Bahagia adalah kata yang tidak membutuhkan objek, sama seperti cinta, susah, sedih dan sebagainya. Hal itu berbeda jika kita beri awalan ‘me’ dan akhiran ‘kan’, setelah berimbuhan kata-kata di atas akan mempunyai objek, bahagia menjadi membahagiakan, susah-menyusahkan dan seterusnya. Di dalam bahasa Arab, istilah seperti ini disebut fiil mutaaddi (membutuhkan objek) dan fiil lazim (yang tidak membutuhkan objek).
Di akhir tahun, banyak orang yang melakukan rekreasi, piknik, tamasya atau apalah namanya dengan dalih membahagiakan istri, anak, atau keluarga, tapi benarkah manusia bisa membahagiakan manusia?
Jika kita mau jujur, sebenarnya kata-kata yang disebut di atas adalah bukan produk manusia, murni made by God (anugerah dari Tuhan). Manusia memang mampu berusaha untuk mendapatkan rasa-rasa itu namun manusia tidak bisa menjamin keberhasilannya. Bahagia misalnya, kita mampu berusaha untuk membahagiakan manusia, tapi mampukah kita memastikan dia bahagia akan apa yang telah kita lakukan padanya?!
Jika anak/istri kita berbahagia dengan cara kita mengajak piknik atau tamasya, belum tentu orang lain dengan ajakan yang sama bisa membahagiakan anak/istrinya. Artinya mengajak piknik/tamasya tidak bisa kita sebut membahagiakan anak istri, melainkan hanya sebagai upaya untuk membahagiakan, keberhasilan membahagiakan masih bergantung dengan unsur lain, tempat piknik, kondisi keuangan ketika piknik, cuaca lokasi piknik dan lain sebagainya.
Ungkapan lain yang sering kita dengar adalah selamat berbahagia yang diucapkan ketika mendoakan kedua mempelai yang baru saja melangsungkan pernikahan. Benarkah menikah itu menjadikan suami/istri berbahagia ? Bukankah dengan pernikahan justru mengurangi atau membagi kebahagiaan? Awalahnya selama jomblo, seorang pemuda bebas ngopi di manapun dan pulang kapanpun, dan itu membuatnya bahagia. Setelah menikah dia malah tidak bebas ngopinya bahkan langkahnya juga terbatasi oleh permintaan istrinya untuk ngopi di rumah. Ini berbahagia atau membagi kebahagiaan?!
Banyak juga dari teman-teman yang curhat, saat mengajak anak istri/keluarganya piknik di akhir tahun dengan dalih membahagiakan mereka tapi justru dia sendiri tertekan, tidak bebas, tidak bisa bahagia karena bahagia menurut dia dan keluarganya tidak sama.
Walhasil, apakah membahagiakan itu mensaratkan kita untuk berbahagia terlebih dahulu? Ataukah justru membahagiakan itu harus mengorbakan kebahagiaan kita untuk berupaya mewujudkan kebahagiaan untuk orang lain? Terkadang muncul dalam benak, adakah perintah dari Tuhan atau rasul untuk membahagiakan seseorang, ibu, anak, istri atau keluarga?
Selamat berbahagia dan membahagiakan di awal tahun.