Survei Nielsen (Advertising Information Services Nielsen) menunjukkan belanja iklan di media Indonesia tahun 2015 meningkat 7% dibanding tahun sebelumnya. Dari 15 stasiun TV, 101 surat kabar dan 133 majalah dan tabloid di Indonesia, diperoleh data belanja iklan media (cetak dan televisi) sebesar Rp118 triliun.
Pendahuluan: Media Menjadi Industri
Fakta tersebut menunjukkan bahwa media massa menjadi industri yang menjanjikan keuntungan besar bagi pemiliknya. Kekuatan media untuk memproduksi informasi menjadi daya tarik bagi pemilik modal untuk menginverstasikan uangnya di bidang media. Tak heran jika jumlah media di Indonesia terus bertambah. Meski jumlah media yang gulung tikar juga tidak sedikit.
Dari sumber yang sama, sumber Nielsen memperlihatkan bahwa belanja iklan yang besar oleh korporasi maupun pemerintah dalam beberapa tahun terakhir masih cukup tinggi. Tahun 2015, iklan yang mengalir dari pemerintah dan organisasi politik ke stasiun televisi mencapai Rp7,4 triliun. Sedang iklan dari produk jumlahnya sangat besar, seperti iklan mie instan merek Indomie dan mie Sedap total iklannya mencapai Rp971 miliar dan Rp733 miliar.
Belanja iklan besar, oleh perusahaan maupun oleh pemerintah, pada satu sisi berdampak positif pada kesehatan keuangan perusahaan media. Dengan pendapatan besar, maka perusahaan media mampu mengelola organisasi media dengan baik. Namun, pada sisi lain, media menjadi cenderung hanya mengejar pasar semata dan mengorbankan kepentingan publik. Posisi media menjadi tak ada beda dengan sebuah pabrik besar yang memproduksi barang-barang konsumsi. Bedanya hanyalah jenis produk yang dihasilkan. Media memproduksi informasi.
Dalam sebuah buku berjudul Wajah Retak Media (2009) yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, terlihat jelas bagaimana media-media di Indonesia memanfaatkan jurnalisme untuk meraup keuntungan materi. Buku tersebut berisi liputan-liputan tentang kinerja media. Salah satu tulisan berjudul Habis “Gebrak” Terbitlah Iklan menunjukkan bagaimana redaksi “bermain” dengan korporasi.
Kasus berawal dari pemberitaan Sumut Pos tentang dugaan penyelewengan dana di Bank Sumut tahun 2008. Awalnya Sumut menurunkan berita-berita tentang dugaan mark up keuangan di bank tersebut, namun kemudian petinggi bank meminta bertemu dengan redaksi Sumut Pos. Beberapa pertemuan itu kemudian menghasilkan perubahan arah kebijakan redaksi. Sumut Pos mendapat iklan Rp24 juta dan berita tentang dugaan penyelewengan dana itu hilang dari media tersebut. Meski pihak Sumut Pos membantah jika hilangnya isu itu tidak ada hubungannya dengan pertemuan tersebut. (Efendy, 2009).
Jika melihat ke belakang tentang sejarah pers Indonesia, terutama media cetak, memang tidak didasari oleh kepentingan ekonomi. Awal-awal pers Indonesia, yakni sebelum kemerdekaan pers menempatkan diri sebagai kelompok yang anti kolonialisme. Media-media yang terbit seperti Medan Prijaji (1916) tak hanya anti kolonial, melainkan juga memberikan bantuan hukum kepada warga pribumi. Tak heran jika Medan Prijaji dengan tokonya bernama Tirto Adhie Soerjo (TAS) menjadi media pertama di Indonesia yang dikelola oleh orang-orang pribumi.
Ketika Indonesia merdeka, media berada pada tarikan kepentingan politik. Menurut laporan Tribuana Said, 1988 (dalam Abar, 1995) ada 28 surat kabar yang dilarang terbit oleh Presiden Soekarno karena terlibat atau mendukung kegiatan politik, yakni: Semesta, Berita Indonesia, Merdeka, Berita Indonesia Sport dan Film, Indonesia Observer, Warta Berita, Revolusioner, Garuda, Karyawan, Gelora Indonesia, Suluh Minggu, dan Mingguan Film (Jakarta), Indonesia Baru, Cerdas baru, Mimbar Umum, Waspada, Duta Minggu, Suluh Massa, Mimbar Teruna, Mingguan Film, Siaran Minggu , Genta Revolusi, Resopin, Pembangunan, Waspada Minggu, dan Syarahan Minggu (Medan), Aman Makmur (Padang), Pos Minggu (Semarang). Dan setelah peristiwa G30S/PKI, seluruh pers komunis dilarang terbit secara permanen oleh penguasa militer yang berhasil mengambilalih kekuasaan negara dari kepemimpinan Soekarno. (Abar, 1995)
Tumbangnya rezim Sukarno tak membuat media mendapat kebebasan, tetapi malah sebaliknya berada di bawah tekanan. Orde baru di bawah rezim Soeharto mengontrol tiap pemberitaan media. Oleh karena itu, pembredelan media terus berlanjut. Kasus kekerasan terhadap wartawan meningkat tajam. Lalu, tumbangnya orde baru tahun 1998 membawa angin segar bagi dunia pers. Pada tahun 1999 lahirlah UU nomor 40 tentang Pers. Untuk pertama kalinya, kekebasan pers dilindungi oleh undang-undang. Namun, seiring kebebasan yang diperoleh, pers dihadapkan pada kepentingan ekonomi. Modal pada akhirnya mempengaruhi arah kebijakan media dalam ranah jurnalistik.
Komodikasi Media: Membunuh Ruang Publik
Pasal 6 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebut peranan pers antara lain untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, ritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan, bisnis, kepentingan umum. Dan yang terakhir adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam arti lain pers menjadi ruang publik yang bebas. Ruang publik (public sphere) adalah konsep yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf penerus Madzhab Frankfurt. Konsep public sphere pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Ia mengandaikan perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas.
Dalam public sphere ada pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum. Orang-orang yang terlibat di ruang publik adalah orang-orang yang mengesampingkan kepentingan bisnis atau lainnya. Pada tujuan akhirnya, ruang publik menjadikan manusia mampu merefleksikan diri secara kritis, baik secara politis-ekonomis maupun budaya.
Menurut Habermas sebagaimana dikutip Oliver Boyd-Barret (1995), tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi akan terwujud ketika setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat selalu terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi. (Barret, 1995).
Lalu, bagaimana konsep ruang publik dalam konteks pers di Indonesia? Sebagaimana sudah disinggung di atas tentang sejarah pers di Indonesia bahwa pers Indonesia bergerak dari pers perjuangan, tersandera di pusaran politik, terpasung di era orde baru, dan mendapat kebebasannya masa era reformasi. Kebebasan tersebut bukan tanpa konsekuensi, karena pers kemudian terjebak pada era industri yang hanya mengejar keuntungan belaka. Itulah yang dinamakan dengan komodifikasi media.
Di tubuh media telah terjadi komodifikasi. Vincen Mosco dalam bukunya The Political Economy Of Communication mendefinisikan komodifikasi adalah proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. (Mosco, 2009). Komodifikasi adalah salah satu cara untuk menunjukkan bagaimana hubungan media dengan kepentingan ekonomi dan politik. Media sudah tidak lagi dipandang sebagai ruang publik yang bebas, yang memiliki nilai guna, melainkan sudah turun derajatnya menjadi nilai tukar saja.
Media memiliki peran dalam menyebarkan informasi ke khalayak. Peran itu pun sangat membuka peluang untuk dimasuki kepentingan ekonomi. Pada awalnya media memiliki tujuan menyebar informasi yang dibutuhkan publik, tapi lama kelamaan media hanya menyebarkan informasi yang memiliki nilai ekonomi.
Baca Juga: Jurnalisme Media Massa
Menurut Mosco ada tiga bentuk komodifikasi yaitu :
- Komodifikasi konten, yakni ketika telah terjadi transformasi pesan dari sekadar data menjadi produk yang dapat dipasarkan. Dalam konteks media, menjadikan berita sebagai “alat” untuk mencari keuntungan sudah jamak dilakukan. Penelitian yang dilakukan Anett Keller terhadap empat media cetak nasional (Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika) tahun 2009 sedikit memberi gambaran tentang hal itu.Dalam penelitian tersebut menunjukkan betapa redaksi yang melakukan kerja-kerja jurnalistik belum mempunyai otonomi yang kuat. Redaksi selalu berada di kotak yang sering ditarik-tarik oleh kepentingan ekonomi (iklan). Hasil penelitian itu dibukukan dengan judul Tantangan dari Dalam dan diterbitkan oleh Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office tahun 2009. (Keller, 2009).
Ketika kebijakan redaksi tidak bisa otonom, maka kepentingan ekonomi dan politik akan mudah masuk. Salah satu hasil penelitiannya adalah ketika Surya Paloh sebagai pendiri sekaligus penanggungjawab Media Indonesia sering mencampuri urusan keredaksian. Padahal, dia tidak memiliki latarbelakang jurnalistik, tapi berlatar belakang pengusaha. (Keller, 2009: 68).
- Komodifikasi audiens, yakni audiens dijadikan komoditas yang “dijual” kepada para pengiklan. Audiens dijadikan komoditi para pemilik media untuk mendapatkan pemasukan. Televisi menggunakan rating untuk untuk menggaet pengiklan. Caranya adalah dengan membuat program yang dapat mencapai angka tertinggi daripada program di stasiunn lain.Media selalu membangun audiens dan terus memperluasnya. Ketika audiens makin luas, media akan berusaha mempertahankan. Caranya adalah media menyebarkan informasi atau membuat program-program yang “laku”. Sehingga ada kecenderungan, media memiliki isu atau membuat program yang sama atau hampir mirip antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, media akan mencari sensasi-sensasi agar medianya dilirik oleh audiens. Perusahaan media menggunakan program mereka untuk membangun penonton; pengiklan membayar perusahaan-perusahaan media untuk akses ke pemirsa ini. (Mosco, 2009: 137)
- Komodifikasi pekerja, dimana keahlian dan jam kerja para pekerja dijadikan komoditas dan dihargai dengan gaji. Proses komodifikasi erat kaitannya dengan produk, sedangkan proses produksi erat dengan fungsi atau guna pekerjanya. Pekerja telah dieksploitasi untuk menghasilkan produk untuk disebarkan ke audiens.Pekerja media seharusnya memiliki karakter berbeda dengan dengan pekerja di pabrik sepatu. Karena produk media berupa informasi/pesan media disebarkan ke publik dan berdampak besar terhadap cara pandang masyarakat. Seorang jurnalis tidak bisa hanya mencari keuntungan pribadi berupa gaji, karena ia harus memenuhi hak publik sebagaimana diatur dalam UU No 40 tahun 1999.
Tiga komodifikasi ala Mosco memang sangat tepat menggambarkan bagaimana kondisi pers Indonesia. Ketika kebebasan pers itu dibuka setelah orde baru tumbang, tantangan pers tak lagi dari luar, melainkan dari dalam. Jurnalisme tersandera oleh komodifikasi media tersebut. Kepentingan ekonomi menjadi sesuatu yang utama dan mengalahkan kepentingan publik di keredaksian.
Apalagi, saat ini teknologi informasi membuat jumlah media online terus berkembang pesat. Banyak media yang hadir dalam ranah bisnis semata yang dikenal dengan start up atau perusahaan rintisan. Tujuan awal bukanlah untuk menyebarkan informasi dengan mendasarkan diri pada etika jurnalistik, melainkan mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Inilah tantangan media saat terjebak pada komodifikasi media.
Kesimpulan: Sebuah Jalan Alternatif
Komersialisasi media mempunyai dampak besar tidak hanya bagi media itu sendiri, melainkan juga pada masyarakat (publik). Wisnu Perasetya Utama (2016) dalam buku berjudul Suara Pers, Suara Siapa menyebut ada empat dampak komersialisasi media, yakni (1) informasi yang disebar ke publik menjadi monolitik, (2) terabaikannya agenda publik, (3) peran warga dipandang hanya sebagai konsumen, (4) merosotnya mutu jurnalisme. (Utomo, 2016)
Dari empat hal tersebut, yang paling penting adalah merosotnya mutu jurnalisme. Ketika mutu jurnalisme tidak diperhatikan, maka akan berdampak pada tiga hal lainnya, yakni informasi yang monolitik, agenda publik diabaikan, dan melihat pembaca hanya sebagai konsumen saja. Karena jurnalisme memiliki tugas pelayanan terhadap publik, menjunjung tinggi kebenaran, dan memberi informasi yang tidak menyesatkan.
Untuk membendung derasnya arus kepentingan ekonomi akibat komodifikasi media, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, secara internal, pers harus memperkuat redaksi secara kelembagaan. Karena redaksi yang kuat akan melahirkan karya-karya jurnalistik yang terpisah dari kepentingan pemilik modal. Kecenderungan media saat ini adalah memangkas anggaran-anggaran untuk peliputan mendalam (investigative reporting). Sehingga, jurnalisme mendalam jarang dipilih oleh media-media Indonesia. Gaya jurnalisme yang diminati adalah jurnalisme bombastis dengan biaya rendah.
Kedua, penguatan Lembaga Pemantau Media (LPM). Kebearaan LPM di Indonesia masih kurang bergaung. Beberapa LPM vakum setelah kesulitan dana. Salah satu lembaga yang masih aktif adalah Remotivi. Lembaga ini dengan konsisten melakukan kajian-kajian media secara periodik.
Pemerintah sebenarnya juga memiliki lembaga semacam LPM, meski memiliki kewenangan berbeda dengan LPM “swasta”. Salah satunya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki organisasi hingga tingkat daerah yang bernama KPID. Tugas KPI diantaranya menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan HAM, membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri. Namun, kewenangan KPI tersebut banyak yang menilai belum maksimal dilaksanakan.
Ketiga, membangun media kooperasi. Yakni media yang didanai oleh pembaca yang jumlahnya cukup banyak. Pengelola media adalah atas nama pembaca. Dave Boyle (2013) dalam buku Media Kooperasi & Kooperasi Media menjelaskan bagaimana di sejumlah negara, media kooperasi sudah berkembang sejak tahun 1930 an. Media kooperasi menjadi salah satu solusi komersialisasi media yang sulit dikendalikan. Dengan media kooperasi, pembaca bisa terus mengawal informasi-informasi yang disebarkan oleh media yang dikelolanya.
Media berita sangat ingin memproduksi berita dengan dukungan finansial yang lebih kuat, namun pada sisi lain publik menginginkan media yang dapat dipercaya. Dan media kooperasi menjawabnya. (Boyle, 2003). Di Indonesia sendiri memang media kooperasi belum populer, namun tidak menutup kemungkinan dalam waktu yang akan datang akan
Di Jerman ada media kooperasi bernama Taz. Anggotanya berjumlah 13.000 dan dikelola secara profesional. Awalnya media ini hanya digerakkan oleh 26 orang, namun akhirnya terus berkembang dan bisa membuka biro di 14 kota di Jerman.
Daftar Pustaka:
Abar, A. Z. (1995). Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Yogyakarta: LKiS.
Barret, O. B. (1995). Conceptualizing The Public Sphere. Dalam O. B. Baret, Approaches to Media (hal. 230-235). Arnold.
Boyle, D. (2003). Media Kooperasi & Kooperasi Media. Yogyakarta: Insist Press.
Efendy, R. (2009). Wajah Retak Media. Dalam A. d. Kuswardoyo. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.
Keller, A. (2009). Tantangan dari Dalam. Jakarta: FES Indonesia.
Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication . London: Sage Publications.
Utomo, W. P. (2016). Suara Pers, Suara Siapa. Yogyakarta: Pindai.
Sumber Lain:
http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2016/Nielsen-Belanja-Iklan-Tumbuh-Positif-di-Tahun-2015.html
______________________
*) Tulisan ini merupakan catatan kuliah penulis di S-2 Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Keren catatannya, serasa merefresh diri. Sukses gangkecil.com
Terimakasih mas. Salam sukses dari Gang Kecil