrinya yang di kemudian hari menjadi ulama besar dan punya penganut terbesar di Indonesia. Bahkan, tokoh emansipasi R.A. Kartini juga pernah nyantri kepada KH Sholeh Darat.

Siapakah sebenarnya KH Sholeh Darat? Buku karya Taufiq Hakim berjudul Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX – XX M bisa menjadi penghantar untuk mengenal sosok ulama besar yang tak hanya dikenal di nusantara ini, melainkan juga di Arab Saudi. Nama lengkapnya adalah KH Muhammad Sholeh bin Umar As-Samarani. Namun, lantaran tinggal di Kampung Mlayu Darat, maka ia lebih dikenal dengan nama Mbah Sholeh Darat. Kedalaman ilmunya membuktikan dia adalah sosok kharismatik yang ikut mewarnai wajah Islam di nusantara. Ia dikenal sebagai Al-Ghazali nya Jawa. Karena, KH Sholeh Darat mengintegrasikan antara syari’at (fiqh) dengan ilmu tasawuf.

Baca Juga:  Label Ulama Diobral, Siapa Sebenarnya Ulama?

Waktu lahir Mbah Sholeh Darat, memang belum diketahui secara pasti. Namun, dari penelusuran penulis buku ini, diperoleh kesimpulan bahwa ia lahir pada 1820 M/1238 H di Desa Kedung Jumbleng (versi lain menyebut Kedung Cumpleng), Mayong Jepara. (hal: 45). Ia adalah putra dari Kiai Umar bin Tasmin yang merupakan ulama yang ikut berperang dalam Perang Jawa (1825-183) menemani Pangeran Diponegoro. Dalam perang itu, Kiai Umar dipercaya untuk mengkoordinir gerakan jihad di wilayah pantai utara Jawa, dan rumahnya di Jepara sering dijadikan markas para pejuang. (hal: 36).

Sejak kecil Mbah Sholeh Darat mendapat ilmu dari beberapa pesantren salaf dan belajar kitab-kitab klasik. Dan pada usia 15 tahun, dua tahun pasca kekalahan Pangeran Diponegoro, ia diajak Kiai Umar ke Mekkah dan menetap di sana. Selama di Tanah Suci selama kurang lebbih 45 tahun, ia berguru kepada ulama-ulama besar.

Guru-guru Mbah Sholeh Darat bisa ditelusuri dari kitab-kitab yang ditulisnya. Diantaranya kitab Mursidul Wajiz yang berisi silsilah nama-nama gurunya selama di nusantara, dan kitab-kitab yang dikajinya. Selain itu juga ada kitab al-Murshid al-Wajiz fi ‘Ilm al-Qu’ran al-Aziz yang juga menjelaskan nama-nama guru dan kitab yang dikaji. Seperti kepada Sayid Muhammad Zaini Dahlan, seorang mufti di Mekkah, Mbah Sholeh Darat belajar kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghozali. Kepada Syekh Nahrawi al-Misri al-Makki ia mengaji kitab al-Hikam karya Ibn Athoillah yang merupakan kitab tasawuf banyak dikaji hingga saat ini.

Baca Juga:  Syekh Ahmad Khatib, Guru Ulama-Ulama di Indonesia

Tidak Menjadi Arab

Setelah lama menetap di Mekkah, Mbah Sholeh Darat pulang ke tanah air dan tinggal di Kampung Mlayu Darat, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Di sinilah ia mendirikan pesantren yang kemudian dikenal dengan nama Pesantren Darat sekitar tahun 1880. Dari pesantrennya itulah banyak lahir ulama-ulama nusantara yang memiliki ciri khas pribumi dan ikut menentang penjajah Belanda. Dua diantaranya adalah KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Cara dakwah Mbah Sholeh Darat adalah cara-cara santun yang menghargai local wisdom di Jawa. Ia sadar bahwa sebelum Islam masuk ke Jawa, masyarakatnya telah memiliki kepercayaan dan cara hidup yang dilakukan secara turun temurun. Mbah Sholeh tidak lantas menghapusnya, melainkan berusaha meluruskan tradisi-tradisi yang ada agar bisa sesuai dengan koridor syariat Islam. (hal: 132).

Cara dakwah yang demikian, saat ini mulai ditinggalkan oleh orang-orang dengan dalih pemurnian Islam. Banyak organisasi keagamaan yang kemudian memilih jalan-jalan kaku, suka mengkafirkan, memfatwa sesat, dan menghalalkan darah orang atau kelompok yang berseberangan. Dakwah yang santun mulai banyak diganti dengan orasi-orasi yang provokatif dan menghasut orang agar membenci kelompok lain.

Mbah Sholeh tinggal dan belajar di Mekkah selama 45 tahun, namun bukan lantas dia kearab-araban dan memaksa masyarakat Jawa untuk mengikuti kebudayaan Arab. Hal itu ditunjukkan dengan caranya menulis kitab-kitabnya yang tak terbilang jumlahnya itu dengan menggunakan bahasa Arab pegon. Pegon adalah tulisan huruf Arab tapi bahasa Jawa. Cara itu ditempuh agar ada keselarasan antara Arab dan Jawa.

Baca Juga:  Kamari Si ‘Manusia Kelabang’ dari Bojonegoro

Tak hanya itu, keingingannya agar al-Quran diresapi dan dipahami masyarakat Jawa dilakukan dengan cara menerjemahkan dan menafsirkan al-Quran dalam bahasa Jawa. Buku tafsir al-Quran yang terkenal adalah Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan yang dijadikan kado pernikahan kepada RA Kartini. (hal: 160). Langkah ini menunjukkan bahwa Mbah Sholeh sangat menginginkan Islam membumi di tanah Jawa.

Apa yang dilakukan oleh Mbah Sholeh adalah pribumisasi Islam sebagaimana terminologi yang biasa digunakan oleh almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yakni Islam yang menjejak di bumi nusantara, bukan arabisasi Islam di nusantara. Konsep ini kemudian digalakkan oleh NU dengan istilah Islam Nusantara yang sekarang getol disosialisasikan ke masyarakat.

Kembali pada buku ini, bahwa buku setebal 242 halaman ini sangat membantu tidak hanya mengenal lebih dekat sosok ulama besar Mbah Sholeh Darat saja, melainkan juga memahami sejarah Islam di nusantara. Pemahaman sejarah sangat diperlukan untuk memahami bagaimana masyarakat muslim nusantara, khususnya di Jawa bergerak hingga saat ini. Pribumisasi Islam telah berlangsung dari masa Walisongo, masa Mbah Sholeh Darat hingga masa sekarang. Sehingga, kelompok tertentu yang hendak menggantikan corak Islam itu dengan corak lain akan selalu menemui jalan buntu.

*) Tulisan ini mengambil dari buku Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M karya Taufiq Hakim. (Institute of Nation Development Studies /INDeS, 2016)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *