Ketika matahari telah lewat di atas kepala, pukul 13. 55 WIB, Agung Rahmadi (43) terlihat menjalankan sepeda kecil. Di belakangnya terdapat gerobak berukuran 1 ×1/2 meter berisi barang rongsokan. Dengan langkah pelan, matanya tampak awas. Sesekali tangan kiri memegang tongkat sedang tangan satunya memungut gelas plastik bekas.
Bagi Agung, memiliki keterbatasaan fisik tak lantas menjadi halangan agar bisa hidup berdaya. Justru dia ingin mandiri. Tidak mau merepotkan orang lain. Karena itulah, setiap hari laki-laki itu tekun dan sabar mencari barang bekas untuk dijual.
“Ini yang kedua kalinya, gerobak pertama sudah penuh dan telah saya setorkan,” ucapnya saat ditemui di bawah pohon Juar, di pinggir jalan raya Cepu-Bojonegoro, desa Sumengko pada Minggu, (22/5/2022).
Berangkat sekira pukul 08.00 pagi. Setelah mandi, sarapan dan minum kopi bikinan ibunya, Agung rutin mencari barang bekas di sekitaran pinggiran jalan raya Desa Sumengko sampai ke pasar Wedus Kalitidu. Pernah pula hingga sampai ke desa Leran. Jika dihitung jalan yang dilewatinya berjarak kurang lebih 3-4 km.
“Pernah dulu, kalau saya bekerja mati-matian sehari bisa setor 9 kali. Itu saya mulai dari habis Subuh sampai menjelang Subuh lagi. Tapi karena sepeda saya sekarang rusak seperti itu, kini cuma bisa balik 2 kali saja,” ungkapnya sambil jari telunjuknya menunjuk ke roda belakang gerobak. Rantai sepeda miliknya tampak terlepas menggantung.
Seorang dalang wayang kulit
Siapa sangka, warga asal Desa Sumengko Dusun Clangap RT 05 RW 03 Kecamatan Kalitidu ini, dulunya adalah seorang dalang wayang kulit. Bahkan laki-laki yang akrab di sapa Agung itu, pernah mengikuti Lomba Dalang Cilik se- Provinsi Jawa Timur sekira tahun 1995 di Sidoresmo, Surabaya. Meski tak menyabet juara, namun naskahnya berhasil terpilih menjadi naskah terbaik no 3 se-Jatim.
Agung bercerita, dia belajar menjadi dalang sejak kelas 4 SD dari bapaknya yang juga seorang dalang wayang kulit. “Orang-orang dulu memanggil saya Pak Dalang Tengkling. Karena kaki saya yang cacat ini,” kenangnya.
Kaki sebelah kiri Agung memang cacat. Tapi bukan sejak lahir. Melainkan karena waktu kecil dia pernah jatuh sakit. Sakit yang pada akhirnya membuat dia memakai tongkat hingga sekarang. “Waktu itu, umur 5 tahun. Saya sakit tipes, kemudian dibawa ke dokter oleh ibu saya dan diberi imunisasi polio. Mungkin sudah takdirnya begini. Saya tak menyalahkan siapa-siapa,” tuturnya. Matanya memandang jauh ke depan.
Dia kini memilih menjadi pemulung. Karena job manggung menjadi dalang sepi. “Meskipun pekerjaan saya cuma cari rongsokan, yang penting bisa dapat uang. Tidak mencuri dan tak menyusahkan orang pula.”
Setiap hari paling tidak Agung mampu meyetorkan 10 kg barang rongsokannya. Rata-rata uang yang didapat bisa sampai Rp 600 ribu per bulan.
“Berapapun rezeki yang saya dapat, disyukuri saja. Hidup juga begitu wong tinggal ngelakoni mawon. Tutupnya dengan senyum sumringah.