Label Ulama Diobral, Siapa Sebenarnya Ulama?

Sumber: aboutislam.net

Akhir-akhir ini kata (sosok) ulama kembali menjadi primadona, terlebih di jagad maya. Pasalnya beberapa waktu lalu beredar istilah aksi bela ulama, pengawal fatwa ulama, ijtihad ulama jilid 1 dan 2, serta pemberian label ulama kepada Saniaga Uno.

Tentu saja ada banyak kajian, tulisan dan diskusi yang membahas definisi ulama dari berbagai sudut pandang. Baik dari segi agama maupun dari sisi linguistik. Dan bagaimanapun juga istilah ulama mempunyai sejarah panjang, terutama penggunaannya di Indonesia.

Dari sekian banyak kajian, ada yang menarik dari tulisan buya Husein (KH.Husein Muhammad)-kyai feminimisme nya Indonesia-yang mengutip ungkapan Mawlana Jalal al-Din Rumi, penyair sufi besar tentang ulama,

“Dia (ulama) bagaikan pohon yang ditanam di tanah yang subur. Tanah itu menjadikan pohon tersebut berdiri kokoh dan kuat dengan daun-daun yang menghijau dan merimbun. Lalu ia mengeluarkan bunga dan menghasilkan buah yang lebat. Meski ia lah yang menghasilkan bunga dan buah itu, tetapi ia sendiri tak mengambil buah itu. Buah itu untuk orang lain atau diambil mereka. Jika manusia bisa memahami bahasa pohon itu, maka ia sesungguhnya berkata :

Baca Juga:  Kamu Pilih Gus Ipul atau Bu Khofifah?

Allamana-llahu an nu’tiya wa la an na’khudza. (Kami diajari untuk memberi dan tidak diajari untuk meminta).

Kita akan menemui makna ulama lebih dalam lagi jika kita baca tulisan mas Aguk (Aguk Irawan MN, penulis sejumlah buku biografi ulama Nusantara). Kita akan menemukan definisi ulama dengan versi lain, yakni ulama, bentuk tunggalnya ‘alim dan tercerabut dari asal kata علم yang berarti memberi tanda, mengecap, mengetahui, merasakan, mendidik, memberi tahu, mengenal dan seterusnya. Di Arab, papan lalu lintas disebut  المعلم (al-ma’lam), dan المعلوم (al-ma’lum) dimaknai sebagai hal wajar, dimengerti, dikenal.

Jika kita menggunakan makna akar kata علم ini, maka boleh jadi kita semua ulama. Juru parkir, penjual sayuran, tukang masak, maaf, bahkan pencopet atau koruptor, sebab mereka tahu uang bahkan telah menandainya di rekening atau deposito. Akan tetapi seringkali pengertian kata, keluar dari akarnya. Kata serapan dari Arab tapi maknanya tidak sesuai dengan Arab, misal kata fitnah, madrasah dan sebagainya, begitu juga dengan istilah ulama.

Baca Juga:  Pak Kasbi dan Cerita Kusam Kaum Marjinal Kota

Masyarakat luas di Indonesia sudah menyepakati, bahwa ulama adalah yang faqih (ahli fikih) dalam ilmu agama, dan menjadi teladan karena lakunya dan salah satu cirinya mereka sering menolak jika disebut ulama, atau alim. Hal itu karena sikap tawadlu mereka. (Bayan Fadl ‘Ilm al-Salaf ‘ala ‘Ilm al-khalaf, 8.)

Definisi manapun yang anda pakai tentu itu urusan anda, yang terpenting adalah kita tidak sembarangan mendefinisikan sesuatu hanya dari satu sisi saja.  Dari zaman SD saya selalu menyebut/menyamakan definisi ulama dengan kyai. Hal itulah yang menjadikan saya sepakat dengan apa yang disampaikan buya Husein dan mas Aguk, ditambah penjelasan dari Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) ketika mendefinisikan kyai dengan “mereka yang melihat umat dengan pandangan rahmat (kasih sayang)“.

Baca Juga:  Meluruskan Kembali Makna Berlibur

Walhasil, menurut saya ulama itu adalah orang yang ahli fikih dalam agama, menjadi teladan umat (seperti kanjeng Nabi), punya belas kasihan pada umat, menjadi seperti akar pohon yang mengokohkan pohon dan menjadikannya berbuah, ditambah sosok yang enggan disebut alim/ulama.

Jika ada sosok yang tidak demikian, mungkin sosok tersebut bukan u-lama melainkan u-baru. Salam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *