Konflik Pajang – Jipang, dan Cerita Kematian Aria Penangsang

Sejarah kerajaan di jawa tak lengkap jika tak menghadirkan kisah konflik Pajang dengan Jipang. Bagaimana posisi Ratu Kalinyamat atas konflik itu, bagaimana peran Sunan Kudus, Ki Gede Pemanahan dan Ki Juru Martani, serta Sutawijaya.

Saya coba kisah ‘Konflik Pajang dan Jipang, dan Cerita Kematian Aria Penangsang’ ini dari buku yang ditulis De Graaf berjudul Awal Kebangkitan Mataram yang diterbitkan Grafitipers (1985). Dalam bukunya, De Graaf menggunakan beberapa sumber, seperti Babad Tanah Jawa, Babad Sengkala maupun Serat Kandha.

Aria Penangsang dikenal sebagai tokoh yang gagah, mudah marah, dan emosional. Ia menyimpan dendam cukup lama di dadanya. Sepeninggal Raja Demak Raden Patah, harusnya tahta dipegang oleh Pangeran Sabrang Ler, namun sang pangeran ini meninggal di usia muda. Sehingga, seharusnya orang selanjutnya, yang memegang tahta, adalah Pangeran Seda Lepen, sang ayah Penangsang.

Tapi kenyataannya, ayah Penangsang dibunuh oleh Pangeran Prawata, lewat orang suruhan bernama Surayata. Ayah Penangsang dibunuh saat pulang dari sholat Jumat. Tahta Demak pun jatuh ke tangan Trenggana. Pangeran Prawata memilih menepi menjadi Susuhunan Prawata.

Dendam itulah yang tersimpan di dada Penangsang. Ia pun merencanakan pembalasan dendam kepada Trenggana dan Prawata serta keluarganya. Sunan Prawata berhasil dibunuh beserta istrinya. Namun, orang suruhan Penangsang juga ikut terbunuh oleh keris sakti Prawata.

Target dendam lainnya adalah Pangeran Kalinyamat yang menikahi putri Trenggono. Putri Trenggono ini kemudian hari dikenal dengan Ratu Kalinyamat yang berperan besar atas penyerangan Malaka dalam Upaya mengusir Portugis. Kalinyamat sama dengan Jepara. Target lainnya adalah Raja Pajang Sultan Hadiwijaya, yang tak lain, menantu Trenggono.

Baca Juga:  Mahasiswa UNUGIRI Gelar KKN "Sinergi Kampus dalam Akselerasi Pembangunan Desa"

De Graaf menyebut tokoh Sunan Kudus berperan besar pada serentetan konflik ini. Salah satu penyebabnya adalah “persaingan” kewibawaan antara Sunan Kudus dengan Sunan Kalijaga. Disebutkan Sunan Kuduslah yang meminta Penangsang untuk membunuh lawan-lawannya. Termasuk pembunuhan atas Sunan Prawata. Penangsang adalah murid kesayangan Sunan Kudus.

Ketika Sunan Prawata terbunuh, Ratu Kalinyamat tak terima dan mengajak suaminya untuk menghadap Sunan Kudus. Mereka tak tahu bahwa Sunan Kudus berperan dalam pembunuhan ini. Rombongan Kalinyamat sepulang dari Sunan Kudus dicegat orang-orang Penangsang, dan Pangeran Kalinyamat akhirnya terbunuh. Ratu Kalinyamat selamat dan kemudian memilih bertapa telanjang dan bersumpah tak akan berpakaian sebelum Penangsang mati.

Dalam Serat Kandha, Sunan Kudus kemudian menasehati Penangsang agar ia membunuh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Maka dikirimlah empat orang untuk membuh Raja Pajang saat ia tidur. Tapi ternyata Raja Pajang ini kebal. Bahkan, kain dodotnya yang digunakan sebagai selimut juga tak tembus senjata. Terlebih, empat orang suruhan ini malah diberi pakaian dan uang oleh Raja Pajang dan diminta Kembali. Penangsang pun merasa terhina dan ingin menghabisi Sultan Hadiwijaya dengan tangannya.

Penangsang kemudian meminta gurunya, Sunan Kudus memanggil Raja Pajang untuk menghadap. Raja Pajang memang juga murid Sunan Kudus, namun ia juga berguru ke Sunan Kalijaga. Sikap Raja Pajang yang mendua itulah yang membuat Sunan Kudus tersinggung.

Baca Juga:  Jurtizen dan Keterampilan Mengelola Informasi  

Sunan Kudus pun memanggil Raja Pajang untuk menghadap. Tapi, Raja Pajang sudah mencium gelagat tak baik. Ia pun membawa sekitar 200 prajurit saat menghadap. Hampir saja terjadi perang tanding, namun Sunan Kudus berhasil melerai dan aksi saling bunuh dapat dihindarkan.

Sepulang dari Sunan Kudus, Raja Pajang kemudian melakukan perundingan dengan orang-orang dari Sela, yakni Ki Gede Pemanahan dan Ki Juru Martani. Diputuskan siasat untuk membunuh Penangsang. Semua akan dilakukan sendiri oleh keluarga dari Sela atau orang-orang dari Sela. Ide itu datang dari Ki Juru Martani, bahwa Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi lah yang akan berangkat. Ini menyambut janji dari Raja Pajang, siapa yang bisa membunuh Penangsang akan dihadiahi tanah Mataram dan Pati.

Skenario dibikin. Perumput dari istana Jipang ditangkap. Satu telinga diiris. Satu lainnya diikatkan tulisan berisi tantangan kepada Penangsang dengan nada ejekan. Perumput diminta balik ke istana Jipang dengan imbalan uang.

Penangsang pun naik pitam. Sang patih Aria Mataun dan sang kakak Aria Mataram tak sanggup menenangkannya. Kuda Gagak Rimang dipacu kencang melewati sungai. Perang tak bisa dielakkan. Ki Juru Martani melepas kuda betina yang membuat Gagak Rimang seperti kuda gila. Sutawijaya melanjutkan penyerangan ke Penangsang. Dengan tombak Kiai Plered, ia akhirnya berhasil membunuh Penangsang.

Baca Juga:  Perjalanan Spiritual Ronggo Warsito, Santri Bandel Kyai Hasan Bestari

Patih Mataun yang menyusul terlambat dibunuh dan kepalanya ditancapkan di bambu yang dipancangkan di tepi Sungai. Pasukan Jipang pun menyerah. De Graaf menyebut peperangan itu berada di Soude, yang disebutkan sebagai Desa Sudah atau Sudu, yang keduanya berada di Kabupaten Bojonegoro saat ini.

Lalu kapan kejadian kematian Penangsang ini? Sejumlah catatan memperkirakan Penangsang meninggal pada tahun 1558 M.

Kisah selanjutnya dari peperangan Jipang dan Pajang ini, membuat Pajang tak tertandingi oleh siapapun. Kerajaannya semakin besar. Hingga Mataram di bawah Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senopati menyaingi kebesaran Pajang. Kerajaan Mataram pun makin kokok berdiri di tanah jawa.

Pamor Jipang sendiri kemudian terus meredup. Sepeninggal Aria Penangsang, Jipang dipimpin oleh orang-orang Pajang. Pernah dipimpin oleh Pangeran Benawa putra dari Sultan Pajang Hadiwijaya. Ketika masa Mataram, Jipang pernah mencoba berperang dengan Mataram, namun kalah dan dapat ditaklukkan. Jipang kemudian berada di bawah Mataram.

IKUTI VERSI YOUTUBE:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *