Story  

Kurangi Rasan-rasan, Akehi Seduluran

Kurangi rasan-rasan, akehi seduluran. Tentu saja ini bukan kata-kata saya. Maksudnya original hasil olah pikir saya. Bukan. Melainkan saya comot dari belakang bak truk yang entah kapan melintas depan mata. Saya baca lalu saya renungkan. Kok rasa-rasanya cocok dengan kondisi kekinian, ketika masyarakat suka bergunjing di dunia digital dan mulai melupakan ukhuwah basyariah, atau kemanusiaan.

Dalam KBBI online, kata rasan bermakna berunding dengan rahasia. Sedang merasani adalah membicarakan kejelekan atau kekurangan seseorang (dilihat dari segi negatif). Rasan-rasan yang biasa digunakan oleh masyarakat (yang saya tahu jawa) identik dengan merasani, yakni menggunjing kejelekan ‘yang lain’.

Dulu, rasan-rasan hanya dilakukan secara terbatas, semisal di warung kopi atau acara kumpul-kumpul teman. Rasan-rasan dilakukan lewat kehadiran fisik. Jadi siapa bilang apa, akan ketahuan. Tapi kini, teknologi informasi memberi ruang kepada masyarakat tak hanya menjalin silaturrahmi, melainkan juga ajang bergunjing, beradu muslihat, dan saling gunting siasat. Dan itu tak cuma soal politik negara saja, melainkan juga hukum, ekonomi, bahkan soal bantal kasur di kamar rumah pun akan dengan mudah digunjing.

Kini, rasan-rasan punya panggung, menjadi hal lumrah dan mewabah. Di media sosial, rasan-rasan menjadi hal biasa. Seperti sudah sewajarnya. Ya…begitulah media sosial. Seakan-akan media sosial memang diciptakan untuk bergunjing. Tapi, okelah, kita tidak perlu membincang soal rasan-rasan ini terlalu dalam.

Baca Juga:  Peringatan Haul Sayidah Khodijah dan Fatimah di Gubuk Taqrib

Tapi, kembali pada apa yang hendak saya katakan. Cukup sederhana. Bahwa, ‘kurangi rasan-rasan, akehi seduluran’ sudah kami jadikan tulisan di kaos oblong. Untuk apa? Ya untuk dibaca-baca saja, tanpa berpretensi muluk-muluk. Misal ingin menghentikan pergunjingan tentang influencer, tentang anti vaksin, atau lainnya. Itu tentu terlalu jauuuuh. Kami cuma ingin membuat kaosnya saja.

Baca Juga:  Timba Spiritual

Dan bagi yang membaca ya tidak harus lantas mendebatnya. Wong yang terpenting itu adalah seduluran. KIta memang harus memperbanyak seduluran, berjejaring, dan saling gotong royong. Soal identitas, tentu kita akan berbeda pada titik tertentu dan sama/seiring pada titik lainnya. Tapi identitas yang kompleks itu tak lantas dimaknai sebagai perbedaan yang memutus seduluran. Memutus silaturrahmi. Jangan sampai ya lur!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *