Kopi dan Serangkai Kekhawatiran Tentangnya; Esai R.K Narayan

Ilustrasi: www.comunicaffe.com

Bagi orang India selatan, di antara sekian kekhawatiran yang paling tidak bisa ditoleransi ialah kekhawatiran akan kopi. Khawatir akan kopi mungkin bisa diartikan sebagai seluruh spekulasi kengerian tentang subjek kopi, sebagai kebiasaan, ketersediaan, harga, kualitas, moralitas, etika, ekonomi dan sebagainya. Bagi pecandu kopi (dia tak suka dibilang pecandu, kata itu menyimpan semacam rasa menghina, dia merasa bahwa kita mungkin juga bisa menyebut orang lain sebagai pecandu susu, atau pecandu makanan, atau pecandu udara), pengalaman paling menyeramkan ialah ketika mendengar peminum teh atau peminum kakao atau orang yang hanya minum air berbicara tentang keburukan atau kejahatan minum kopi. Dia memandang hal tersebut sebagai serangan pada pemikiran dan tindakan (minum kopi). Bahkan salah kutip laporan Parlemen (seperti yang terjadi belakangan) pada kebijakan tentang kopi dari pemerintah akan membuatnya sangat terganggu, meski untuk sementara waktu.

Ya, tidak tepat memang menyebutnya sebagai kebiasaan. Kata ‘kebiasaan’ sebagaimana juga ‘kecanduan’ menyimpan semacam rasa menghina. Seseorang bisa menyebut merokok sebagai kebiasaan, juga bisa menyebut yang lain sebagai kebiasaan, tapi tidak dengan kopi. Ia bukanlah kebiasaan, ia adalah usaha untuk menyeimbangkan keberadaan manusia melalui proses panjang nan evolusioner. Kopi yang bagus, cokelat dengan aroma harum bukanlah produk yang bisa dihasilkan dalam sehari. Ia adalah sesuatu yang dicapai melalui serangkan percobaan dan juga kesalahan. Pada mulanya seorang mesti mencoba merebus biji mentahnya sendiri atau mencoba mengunyahnya; lalu mencoba menyangrainya, setelah itu akan kelihatan seperti arang hitam.

Sampai titik ini seseorang telah memilki indra ke-enam dan tahu betul bahwa biji tersebut mesti dientas dari penyangraian  dan menggilingnya, entah kasar atau halus. Tak ada kalimat paling menyenangkan bagi orang India Selatan selain “oh, kopi di rumahnya sangat mantap. Kau tak akan pernah menemukannya di belahan bumi manapun.” Sebaliknya ia tak akan pernah suka mendengar  bahwa kopinya buruk, meskipun bubuk yang ia gunakan sudah tercemar (ditambah elemen lain), saringannya tak bekerja dengan baik sehingga bubuknya lolos semua, dan ada indikasi bahwa pada saat merebus menambahkan gula merah. Pada saat kau menemukan kondisi seperti itu yang perlu diapresiasi bukanlah kopinya melainkan spirit di baliknya. India Selatan telah masyhur dengan kopinya dan setiap orang India Selatan penjaga yang teramat gigih akan reputasi tersebut.

Kopi menempati hampir tiga puluh persen dari anggaran sebuah keluarga. Orang India Selatan tak peduli dengan pengorbanan macam ini. Mereka bisa meminta atau meminjam hutangan untuk  kopi, tapi ia tak akan merasa membebaskan diri di dunia ini  kecuali jika ia mampu menyediakan dua dosis kopi sehari pada keluarganya atau pada tamu yang bilang “apa ada kopi?” tanpa sebuah rasa takut untuk melungsurkan cangkir-cangkir penuh kopi yang bagus. Hal ini merupakan kebutuhan dasar minimal untuk sebuah kepuasan dan kegembiraan hidup. Di sana sini kita bisa melihat sebuah keluarga di mana praktik minum kopi makin tertata dengan aduhai dan kopi mesti tersedia kapan saja siang atau malam. Ada manusia yang minta secangkir kopi sebelum ia mengawali sebuah  kalimat segar saat menulis atau bercengkerama dengan sahabat. Mungkin semua ini terasa berlebihan. Hal ini mungkin bisa saja disebut kecanduan, namun konsistensi kebutuhan merekalah yang membuat bisa diterima akal. Tak pernah ada orang meminta secangkir kopi tanpa kritikan pada cangkir sebelumnya. “kopinya kurang panas….atau terlalu banyak gula. Coba saya rasakan yang ini….” Hal tersebut hanyalah pencarian akan kesempurnaan, dan tak akan pernah menerima seseorang merusaknya dengan istilah yang buruk.

Baca Juga:  Lepaskan Duka Cita, Lalu Buka Diri untuk Menerima

Toh, ia tetap tak bisa disebut kecanduan karena tiap sesuatu yang berkenaan dengan kata tersebut membawa sifat-sifat setan. Mungkin kopi bisa digunakan untuk menganggu waktu tidur, tapi secara sadar banyak madzhab menyebutnya bagus untuk insomnia. Untuk seseorang yang menyebut kopi bisa membuatnya tetap terjaga, akan ada tiga orang yang menyatakan bahwa mereka bisa tidur malam dengan amat nyenyak justeru ketika minum secangkir kopi sebelum istirahat. Seluruh moralisasi tentang kopi telah terbukti gagal di daerah India Slatan ini. “kopi itu racun yang mematikan, pelan-pelan kamu telah merusak sistem tubuh denganya dan sebagainya- dan sebagainya….” kata seorang yang hanya minum air. Ia mungkin menyatakannya saat memberikan kuliah terbuka, atau di pojok-pojok jalan tapi orang-orang hanya akan mendengarkannya dengan rasa belas kasihan sebagaimana kata-kata yang hilang tertelan udara. “Kasihan sekali dirimu, kau tak tahu apa yang kau bicarakan, ketidaktahuanmu itu yang hilang. Kuharap kau hidup lama dan belajar lagi”. Dalam beberapa saat harapan itu akan terbukti. Banyak orang yang mengejek itu tetap berdoa. Kopi telah banyak merebut hati: orang suci, filsuf, seniman dan pemikir, yang tak pernah pergi tidur  kecuali jika mereka tahu bahwa kopinya telah tersedia, namun tak sedikit dari mereka yang telah direbut hatinya itu sampai  berperang untuk mendapatkannya.

Baca Juga:  Gagal Melaju 16 Besar Liga 3 Jatim, Ini Kiprah Persibo di Dunia Sepak Bola Nasional

*** Diterjemahkan dari buku A Writer’s nightmare, Selected Esssay 1958-1988 halaman: 55-56. Penerjemahnya dengan sellooow sambil nyeruput kalosi toraja yang terasa ‘dalem’ dengan sedikit kecut.

__________

Biodata R. K. Narayan

Lahir 10 Oktober 1906 dan meninggal 13 Mei 2001 atau pada usia 94 tahun. Pemilik nama lengkap Rasipuram Krishnaswami Iyer Narayanaswami ini adalah seorang penulis asal India yang dikenal atas karya-karyanya yang berlatar kota India Selatan. Namanya beberapa kali masuk nominasi peraih Nobel Sastra.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *