BUKU  

Klipingan: Cinta & Kebahagiaan Itu Sesuatu yang Terus Tumbuh

Ilustrasi: twitter.com/sararim100

Mari sejenak melupakan petualangan di bawah laut bersama Jules Verne dalam karyanya “Berkeliling Dunia di Bawah Laut” atau kita tinggalkan dunia intrik penuh kekejaman dalam novel “Godfather” karangan Mario Puzo. Tapi mari kita masuk pada dunia cinta penuh kehangatan yang diramu oleh Leo Tolstoy dalam novel “Rumah Tangga yang Bahagia”. Sebuah novel yang baru saja selesai saya baca.

Soal kebahagiaan, Anda pasti memiliki makna sendiri. Demikian pula dengan saya yang tentu memiliki makna kebahagiaan sendiri. Saya mempercayai sesuatu itu tak pernah tunggal. Pun juga dengan makna kebahagiaan. Semua orang memiliki makna bahagianya sendiri-sendiri. Ada yang sama, ada pula yang berbeda, juga tentu ada yang mirip. Ketika pada hari ulang tahun pernikahan kami ke-9, saya memberi hadiah kepada istri sebuah buku, yang buku itu saya tulis sendiri, berisi tentang perjalanan hidup kami, dan beberapa mimpi-mimpi kami. Hadiah itu, mungkin bagi anda tidak menarik sama sekali. Namun, bagi saya dan istri saya, itu suatu yang sangat membahagiakan.

Nah, membaca novel “Rumah Tangga yang Bahagia” ini, memang hati seakan ikut larut oleh kebahagiaan tokoh-tokohnya. Cara penceritaan yang lambat dan penggambaran yang begitu detail, membuat suasana Desa Pokrovskoye, sebuah perkampungan di Rusia tahun 1800 an terasa hadir. Perkebunan yang penuh dengan buah ceri dan limau, rumah kayu kuno dua lantai, ruangan di mana ada buku dan piano, serta angin senja yang hangat masuk melalui celah-celah jendela, membawa imajinasi saya pada sebuah dunia yang tenang nan indah.

Baca Juga:  Cukup Saja Belum Cukup dan Cara Bahagia Sederhana

Sebenarnya tak ada cerita yang wah banget dalam novel ini, karena kisahnya begitu sederhana. Tapi kesederhanaan itulah keindahannya. Novel ini berkisah tentang Marya Alexandrovna (yang selanjutnya dipanggil Masha), seorang gadis usia belasan tahun yang ditinggal mati orangtuanya. Sang ayah memiliki seorang teman bernama Sergei Michailich. Sergei membantu semua urusan keluarga Masha sepeninggal ayahnya.

Tapi seiring berjalannya waktu keduanya saling mencintai dan akhirnya memutuskan berumah tangga meski usia terpaut jauh. Sebagai sang pencerita adalah Masha sendiri. Hampir separoh lebih novel diisi oleh hubungan mereka berdua yang tanpa ada masalah serius. Masalah baru muncul ketika Masha mulai mengenal dunia “publik” yakni menghadiri pesta dansa dan ikut dalam acara-acara pesta para bangsawan.

Masha melupakan suaminya yang usianya selisih sepuluh tahun lebih. Ia mulai menikmati dunia orang-orang yang selalu mengagumi kecantikannya. Hingga suatu ketika ia menemukan cinta yang lain dengan seorang bangsawan. Sergei, sang suami, waktu itu tidak ada di sampingnya karena berada di Desa Pokrovskoye bersama dua anaknya, sedang Masha berada di St. Petersburg menikmati dunia barunya.

Baca Juga:  Siklus Roman Pram

Masha memang berada di dunia orang-orang yang mengaguminya. Ia menjalin hubungan dengan seorang pemuda tampan. Tapi nyatanya, ada yang beda. Ia tak pernah bisa merasakan kebahagiaan. Dunia itu terasa juah dari rasa cinta indah sebagaimana yang pernah bergelora saat awal-awal bersama Sergei. Ia senang, tapi gundah. Ia tertawa tapi tak bahagia.

Hingga akhirnya ia memutuskan kembali kepada suaminya dan memulai lagi memainkan piano dengan lagu-lagu Mozart kesayangannya. Setelah pencariannya yang panjang, ia sadar bahwa cinta tak mungkin berhenti pada satu titik. Melainkan selalu tumbuh. Ia tak mungkin bisa mendapatkan cinta persis seperti saat Sergei datang pertama kali di kehidupannya. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh, seiring waktu berjalan. Cintanya kepada Sergei kini tentu tidak mungkin sama ketika belum ada buah hati di antara mereka. Dan ketika berharap cinta berhenti seperti saat pertama jatuh cinta adalah sebuah kesia-siaan, karena cinta adalah sesuatu yang tumbuh menjadi lebih besar, lebih baik, lebih indah, lebih membahagiakan terhadap istri/suaminya dengan cara dan bentuk yang lain.

Dalam penyesalannya itulah Masha berkata sambil menangis kepada Sergei, suaminya yang baik “Mengapa kau beri aku kebebasan yang aku sendiri tak tahu bagaimana harus mempergunakannya? Mengapa kau berhenti mengajariku? Sekiranya kau membimbing aku, tak kan pernah ada yang terjadi, tak ada”. (hal : 125). Masha terus meluapkan penyesalannya. Tapi Sergei yang menyayanginya menanggapi dengan penuh kasih sayang. Ia mengatakan “setiap waktu punya bentuk cintanya sendiri-sendiri”. (hal: 127). Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan bentuk cinta yang mereka temukan kembali, tentu dalam bentuknya yang baru.

Baca Juga:  Bahagia dalam Kesederhanaan

Ya, mungkin itulah yang dimaksud dengan “Rumah Tangga yang Bahagia” seperti yang ditulis Leo Tolstoy. Cerita yang amat sederhana bukan?

Memang kisahnya amat sederhana, tapi pada kesederhanaan cerita itulah sebenarnya kunci menikmati novel yang diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris berjudul “A Happy Married Life” ini. Lika-liku psikologis para tokohnya tergambar dengan apiknya. Ujungnya aya sangat kesulitan untuk memulai membuat catatan pendek (capen) usai membaca buku ini. Jadi mungkin akan lebih menyenangkan memang jika anda membacanya sendiri langsung. Anda bisa merasakan Masha dan Sergei jatuh cinta, meski keduanya tak pernah mengatakan cinta.

Selamat membaca!. Salam.

Bojonegoro, 12 Februari 2012

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *