“Kemarahan adalah musuh tersembunyi yang sulit dimengerti. Ketahuilah, Resi, hidupmu masih dangkal dan penuh mimpi. Kamu belum mengenal kehidupan yang suci. Kamu belum mengenal arti pengabdian” (Drupadi, hal:71)
Sebagai hewan yang punya akal dan (kadang-kadang) bisa berfikir, akhir-akhir ini kita cenderung responsif, mudah bereaksi, dan gampang merespon isu dengan semangat menggebu; meski sebenarnya yang kita lakukan tidak lebih dari meniup-niup api dengan mulut sendiri. Banyak contoh polemik terjadi justru membesar akibat kecenderungan kita yang lebay dalam merespon hal-hal kecil.
Keberadaan patung yang seharusnya membuat kita berdecak kagum akan citra keberagaman masyarakat Tuban, misalnya, justru membuat kita marah-marah hanya karena mendengar dan membaca (judulnya saja) hasutan-hasutan dari oknum tertentu. Kita tahu, sedikit hasutan pedas jika dibumbui dengan garam konspirasi, tentu bakal menjadi sego kucing yang enak dicaplok.
Nah, monster kelaparan yang suka mencaplok-caplok itulah gambaran kita saat ini. Coba perhatikan, siklus keramaian tidak pernah berubah: isu, digoreng sedikit, dikasih bumbu keagamaan, dan di lempar ke publik. Bodohnya, banyak yang berebut mengeroyok bungkusan isu tersebut. Meski sebenarnya sudah kenyang, namun jika bungkusan isu itu dilempar, tak henti-hentinya kita menyalak, menggonggong dan berkeinginan mencaplok-caplok seperti masih kelaparan.