“Kemarahan adalah musuh tersembunyi yang sulit dimengerti. Ketahuilah, Resi, hidupmu masih dangkal dan penuh mimpi. Kamu belum mengenal kehidupan yang suci. Kamu belum mengenal arti pengabdian” (Drupadi, hal:71)
Sebagai hewan yang punya akal dan (kadang-kadang) bisa berfikir, akhir-akhir ini kita cenderung responsif, mudah bereaksi, dan gampang merespon isu dengan semangat menggebu; meski sebenarnya yang kita lakukan tidak lebih dari meniup-niup api dengan mulut sendiri. Banyak contoh polemik terjadi justru membesar akibat kecenderungan kita yang lebay dalam merespon hal-hal kecil.
Keberadaan patung yang seharusnya membuat kita berdecak kagum akan citra keberagaman masyarakat Tuban, misalnya, justru membuat kita marah-marah hanya karena mendengar dan membaca (judulnya saja) hasutan-hasutan dari oknum tertentu. Kita tahu, sedikit hasutan pedas jika dibumbui dengan garam konspirasi, tentu bakal menjadi sego kucing yang enak dicaplok.
Nah, monster kelaparan yang suka mencaplok-caplok itulah gambaran kita saat ini. Coba perhatikan, siklus keramaian tidak pernah berubah: isu, digoreng sedikit, dikasih bumbu keagamaan, dan di lempar ke publik. Bodohnya, banyak yang berebut mengeroyok bungkusan isu tersebut. Meski sebenarnya sudah kenyang, namun jika bungkusan isu itu dilempar, tak henti-hentinya kita menyalak, menggonggong dan berkeinginan mencaplok-caplok seperti masih kelaparan.
Masih terekam jelas di kepala kita tentang seorang tukang servis amplifier yang dikeroyok massa hingga tewas gara-gara “diduga” mencuri amplifier di Bekasi. Betapa sisi kemanusiaan dan kedekatan pada Tuhan yang digembar-gemborkan setiap hari, tak lebih dari formalitas sosial belaka. Dalam kasus tersebut, manusia lebih hewan daripada hewan peliharaan.
Dengan tingkah se-hewan itu, seharusnya Indonesia ini sudah “selesai” dengan masalah korupsi. Sebab, orang-orang yang diduga melakukan tindak korupsi, bisa langsung dikeler saja di dekat penjual bensin, dipukuli ramai-ramai lalu dibakar hidup-hidup. Namun, anehnya, meski sudah banyak tersangka ditetapkan sebagai koruptor, kita justru lebih memilih membunuh orang yang diduga (dan belum tentu kebenarannya) sebagai seorang pencuri.
Andai kita hewan normal, tentu bisa membedakan mana yang lebih besar antara amplifier dengan uang triliunan rupiah. Mana yang lebih merugikan bagi kepentingan khalayak ramai, mana yang lebih membahayakan, mana yang lebih besar dosanya. Namun, karena kita ini hewan yang punya sopan-santun, jadi sering salah nyaplok gara-gara tiap mau nyaplok harus pakai unggah-ungguh dulu. Kalau berpakaian rapi tidak dicaplok. Hanya mencaplok orang-orang lemah yang tak punya kekuatan.
Melihat gelagat mudah terbakar seperti itu, jangan-jangan, apa yang kita baca, pelajari, dan amalkan belum menyentuh titik keikhlasan hati. Puja-puji kita pada Tuhan, barangkali hanya keinginan kita untuk dipuji-puja manusia. Secara tidak langsung, kita telah lancang memanusiakan Tuhan dan menuhankan kepentingan kita sendiri. Hewan macam apa kita ini?
Puja-puji kita pada Tuhan, barangkali hanya keinginan kita untuk dipuji-puja manusia.
Konon, orang yang dekat pada Tuhan, memiliki rasa kemanusiaan yang tajam. Jangankan menyakiti dan membunuh ciptaannya, mengolok-olok saja mereka enggan. Sebab, mereka sungkan pada Tuhan. Anehnya, kita tidak hanya tidak sungkan karena sudah lancang mengolok-olok ciptaannya; lebih dari itu, kita justru berani menggonggog, menyalak, dan menyakiti secara terang-terangan. Jangan-jangan, ayat yang kita hafal dan bangga-banggakan itu tidak berdampak apa-apa selain puja-puji manusia saja.
Terceritalah seorang agamawan bernama Kausika. Sejak kecil, dia sudah bercita-cita menjadi seorang yang alim. Dia rajin sembahyang, bertapa dan membaca segala macam kitab-kitab. Kausika mengembara dari satu daerah ke daerah lainnya hanya untuk mencari guru, lalu mendapatkan banyak ilmu. Hidupnya tidak pernah lepas dari proses pencarian ilmu dan mendekatkan diri pada Tuhan.
“Ilmuku telah habis, o Kausika, apalagi yang kau inginkan dariku?” begitulah, setiap guru dan orang-orang alim yang dia temui, selalu berkata bahwa ilmunya telah habis karena tak mampu mengimbangi tingginya keilmuan Kausika.
Kausika tak pernah puas. Baginya, mencari ilmu dan beribadah adalah hal paling utama dalam hidup. Kemana pun, dia selalu mencari guru baru, membaca kitab-kitab baru, menghafal ayat-ayat baru hingga semua dia hafalkan di luar kepala. Dalam hidupnya, tidak ada hal menarik selain beribadah dan membaca kitab.
Namun, suatu hari, saat dia sedang membaca kitab di bawah pohon, tiba-tiba seekor burung mengenjan dan kotorannya jatuh tepat di kepala Kausika. Kausika yang merasa terganggu kehormatannya, langsung marah dan membunuh burung tersebut. Iya, Kausika yang berilmu tinggi, suka membaca kitab dan hafal ayat-ayat itu dengan mudah membunuh makhluk ciptaan Tuhan hanya karena merasa kehormatannya diganggu. Hemmm~
Sebagai agamawan alim yang suka membaca kitab dan hafal seluruh ayat-ayat, Kausika dihormati para tetangga. Kausika selalu dipercaya memimpin upacara peribadatan. Menyampaikan pesan-pesan manusia kepada Tuhan. Sebab, semua orang percaya bahwa Kausika sangat dekat pada Tuhan karena suka membaca kitab dan hafal ayat-ayat.
Saat Kausika melintasi depan rumah seseorang, dengan bersegera dan tergopoh-gopoh, orang-orang itu langsung menyambut, menyalami, dan memberi berbagai makanan kepada Kausika. Sebab, mereka sangat menghormati Kausika. Suatu saat, di depan rumah seorang warga, Kausika kesal karena keberadaannya diabaikan dan tidak diperhatikan. Sebagai seorang agamawan alim yang dihormati, itu perlakuan terburuk yang pernah dia rasakan.
“[…] sungguh tak patut kelakuanmu kepada seorang suci, yang telah menyampaikan doa kalian kepada penguasa alam semesta!” bentak Kausika pada warga tersebut.
Kausika, tokoh sentral dalam cerita berjudul Kausika di dalam buku kumpulan cerita: Drupadi karya Seno Gumira Ajidarma itu adalah gambaran kita hari-hari ini. Kita yang suka membaca kitab, hafal berbagai ayat, merasa sangat dekat pada Tuhan, dan sangat menikmati dihormati orang lain; justru tidak toleran, mudah mengkafir-kafirkan, mudah menyakiti dan sangat sering merasa benar sendiri. Hemmmh ~