Masyarakat Jawa yang memeluk agama Islam (Jawa-Islam) punya keragaman tata cara hidup yang kemudian melahirkan aneka tradisi turun temurun. Sayangnya seiring waktu, satu demi satu tradisi itu mulai ditinggalkan masyarakat oleh beragam sebab. Salah satu yang mulai ditinggalkan adalah tradisi kuliner pada bulan Ramadhan (posoan) hingga hari raya Idul Fitri (syawalan dan riyoyo kupat).
Bulan Ramadhan punya makna spesial bagi masyarakat Jawa-Islam. Di samping sebagai bulan yang penuh keberkahan sesuai ajaran Islam, bulan di mana umat Islam menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, masyarakat Jawa mempunyai beragam tradisi slametan. Slametan adalah sebuah perayaan sederhana yang dilakukan keluarga dengan cara berdoa bersama dan membagi-bagikan berkat, yakni berupa makanan.
Clifford Geertz (1983) dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa mencatat ada lima hari di ujung bulan Ramadhan yang dirayakan dengan acara slametan. Perayaan itu dilakukan secara sporadis oleh keluarga-keluarga Jawa-Islam. Yakni tanggal-tanggal ganjil bulan Ramadhan (tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29). (Hal: 106). Tradisi ini juga dikenal dengan nama maleman.
Tradisi maleman ini juga biasa disebut dengan tradisi selikuran. Selikur berarti 21 yang merupakan awal dari tanggal ganjil di akhir bulan Ramadhan. Di tanggal-tanggal itu dipercaya datangnya malam Lailatul Qodar (malam agung seribu bulan). Di lingkungan keraton seperti di Solo, selikuran dirayakan dengan acara kirab oleh raja dan abdi dalem.
Tradisi maleman di perkampungan berbeda dengan yang ada di keraton. Di kampung (seperti kampung tempat tinggal saya di Bojonegoro-Jawa Timur) tidak ada kirab atau nasi gurih. Meski tidak semua, tapi beberapa keluarga tetap memasak nasi dan aneka lauk untuk kemudian dibagi-bagikan kepada tetangga. Di kampung saya, perayaan paling ramai adalah slametan sebelum Ramadhan, yakni megengan. Tradisi megengan adalah tradisi menyambut bulan Ramadhan dengan membuat berkat (nasi dan lauk) serta kue apem. Apem menjadi kuliner ‘wajib’ di megengan. Kue ini berbahan dasar tepung beras, santan, tape singkong, ragi dan gula pasir. Apem menjadi kuliner warisan masyarakat Jawa-Islam yang masih lestari hingga kini. Saat menjelang Ramadhan boleh dipastikan kue apem akan mudah dijumpai di meja-meja rumah.
Tradisi-tradisi itu kemudian diberi pemaknaan Islami yang ditujukan agar bisa mempertebal iman seseorang. Semisal megengan bermakna menahan, yakni usaha menahan diri saat menjalani ibadah puasa Ramadhan. Sedang apem dimaknai sebagai permohonan ampun karena berasal dari bahasa Arab afwan yang berarti ampunan.
Kuliner Jawa memang selalu mengiringi semua ritual. Sehingga, selain punya makna religi, kuliner tersebut menunjukkan betapa kayanya masyarakat Jawa dalam melahirkan aneka kuliner. Dan kekhasan kuliner Jawa adalah makna simbolik yang melekat padanya, dan apem adalah salah satunya.
Selain kue apem kuliner Jawa yang mengiringi tradisi slametan adalah 1 syawal atau juga dikenal dengan istilah badha atau riaya. Sebagian masyarakat Jawa-Islam di kampung-kampung masih banyak menggelar slametan bersama di langgar/surau/musholla pada pagi hari seusai shalat Idul Fitri. Nasi kuning dan aneka lauk diletakkan di ember dan dibawa ke musholla. Setelah doa bersama warga, dari anak-anak hingga orang dewasa laki-laki, makan bersama.
Usai makan bersama di musholla, warga akan pulang ke rumah dan saling berkunjung ke rumah tetangga, sanak famili, hingga mengunjungi saudara yang jauh. Tradisi inilah yang ‘memaksa’ siapapun yang ada di perantauan untuk pulang ke rumah dan melahirkan istilah ‘mudik’. Orang-orang di perantauan akan mudik menjelang Idul Fitri dan akan balik merantau lagi usai lebaran.
Guna menandai berakhirnya hari raya Idul Fitri, masyarakat Jawa-Islam punya tradisi unik, yakni riaya kupat atau lebaran ketupat atau juga disebut dengan istilah kupatan. Tradisi yang digelar pada tanggal 7 Syawal ini juga melahirkan kuliner yang khas dan menjadi keunggulan seni kuliner Jawa. Ketupat adalah makanan dari beras yang dibungkus anyaman janur (daun muda kelapa).
Tradisi kuliner Jawa ini punya kerumitan tersendiri dalam proses pembuatannya. Tidak semua orang bisa menyanyam janur menjadi ketupat yang ‘cantik’. Saat mengisinya dengan beras yang sudah direndam pun membutuhkan pengetahuan seberapa harus diisi dan seberapa harus dikosongkan. Karena jika tidak pas maka ketupat akan lembek atau sebaliknya akan terlalu padat. Ketupat sangat enak jika dimakan dengan sambal parutan kelapa.
Saking sulitnya membuat kupat, kini hanya orang-orang dewasa yang bisa. Banyak generasi muda yang kesulitan menganyam janur untuk dijadikan kupat. Keluarga-keluarga muda memilih membeli kupat kosong (belum diisi beras) di pasar dan tinggal memasaknya. Sedang keluarga-keluarga tua tetap memilih ‘agak ribet’ dengan membuat kupat sendiri dan memasaknya.
Kuliner kupat punya gandengan yang seakan belum lengkap jika salah satu tidak ada, yakni lepet. Jika kupat berbahan beras, maka lepet berbahan ketan yang juga dibungkus dengan janur. Lepet dan kupat punya cara membungkus yang berbeda, meski sama-sama dari janur.
Kehadiran kupat dan lepet menjadi bukti betapa kayanya seni kuliner Jawa. Tak cuma punya kekhasan rasa, melainkan cara penyajiannya yang dibungkus dengan anyaman janur menunjukkan bahwa kuliner Jawa tak sekadar mengutamakan rasa. Melainkan juga rupa yang cantik, serta makna simbolik yang cukup mendalam.
Sayangnya, kupat dan lepet kini mulai ditinggalkan masyarakat dengan alasan kerumitan proses pembuatannya. Padahal lamanya waktu membuat kupat dan lepet bisa dimaknai sebagai pentingnya kebersamaan dalam sebuah keluarga. Karena biasanya, dalam proses pembuatan kuliner ini, anggota keluarga akan saling membantu. Seperti di keluarga saya, malam hari kami akan menganyam janur untuk dijadikan kupat. Hal ini sekaligus proses mengajarkan kepada anak bagaimana membuat kupat. Dan pagi harinya, kupat itu akan dimasak di pawon dengan perapian lumayan besar menggunakan kayu bakar dengan tujuan cepat matang.
Satu hal yang menjadi ciri khas kuliner Jawa adalah semangat hidup komunal. Dengan kuliner, masyarakat Jawa menjaga harmonisasi sosial dengan tetangga. Riyaya kupat bukanlah perayaan individual, melainkan perayaan komunal yang mengutamakan kebersamaan. Dulu, membuat kupat dilakukan bersama-sama di teras rumah sambil bercengkerama antar anggota keluarga. Selain itu, proses memasak kupat biasanya dilakukan dalam jumlah besar. Sehingga satu keluarga besar biasanya akan memasak bersama-sama dalam satu dapur. Dan jika sudah matang, kupat akan dinikmati bersama-sama di musholla. Uniknya, semua keluarga membawa kupat ke musholla, dan saat makan bersama, maka seseorang akan makan kupat bikinan tetangga dan bukan kupat kepunyaannya sendiri. Inilah semangat berbagi dari tradisi kuliner masyarakat Jawa.
Sayangnya, kuliner Jawa kini jarang dihubungkan dengan harmonisasi sosial atau kerukunan antar warga. Kuliner Jawa dengan tradisi slametan-nya berbeda dengan kuliner kekinian yang seringkali menanggalkan kebersamaan dan bahkan seringkali sangat kental nuansa ekonomis. Kuliner Jawa dalam tradisi slametan mengajarkan hidup bersama dan saling berbagi.
Makna kebersamaan dalam kuliner Jawa seyogyanya menjadi pelajaran bagi generasi millenial kini. Kuliner bukanlah dunia yang cuma bisa dinikmati sendiri dan dicarikan ‘like & comment’ di media sosial saja, melainkan bisa menjadi sarana kebersamaan, kerukunan, dan saling berbagi dalam mewujudkan harmonisasi sosial. Mari kita menempatkan kuliner tak sekadar di ranah pemenuhan kebutuhan biologis, tapi juga kebutuhan sosiologis.