Jika kita bertanya tentang kuliner pada ahli gizi, maka dengan gamblang akan mendapat penjelasan terkait kandungan nilai gizi serta manfaat asupannya untuk kesehatan jasmani kita. Namun apakah benar kita hanya bisa menilai suatu kandungan makanan dari sudut pandang kegizian semata?
Hal yang tak kalah penting jika berbicara perihal kuliner adalah unsur kesenian dan kebudayaan. Ini dapat ditinjau dari sudut pandang sejarah dan demografi kuliner tersebut berasal. Di sini, saya akan mencoba menuliskan sekilas pandangan saya terhadap unsur kesenian dan kebudayaan kuliner yang berasal dari Nusantara kita, Indonesia.
Beberapa pekan lalu kita baru saja merayakan sebuah selebrasi kemerdekaan. Sebuah apresiasi yang sifatnya monumental terhadap perjuangan panjang para pahlawan untuk membebaskan negara dari tangan para kolonial. Mulai dari ke-ratu-an Britania Raya sampai ke-kaisar-an Jepang saling berebut menduduki nusantara pada masanya.
Apa yang dicari? Tentunya, daratan yang mempunyai Sumber Daya Alam melimpah. Menurut para sejarawan, yang paling dicari adalah rempah-rempah.
Indonesia memang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah yang melimpah di mata dunia. Hal inilah yang menjadi andalan pribumi untuk menciptakan ragam kuliner. Bahkan, beberapa ragam bahan dan juga bumbu makanan hanya bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Itu menjadi musabab melimpahnya ragam kuliner di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga terdapat banyak suku dan kebudayaan yang otomatis akan sangat mempengaruhi ragam kuliner.
Beberapa kuliner lahir dari tradisi budaya. Nasi tumpeng misalnya, kuliner yang berasal dari masyarakat purba pulau Jawa, Bali, dan Madura ini awalnya digunakan untuk memuliakan gunung yang dipercaya sebagai tempat persemayaman Hyang atau arwah para leluhur. Bentuk kerucutnya dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam para dewi-dewa.
Sementara di wilayah Sumatera ada rendang yang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatera Barat, yaitu musyawarah dan mufakat, yang berangkat dari empat bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang, yakni:
Dagiang (daging sapi) yang merupakan lambang dari “Niniak Mamak” (para pemimpin Suku adat), Karimbia (kelapa) yang merupakan lambang “Cadiak Pandai” (kaum Intelektual), Lado (cabai) yang merupakan lambang “Alim Ulama” yang pedas, tegas untuk mengajarkan syariat agama, Pemasak (bumbu) yang merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan dalam setiap seremoni adat, seperti berbagai upacara adat Minangkabau, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan. Dalam tradisi Melayu, baik di Riau, Jambi, Medan atau Semenanjung Malaya, rendang adalah hidangan istimewa yang dihidangkan dalam kenduri khitanan, ulang tahun, pernikahan, barzanji, atau perhelatan keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Qurban.
Ragam kuliner di Indonesia memang banyak dipengaruhi oleh bangsa India, China, Arab, dan juga Eropa. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena memang pada masanya banyak pedagang dari bangsa asing yang datang ke Indonesia. Namun, nampaknya nenek moyang kita tidak sekedar menyerap mentah-mentah seni mengolah makanan para pendatang asing itu, tetapi mereka memodifikasi, menerapkan sesuai dengan budaya dan tradisi yang berlaku di daerah masing-masing. Dari situlah lahir serba-serbi kuliner yang sarat akan unsur tradisi di nusantara kita Indonesia.