Pembacaan pertamaku tuntas sebelum warna jingga paripurna. Saat itu aku sedang bersama beberapa kawan magang di Indie Book Corner (IBC). Buku itu tuntas mengiringi tandasnya minuman dingin yang dipesan seorang kawan. Selepasnya, aku memutuskan musti membaca (lagi) Konferensi Musim Sejagat (Kampungnesia, 2018) saat tak sedang bersama orang lain. Demi ikhtiar khidmat.
Buku dengan rupa muka yang menyenangkan itu konon sudah dipersiapkan sekitar satu tahun lalu dan diluncurkan bertepatan dengan kegiatan Srawung Kampung-Kota #2 di Universitas Sebelas Maret (UNS) pada pertengahan Oktober lalu. Buku terbit atas niat bersama Kampungnesia dan Bilik Literasi Cilik. Rupa muka dan cerita-cerita di dalamnya menyatakan diri bahwa buku terbit dengan ikhtiar sebagai bacaan anak. Sebagai buku yang laik dibaca anak-anak.
Pradugaku itu mendapat penguatan di—sejenis—pengantar cerita. “Aku dan kamu pasti sangat senang mendengar cerita sungai. Kita mungkin mendapat cerita itu dari ibu, ayah, kakek, atau paman…” Penulis menyebut pembaca sebagai “kamu” yang mungkin mendapat cerita dari ibu, ayah, kakek, atau paman. “Kamu” yang dimaksud penulis dalam pengantar itu jelas anak-anak atau setidaknya seorang anak.
(Sejenis) Kampanye
Cerita pertama berjudul Kota Pepe dan pengantar Main di Sungai tidak bisa tidak mengingatkanku pada keberadaan Kali Pepe di Solo. Kali yang sempat menjadi konsen penelitian Kampungnesia. Cerita Kota Pepe terasa betul membawa ambisi pembelajaran bertaut pendidikan dan lebih banyak menyoal lingkungan.
Cerita dibuka dengan penggambaran Kota Pepe 50 tahun silam di mana ikan-ikan hidup dengan tenteram. Kota Pepe yang meriah. Anak-anak hanya bersedih mengalami masa di sekolah yang menjemukan. Meski begitu mereka hanya bisa menurut sebab protes tak dianggap benar. “Itu sudah ketetapan kurikulum Cara Belajar Ikan Aktif di Negara Kesatuan republic Ikan yang tak bisa diganggu-gugat!” kata Kepala Sekolah (hlm. 10). Kepala Sekolah itu galak dan menjelma penguasa yang anti menerima protes. Sekolah musti teratur, tak peduli keteraturan itu justru membosankan dan menyedihkan bagi anak-anak.
Pembaca anak-anak pemula barangkali cukup kesusahan menemu kalimat yang tak langsung merujuk arti sebenarnya. Kalimat itu “Aturan ada untuk dilanggar! Eh, aturan ada tidak untuk dilanggar!” (hlm. 10). Itu kalimat yang selalu diucapkan Pak Kulai si Kepala Sekolah kepada anak-anak didiknya. Pak Kulai memang tidak disebutkan jelas identitasnya, di manakah ia menjadi kepala sekolah. Apakah di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, atau justru di sekolah menengah atas. Aku membayangkan anak-anak kelas dua atau tiga di tingkat sekolah dasar membaca buku ini, dus menyangsikan apakah permainan kalimat seperti di atas tertangkap oleh pemahaman mereka.
Lima puluh tahun selepas masa tenteram itu, keadaan Kota Pepe terus memburuk. Di mana-mana ada gunung sampah. Ikan-ikan meninggalkan Kota Pepe bermaksud hijrah ke tempat yang lebih layak untuk hidup. “HARI KIAMAT KOTA-KOTA SUNGAI.” Demikian tertulis di halaman depan lembar koran yang sudah koyak terinjak kaki ikan cetul kecil, Cipcip (hlm. 15).
Memasuki cerita kedua, Hantu Sampah, aku menduga cerita-cerita dalam Konferensi Musim Sejagat memang mengusung kampanye ihwal lingkungan terutama soal sungai! Gagasan mengkampanyekan lingkungan tentu milik orang dewasa, menjadi kepentingan orang dewasa. Dan bahwasanya gagasan itu mewujud dalam cerita anak terduga kuat sebagai bentuk kampanye usia dini. Semoga anak-anak tidak terganggu dengan misi berkepentingan yang sungguh-sungguh mulia itu dan tetap menikmati cerita laiknya membaca cerita anak sungguhan. Cerita anak yang tak terlalu berkepentingan dengan urusan orang dewasa. Atau sebetulnya pembaca–yang bukan lagi anak-anak—sepertiku saja yang keterlaluan membuat dugaan berujung keliru?
Hantu Sampah dibuka dengan keluhan geng bola kampung sebab bola sepak jatuh ke kali. Penulis perlu memberi penjelasan cat tembok yang memisahkan kali dengan jalan setapak lingkungan itu tampak kontras dengan pemandangan di baliknya. “Cat tembok tampak baru, dari jauh menyembuyikan panorama kali yang kumuh”. Di cerita kedua, pembaca muram lagi. Hantu Sampah memiliki daya kejut di akhir ceritanya. Sosok hantu seperti Casper muncul di hadapan Adin dengan aneka sampah di badannya. “Pampers, kulit telur, kresek hitam, plastik putih, tali rafia, botol fresti,…” (hlm. 21). Hantu sampah yang nahas!
Seperti tokoh gubahan Na’imatur dalam Kota Pepe, Setyaningsih dalam Hantu Sampah juga menghadirkan orang-orang dewasa sebagai ancaman bagi dunia riang anak-anak. Kepala Sekolah, kakak, ibu hadir sebagai sosok-sosok yang suka mengomel dan ditakuti anak-anak. Orang-orang dewasa itu ancaman bagi dunia main anak-anak.
Dalam cerita yang didaulat menjadi judul buku, Konferensi Musim Sejagat kampanye menyoal lingkungan makin kentara. Khatam membaca buku ini siapa tahu anak-anak berinisiatif membentuk komunitas anak peduli lingkungan. Huwalaaah. Kita mendapati Dewa Musim Hujan, Dewa Sungai, Dewa Musim Kemarau mengeluhkan kegiatan manusia mengeluhkan kedatangan pada dewa itu. “Kemarau lebih lama sedikit saja, mereka sudah membuat berita kekeringan di mana-mana. Padahal, siapa hobi menebangi pohon-pohon itu?” (hlm. 25). Pertanyaan Dewa Musim Kemarau itu sontak membuatku teriak lantang (dalam hati) “manusiaaa…”
Tokoh bocah bernama Vionisa dalam Vionisa dan Kedip hadir dengan kesadaran bahwa selama ini ikan cupang peliharaannya tersiksa akibat hidup terkungkung di akurium. Setelah berdiplomasi dengan Kedip—nama ikan cupang, Vionisa berjanji melepaskan Kedip ke habitat aslinya. Tokoh Vionisa tak lupa membawa cerita pilu berkelindan sungai. “…Airnya kotor dan sampahnya banyak banget. Nanti kamu malah tersesat di kresek atau kaleng rombeng. Apalagi, di sungai lagi ada pengerukan lumpur…” (hlm. 33).
Belum lagi kisah pilu Idan yang tumbuh menjadi anak berjarak dengan sungai dalam Idan Takut Air. Pak Agus guru keseniannya itu meminta anak-anak didiknya untuk menggambar sungai dan Idan ditunjuk untuk menceritakan gambarnya di muka kelas. “Ini sungai yang meluap satu tahun lalu… Ini rumahku, dulu, pas di pinggir sungai. Banjir datang tengah malam. Bapak mbangunin aku dan ibu… Ibu, Bapak, aku lari… Terus Bapak… terpeleset… Sungai makan Bapak…” (hlm. 42). Keadaan – keadaan sungai mutakhir memilukan sebab sikap tak acuh dan rakus manusia.
Dalam cerita pungkasan Pohon Detektif, sungai mutakhir juga menjelma ancaman yang tak lagi bersahabat bagi anak-anak juga orang-orang dewasa. Sungai biasa meluap saat hujan mengguyur. Di antara sekian cerita, Pohon Detektif kiranya yang paling menarik bagiku. Mengisahkan anak-anak berlagak laiknya detektif betulan.
Saat itu hujan turun, Doni tidak ada di rumah, dan ibu khawatir. Doni ternyata ada di bantaran sungai tak jauh dari PeDe—Pohon Detektif. “Eh, Gas. Aku lagi ngamatin nih! Kalau hujan begini, biasanya sungai meluap. Kita harus memberi tahu Pak RT biar warga waspada.” Di cerita inilah dunia anak-anak yang riang itu kian terasa. Anak-anak tampak berdaulat atas dunianya sendiri. Tidak tampak kuasa orang-orang dewasa yang membikin gentar Geng Detektif.
Sedikit Sahaja
Sebagian kecil pembaca yang terbiasa mengamati keseluruhan dari sebuah buku yang dibaca kiranya terganggu dengan beberapa hal. Dalam Konferensi Musim Sejagat, gangguan itu misalnya menjumpa kekeliruan ketik, kurang spasi, penyebutan nama yang tidak konsisten, kualitas gambar pendukung cerita yang kurang baik. Kita menjumpa kekeliruan bermula “…Menjadi Ikandi…” (hlm 9). Penyebutan nama yang tidak konsisten itu kita jumpai di beberapa cerita, ikan cetul kecil dengan Cip Cip dan Cipcip (hlm. 15). Dewa Hujan dan Dewa Musim Hujan (hlm. 24), juga Vionisa dan Vinonisa (hlm 29). Dus, sku membayangkan betapa menggembirakannya bila gambar-gambar dalam Konferensi Musim Sejagat itu berwarna-warni. Ah, tapi itu akan berdampak pada harga jual dan tentu saja daya beli pembaca durjana sepertiku.
Kiranya, di sela-sela kesedihan yang berhamburan di sebagian besar cerita, kemenangan anak-anak tampak di Pohon Detektif. Tabik untuk Geng Detektif. Tsah!
Keterangan Buku:
Judul: Konferensi Musim Sejagat I Penulis: Setyaningsih dan Na’imatur Rofiqoh I Ilustrator: Na’imatur Rofiqoh I Tahun: 2018 I Penerbit: Kampungnesia I Tebal: 48 halaman I ISBN: 978-602-5312-14-4